Liputan6.com, Jakarta Mahasiswa Universitas Mercu Buana melakukan kunjungan studi lapangan ke kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat, untuk menggali sejarah, budaya, dan komunikasi antarbudaya yang tercermin di berbagai situs bersejarah. Kegiatan ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Komunikasi Antar Budaya yang dibimbing oleh Bunda Rosmawaty Hilderiah P., Dr., S.Sos., M.T. Kunjungan ini memberikan wawasan mendalam mengenai budaya Tionghoa sekaligus mengajarkan pentingnya toleransi dan keberagaman di tengah masyarakat multikultural.
Pecinan Glodok dikenal sebagai kawasan yang memadukan berbagai budaya, termasuk Tionghoa, Sunda, Betawi, dan Jawa, menjadikannya destinasi wisata sejarah yang unik. Dalam kunjungan ini, mahasiswa diajak menjelajahi situs-situs bersejarah seperti bangunan kuno, tempat ibadah, dan pusat kuliner khas.
Berikut adalah destinasi utama yang dikunjungi:
Advertisement
Gedung Chandra Naya: Simbol Perjuangan dan Warisan Komunitas Tionghoa
Lokasi yang dikunjungi pertama adalah Gedung Chandra Naya, yang terletak di Jakarta, menyimpan sejarah panjang dan penting, tidak hanya bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga bagi perjuangan sosial dan etnis di Indonesia. Dibangun oleh keluarga Tionghoa terkaya pada masanya, gedung ini menjadi simbol keberanian dan keteguhan dalam menghadapi masa-masa sulit, termasuk masa penjajahan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, seorang tokoh penting, Si Khouw Kim An, memilih untuk tetap tinggal di Indonesia meskipun menghadapi ancaman besar. Keputusan tersebut berujung pada penahanan dirinya di penjara Cimahi, dan ia meninggal pada tahun 1945, beberapa bulan sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Setelah peristiwa tersebut, Gedung Chandra Naya tidak ditinggalkan begitu saja. Gedung ini kemudian digunakan oleh Yayasan Chandra Naya untuk membantu menangani kerusuhan etnis di Tangerang dan sekitarnya. Dalam perjalanan waktu, gedung ini menjadi saksi sejarah dari berbagai gerakan organisasi Tionghoa yang ada di Batavia (sekarang Jakarta), dan banyak berkontribusi pada kehidupan sosial dan pendidikan di Indonesia.
Beberapa warisan yang masih ada hingga kini berasal dari Gedung Chandra Naya. Di antaranya adalah Universitas Taruma Negara, Universitas Baperki (sekarang dikenal dengan Universitas Trisakti), serta Rumah Sakit Sumber Waras yang terkenal. Selain itu, Yayasan Chandra Naya juga terus beroperasi hingga saat ini, dengan berbagai institusi pendidikan di bawahnya, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga SMK yang berlokasi di Jembatan Besi. Selain kontribusinya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, keluarga yang terhubung dengan Gedung Chandra Naya juga dikenal sebagai penyumbang utama bagi Rumah Sakit Husada, yang memberikan dampak besar pada pelayanan kesehatan di Indonesia.
Namun, meskipun memiliki sejarah yang sangat penting, Gedung Chandra Naya sempat mengalami masa-masa kurang terurus. Beberapa tahun terakhir, gedung ini sempat berpindah tangan, namun kini sedang dalam proses renovasi besar-besaran. Pemerintah dan yayasan yang terlibat berusaha untuk menjaga keasrian gedung ini, sekaligus mengembalikannya menjadi pusat budaya dan sejarah. Rencananya, Gedung Chandra Naya akan diubah menjadi sebuah galeri yang memamerkan sejarah dan perjuangan komunitas Tionghoa di Indonesia, menjadikannya sebagai salah satu destinasi bersejarah yang dapat dikunjungi oleh generasi mendatang. Dengan segala warisan sejarah dan kontribusinya, Gedung Chandra Naya tetap menjadi saksi bisu perjalanan panjang perjuangan komunitas Tionghoa dan kontribusinya terhadap bangsa Indonesia.
Advertisement
Gereja Santa Maria de Fatima: Harmoni Budaya Tionghoa dan Katolik
Berlanjut ke Gereja Santa Maria de Fatima, mahasiswa melihat bagaimana budaya Tionghoa dan agama Katolik berpadu harmonis. Gereja ini awalnya merupakan rumah tinggal bergaya Tionghoa yang diubah menjadi gereja pada tahun 1953. Arsitekturnya yang khas—dengan atap bergaya wuwungan dan ornamen merah keemasan—menggambarkan proses inkulturasi budaya yang memperkaya tradisi Katolik di Indonesia. Gereja Toasebio memiliki sejarah panjang dan menarik. Didirikan oleh para misionaris Yesuit, gereja ini awalnya ditujukan untuk melayani kebutuhan spiritual orang-orang Hoakiau (China perantau). Gereja ini kemudian berkembang pesat, seiring dengan bertambahnya jumlah umat. Pada tahun 1955, gereja ini secara resmi diakui sebagai paroki dan diberi nama Santa Maria de Fatima, untuk mengenang peristiwa penampakan Bunda Maria di Fatima, Portugal.
Arsitektur Gereja Toasebio sangat unik, memadukan unsur-unsur budaya Tionghoa dengan arsitektur gereja Katolik. Atap bangunan gereja yang berbentuk wuwungan (puncak rumah yang atapnya berbentuk huruf V terbalik) dan dihiasi dengan warna-warna cerah seperti merah, hijau daun, dan kuning emas, merupakan ciri khas arsitektur Tionghoa. Di bagian pelisir atap, terdapat tulisan-tulisan dalam huruf Tionghoa yang mengandung makna kedamaian dan kesejahteraan. Interior gereja juga menunjukkan pengaruh budaya Tionghoa, seperti tabernakel yang mirip dengan meja persembahan etnis Tionghoa. Dua patung singa yang berada di sisi kanan dan kiri pintu masuk utama melambangkan kemegahan, sebuah simbol yang umum dijumpai di bangunan-bangunan Tionghoa.
