Liputan6.com, Jakarta Sulit untuk mendefinisikan apa sebenarnya profesi dari seorang Ernest Prakasa. Sebab, hampir semua posisi di dunia hiburan, khususnya perfilman sudah dia lakoni. Mulai dari seorang aktor, sutradara, pelawak tunggal, penulis, produser hingga penyiar radio layak disematkan kepada dirinya.
Lahir di Jakarta pada 29 Januari 1982, Ernest Prakasa adalah anak dari pasangan Wahyudi Hidayat dan Jenny Lim. Darah Tionghoa didapatkannya dari garis keturunan sang ibu. Setelah menamatkan Pendidikan dasar dan menengah, dia melanjutkan studi ke Universitas Katolik Parahyangan di Bandung. Namun Ernest mengundurkan diri untuk dan menamatkan S-1 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran.
Baca Juga
Saat menuntut ilmu di Kota Bandung inilah Ernest mengawali kariernya dengan menjadi pengarah musik di stasiun radio Paramuda Bandung (Januari 2001). Pada Agustus 2001, Ernest memulai pekerjaan baru di Universal Music dan sebagai asisten manajer Sony BMG Indonesia. Pada Mei 2008, Ernest menjabat sebagai manajer pemasaran di perusahaan rekaman Dr. M.
Advertisement
Ernest memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, Agustus 2011, karena mengikuti audisi Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV musim pertama. Meski hanya meraih peringkat ketiga dalam ajang ini, Langkah Ernest ternyata sangat tepat.
Bersama Raditya Dika, Pandji Pragiwaksono, Isman H. Suryaman dan Ryan Adriandhy, Ernest mendirikan Stand Up Indo, yang merupakan sebuah komunitas pelawak tunggal pertama di Indonesia. Ernest pun diangkat sebagai ketua pertama dari komunitas tersebut hingga periode Juni 2013.
Ernest merupakan pelawak tunggal pertama yang melakukan tur komedi tunggal pada 2012. Tur tersebut dinamai Merem Melek, dengan menjelajahi 11 kota di Indonesia dan diakhiri di Gedung Kesenian Jakarta pada 10 Juli 2012. Pada November 2013, Ernest melakukan tur keduanya yang diberi judul Illucinati, dengan menyambangi 17 kota dan kembali ditutup di Gedung Kesenian Jakarta pada 25 Januari 2014.
Dua tur berikutnya yang ia jalankan adalah Happinest pada 2015 dan Setengah Jalan pada 2017, dilakukan masing-masing di belasan kota di Sumatera hingga Sulawesi.
Dalam kehidupan pribadinya, pada 2007, Ernest menikah dengan Meira Anastasia. Saat itu Ernest memutuskan untuk menikah muda pada usia 25 tahun dan sang istri berusia 24 tahun saat itu. Mereka dikaruniai dua orang anak bernama Sky Tierra Solana dan Snow Auror Arashi.
Tak cukup menjadi pelawak tunggal, Ernest kemudian merambah ke industri perfilman sebagai aktor, di mana dia antara lain bermain di Make Money, Comic 8, Kukejar Cinta ke Negeri Cina, CJR The Movie, dan Rudy Habibie.
Pada 2013, Ernest Prakasa mulai menunjukkan bakat barunya dalam penulisan dengan membuat buku berjudul Ngenest-Ngetawain Hidup Ala Ernest. Buku ini lantas diadaptasi ke dalam film berjudul sama di bawah naungan rumah produksi StarVision Plus. Di sini, ia juga berperan menjadi salah satu karakter sekaligus sutradara.
Desember 2016, Ernest merilis film keduanya sebagai penulis-sutradara, yakni Cek Toko Sebelah. Film ini meraih lebih dari 2,6 juta penonton, serta menyabet Film Terbaik di Indonesia Box Office Movie Awards, Festival Film Bandung, dan Indonesia Movie Actors Awards; serta kategori Skenario Asli Terbaik di Festival Film Indonesia, Piala Maya, Festival Film Bandung, dan Indonesia Box Office Movie Awards.
Desember 2017, Ernest merilis film ketiganya sebagai penulis-sutradara, yakni Susah Sinyal, yang kali ini ditulis berdua dengan sang istri, Meira Anastasia. Film ini meraih lebih dari 2,1 juta penonton, dan menyabet tiga piala Indonesia Box Office Movie Awards termasuk untuk Skenario Terbaik.
Dengan perolehan ini, Ernest berhasil mencatat rekor sapu bersih kategori Skenario Terbaik di Indonesia Box Office Movie Awards selama tiga tahun berturut-turut.
Hingga kini ia telah membintangi sekitar 30 judul film Indonesia. Dari jumlah ini, ia juga berperan sebagai produser dan sutradara di 8 film dan penulis di 12 judul filmnya.
Setelah bekerja sama dengan rumah produksi Starvision Plus sejak 2015 sampai 2022, Ernest memutuskan untuk mendirikan rumah produksi sendiri dengan nama Imajinari bersama Dipa Andika.
