Liputan6.com, Jakarta Fajar Nugros telah melahirkan sejumlah box office di industri film Indonesia dari era Cinta Brontosaurus, Yowis Ben dengan tiga sekuelnya, hingga Inang yang panen pujian. Kini, ia kembali ke layar lebar dengan Perempuan Pembawa Sial yang semula berjudul Ratu Sihir.
Perempuan Pembawa Sial melenggang ke Jogja-NETPAC Asian Film Festival atau JAFF 2024. Ia berlaga di segmen Indonesian Screen Award. Film dengan bintang Didik Nini Thowok, Morgan Oey, Clara Bernadeth, dan Raihaanun tersebut diputar pada 6 dan 7 Desember 2024.
Baca Juga
Menyorot Deretan Musisi Dunia yang Meninggal Secara Mengejutkan di Atas Panggung, Beberapa di antaranya Bernasib Tragis
Catatan Produser Ronny Irawan untuk Film Tabayyun, Titi Kamal Adu Akting dengan Naysilla Mirdad
Setelah 19 Tahun, Sinetron Lorong Waktu Kembali ke Layar Kaca SCTV untuk Semarakkan Ramadan 2025
Fajar Nugros menyebut Perempuan Pembawa Sial sebagai film dengan proses kreatif terlama sepanjang kariernya. Ide ceritanya yang berakar dari cerita rakyat populer Bawang Merah Bawang Putih tercetus tak lama setelah syuting film Sleep Call bersama Laura Basuki tuntas.
Advertisement
Gagasan soal Perempuan Pembawa Sial kemudian dikembangkan selama 4 hingga 5 bulan. Inilah wawancara eksklusif Showbiz Liputan6.com dengan Fajar Nugros soal Perempuan Pembawa Sial yang dijadwalkan menyapa bioskop pada kuartal pertama 2025.
Kepikiran Nasib Bawang Merah
Perempuan Pembawa Sial dimulai dengan pertanyaan liar yang mengambang di benak Fajar Nugros, bagaimana kehidupan Bawang Merah setelah legenda mereka dikenal se-Indonesia. Seperti diketahui, Bawang Putih menderita di bawah siksaan Bawang Merah. Setelah itu apa?
“Saya pikir, kehidupan Bawang Merah bagaimana ya dengan semua dosa-dosa yang dia lakukan selama ini? Film ini meng-capture hidup Bawang Merah setelah pisah dari Bawang Putih. Ia hidup dalam karma akibat perbuatan buruk yang pernah dilakukan,” katanya.
Fajar Nugros menjanjikan, Perempuan Pembawa Sial bukan horor dengan tema aliran sesat, arwah penasaran, ingin cepat kaya dengan cara instan, dan sebagainya. Ia menyisipkan fenomena Bahu Laweyan seperti halnya Rabu Wekasan dalam film Inang.
“(Pertama) ini refleksi kumpulan ketakutanku di masa kecil. Suatu hari, saat SD atau SMP, saya ikut kunjungan ke studio tari Didi Nini Thowok. Saya waktu ke toilet, melewati ruang rias, lalu mengintip dan mendengar ada suara orang berlatih,” Fajar Nugros mengenang.
Advertisement
Ketakutan Terbesar Fajar Nugros
Yang terjadi kemudian, untuk kali pertama Fajar Nugros kecil melihat Didi Nini Thowok berkostum lengkap memunggunginya dengan dua topeng. Ia syok karena menyangka “muka kedua” Didi Nini Thowok tengah menatapnya. Momen itu membekas hingga dewasa.
“Dan hah! Itu bagi saya seram dan terbayang selama bertahun-tahun. Itu salah satu ketakutanku. Kedua, saya pernah waktu kecil bersepeda ke kawasan keraton Yogyakarta jelang magrib dan melihat kereta kuda dengan kusir yang maaf agak creepy,” Fajar Nugros membeberkan.
Ketiga, memori-memori ketakutan itu dikumpulkan dan diselesaikan di film ini. Lewat Perempuan Pembawa Sial, Fajar Nugros sebagai seniman sejatinya hendak “berdamai” dan ingin selesai dengan ketakutan maupun kesalahan di masa lalu.
“Di atas itu, selalu ketakutan terbesar adalah kita pernah membuat kesalahan di masa lalu. Lalu, kita merasa: Hidup gue jadi kayak begini mungkin karena kesalahan yang tak termaafkan di masa lalu,” ulasnya lalu menyebut syuting Perempuan Pembawa Sial dimulai Desember 2023.
Film Ini Semacam Permohonan Maaf
Ditemui di Jakarta Selatan baru-baru ini, Fajar Nugros menyebut tahap pascaproduksi tak lalah menantang. Setelah kumpulan adegan tersaji di meja editing untuk dijahit, ada banyak perspektif yang bisa dipakai untuk menuturkan kisah Perempuan Pembawa Sial kepada penonton.
“Kami mencoba banyak sudut pandang (dalam bertutur) hingga akhirnya ketemu format yang sekarang, itu yang terbaik. Saya happy. Alhamdulillah, masuk ke JAFF 2024 untuk kompetisi Indonesia Screen Awards. Yang bikin lama memang saat editing,” Fajar Nugros menyambung.
Perempuan Pembawa Sial terdengar sangat menjanjikan sekaligus sangat personal bagi Fajar Nugros. Ia lantas terkenang momen kala menyutradarai dan mengarahkan banyak orang di lokasi syuting dari era Queen Bee, Cinta Di Saku Celana, hingga Balada Si Roy dan Inang.
“Film ini semacam permohonan maaf ke semua itu supaya kita memulai banyak hal dengan lebih baik lagi. Pertanyaan mendasar film ini: Apakah perbuatan-perbuatan buruk dari masa lalu itu akan terus menghantui atau bisa dimaafkan ya?” Fajar Nugros mengakhiri.
Advertisement
Lewati Forum Group Discussion dan Riset
Terpisah, Produser IDN Pictures, Susanti Dewi, buka kartu kepada Showbiz Liputan6.com terkait pertimbangan film Ratu Sihir ganti judul menjadi Perempuan Pembawa Sial. Dalam pembuatan film, ada dua bagian yang saling terkait yakni product making dan film marketing.
Saat menginisiasi proyek film baru, selalu ada working title (judul sementara) yang bisa jadi dipertahankan hingga hari perilisan tiba. Selama proses kreatif itu ada banyak hal yang mungkin terjadi. Ini terjadi pula selama penggarapan film Perempuan Pembawa Sial.
“Dalam beberapa Forum Group Discussion dan riset yang kami lakukan, kami temukan data bahwa kata sihir dalam perspektif marketing agak berjarak. Kata sihir tidak terlalu familier sekarang. Orang lebih related dengan santet dan guna-guna mungkin,” ulas Susanti Dewi.
Kedua, saat syuting berlangsung, Susanti Dewi dan tim menilai Ratu Sihir kurang pas dengan cerita yang digulirkan. Inilah faktor konten. Ia ingin judul akhir yang tersemat ketika tayang di bioskop nantinya merefleksikan konten film secara keseluruhan.
“Kami ingin judul itu berhubungan dengan konten. Utamanya, adalah riset marketing kami menemukan kata sihir tak terlalu dekat dengan penonton film yang kami target sehingga kami sepakat mengganti judul menjadi Perempuan Pembawa Sial,” pungkasnya.