Gereja Toasebio bukan hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya bagi umat Katolik keturunan Tionghoa. Gereja ini aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti membantu kaum miskin dan mensosialisasikan nilai-nilai Kristiani di tengah masyarakat.
Vihara Dharma Jaya Toasebio: Kebangkitan dari Sejarah Kelam
Tersembunyi di jantung kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat, berdiri megah Vihara Dharma Jaya Toasebio. Lebih dari sekadar tempat ibadah, vihara ini adalah saksi bisu perjalanan panjang sejarah Tionghoa di Indonesia. Dibangun pada abad ke-17, bangunan kuno ini telah menyaksikan pasang surut zaman, termasuk peristiwa kebakaran dahsyat yang pernah meluluh lantakkan sebagian besar strukturnya. Peristiwa kebakaran tersebut menjadi titik balik bagi vihara. Namun, semangat kebersamaan umat Buddha Tionghoa tidak padam. Mereka bahu-membahu membangun kembali vihara dengan desain yang lebih modern namun tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional. Kini, Vihara Dharma Jaya Toasebio berdiri kokoh, menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial bagi masyarakat sekitar.
Salah satu keunikan vihara ini adalah arsitekturnya yang memadukan unsur Tionghoa dan Indonesia. Ornamen-ornamen khas Tionghoa seperti naga dan awan terlihat jelas pada bangunan utama. Sementara itu, pengaruh budaya Indonesia tercermin pada penggunaan ukiran kayu dan batu alam. Perpaduan ini menciptakan suasana yang harmonis dan unik. Selain nilai sejarah dan arsitekturnya, Vihara Dharma Jaya Toasebio juga menarik perhatian karena perannya dalam pelestarian budaya Tionghoa. Vihara ini sering mengadakan berbagai kegiatan budaya, seperti perayaan Imlek, Cap Go Meh, dan festival-festival lainnya. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya menarik minat umat Buddha, tetapi juga masyarakat umum yang tertarik untuk mengenal lebih dekat budaya Tionghoa.
Dengan segala sejarah dan keunikannya, Vihara Dharma Jaya Toasebio bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga menjadi destinasi wisata budaya yang menarik. Bagi para pengunjung, vihara ini menawarkan kesempatan untuk belajar tentang sejarah, budaya, dan arsitektur Tionghoa di Indonesia.
Advertisement
Vihara Dharma Bhakti: Jejak Panjang Komunitas Tionghoa di Jakarta
Vihara Dharma Bhakti, juga dikenal sebagai Klenteng Kim Tek Ie, adalah salah satu ikon sejarah dan budaya Tionghoa di Indonesia. Terletak di kawasan Glodok, Jakarta Barat, vihara ini didirikan pada tahun 1650 atas perintah Kwee Hoen, seorang pemimpin komunitas Tionghoa. Sebagai kelenteng tertua di Jakarta, Vihara Dharma Bhakti memiliki sejarah panjang yang menggambarkan dinamika sosial dan budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Awalnya, vihara ini didedikasikan untuk Guan Yin, dewi kasih sayang dalam tradisi Buddha Mahayana. Nama awalnya, Kwan Im Teng (Paviliun Guan Yin), menjadi asal kata "klenteng," istilah umum untuk tempat ibadah Tionghoa di Indonesia. Namun, vihara ini sempat hancur akibat kebakaran besar saat tragedi pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740. Pada 1755, vihara ini dipulihkan oleh Kapitein der Chinezen Oey Tji Lo dan diberi nama Kim Tek Ie (Paviliun Keutamaan Emas). Setelah kemerdekaan Indonesia, perubahan kebijakan sosial memengaruhi vihara ini. Pada tahun 1965, nama Kim Tek Ie diubah menjadi Vihara Dharma Bhakti sebagai bagian dari proses nasionalisasi nama untuk menyesuaikan identitas Indonesia yang lebih inklusif.
Vihara Dharma Bhakti adalah simbol akulturasi budaya dan agama, menggabungkan elemen-elemen Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Berikut adalah beberapa unsur budayanya:
a) Arsitektur dan Seni:
· Vihara ini dihiasi patung perunggu dewa-dewi, ukiran naga, dan lukisan tradisional. Pilar-pilar merah menopang atap yang berhiaskan ornamen khas Tionghoa.
· Patung Guan Yin, Buddha, dan dewa-dewi Taoisme seperti Xuan Tian Shang Di menjadi bagian utama tempat peribadatan.
b) Ritual Keagamaan:
· Praktik membakar dupa (hio) dan persembahan makanan adalah tradisi yang terus dilestarikan. Selain itu, vihara ini menjadi pusat perayaan hari-hari besar Tionghoa seperti Cap Go Meh dan Cioko (Festival Zhong Yuan).
· Sebelum Perang Dunia II, opera Tionghoa Peranakan dan musik keroncong sering digelar di vihara ini saat perayaan Waisak.
Studi lapangan ini memberikan wawasan berharga bagi mahasiswa mengenai komunikasi antarbudaya, pelestarian budaya, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. "Kawasan Pecinan Glodok mengajarkan kita tentang bagaimana budaya, agama, dan sejarah dapat berpadu dalam harmoni,” ujar tria salah satu mahasiswa.
Kunjungan ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman mahasiswa tentang pentingnya melestarikan warisan budaya sebagai bagian dari identitas bangsa yang multikultural.