Melalui Imajinari Pictures yang ia dirikan, dua dari film-film yang ia produseri, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film dan Agak Laen, mendapat banyak pujian: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film memenangkan 7 Piala Citra di Festival Film Indonesia 2024, sementara Agak Laen menjadi film komedi Indonesia terlaris sepanjang masa dengan 9,1 juta penonton.
Lantas, apa lagi gebrakan Ernest bersama Imajinari di tahun 2025? Berikut petikan wawancara Ernest Prakasa dengan Wayan Diananto dalam program Bincang Liputan6.
Â
Berharap dua, Ternyata Dapat Banyak
Apa rasanya dalam semalam bisa menggenggam Piala Antemas dan Piala Citra Utama untuk film panjang terbaik?
Rasanya surreal mungkin, untuk sebuah PH yang baru merilis film pertamanya 2022, Ngeri-Ngeri Sedap. Dua tahun kemudian ada di posisi ini tentu rasanya tidak pernah terbayangkan.
But then again, kita berusaha untuk enggak lupa daratan saja sih, maksudnya jangan sampai apa pun achievement kita, apa pun apresiasi yang kita dapat, jangan sampai lupa sama core values kita, lupa sama idealisme kita, kembali grounded, kembali fokus lagi untuk tetap di jalur kita saja gitu.
Jangan sampai apa pun yang kita dapat itu membuat kita jadi keluar dari track kita gitu. Itu sih sebenarnya yang penting.
Datang ke karpet merah FFI itu harapannya menang berapa Piala Citra?
Aku prediksi dua dari 11 nominasi. Aku prediksi 2, aku prediksi skenario terbaik sama Nirina, best actress yang aku yakin banget-banget 2 itu sejujurnya. Tapi ternyata banyak.
Ternyata menang 7 dan 4 kategori akting disapu bersih ya?
Iya, pertama sepanjang sejarah FFI, 4 kategori akting pemeran utama dan pendukung cowok dan cewek itu dimenangkan oleh satu film yang sama. Bukan cuma 4 orang itu yang sudah pasti, tapi juga Yandy Laurens sebagai seorang sutradara, bagaimana skill dia.
Karena aku juga sebagai produser ketika memutuskan untuk bekerja sama dengan Yandy Laurens juga salah satu goal-nya memang belajar sih, jujur pengen belajar dari dia, apa yang dia lakukan, yang aku bisa pelajari gitu.
Dan salah satunya terkait keaktoran itu, dia adalah sutradara yang reading itu jadi sesuatu yang luar biasa, fokus banget sampai berhari-hari dikurung pemain-pemain di satu rumah untuk reading. Untuk benar-benar bangun tidur sampai tidur lagi itu kerjanya cuma reading. Tapi ya hasilnya seperti teman-teman bisa lihat gitu.
Tapi kategori sutradara agak meleset ya?
Aku rasa kalau melihat perbandingannya sama Samsara ya, mungkin secara directing aku asumsi sih, dewan juri mungkin melihat tingkat kesulitan Samsara itu memang secara teknis menurutku luar biasa sih.
Tingkat kesulitan teknisnya ya, kalau JCSDF kan mungkin tanda kutip hanya mengarahkan aktor di sebuah ruangan kecil, aktornya juga enggak banyak. Kalau Samsara itu scope penyutradaraannya memang pas kemarin lihat di JAFF juga wow gitu.
Nah, merasa kecepetan enggak sih untuk sebuah rumah produksi yang baru di industri sinema Indonesia tiba-tiba 9,1 juta penonton, tiba-tiba Piala Antemas sama Piala Citra diborong semua?
Kalau ditanya merasa kecepetan apa enggak, iya sih, karena kan siapa juga yang menyangka ya, maksudnya kayak berusaha untuk bikin film yang kita suka, kita produksi script yang kita suka, kita enggak ikut trend, kita enggak mencari apa yang lagi laris, kita enggak berusaha mencari apa yang lagi viral.
Bukan berarti itu salah, tapi karena sudah banyak yang melakukan, kita coba yang lain saja deh. Berusaha untuk mencari excitement dengan melakukan sesuatu yang fresh yang tidak dilakukan oleh orang lain. Bukan for the sake of sok beda, tapi itu yang membuat kita happy sama pekerjaan kita gitu, sesimpel itu.
Jadi bisa ada di posisi seperti sekarang ya menurutku ya sama sekali tidak kita prediksi, tapi juga di saat yang bersamaan tidak itu tadi tidak mengubah arah kita, dalam arti enggak, Imajinari itu harus jadi PH terbesar di Indonesia dalam waktu 10 tahun lagi.
Kita enggak pernah punya, enggak punya arah ke sana sih. Bahkan kita berani bilang, kayaknya 2024 terlalu sibuk ya gitu, terlalu ngoyo gitu. Jadi kita malah mau kurangin malah tahun 2025 dua film, maksimal kita produksi dua film saja gitu.
Benar?
Benar, Imajinari akan merilis dua film tahun depan. Tapi disclaimer sedikit, di luar dari beberapa keterlibatan kami dalam mendukung teman-teman. Karena seperti sudah di-launch di sosmed mereka masing-masing juga kita ikut, Imajinari ikut men-support dua project yang tidak kami produksi sendiri, yaitu yang pertama film Sore, film berikutnya dari Yandy Laurens kita ikut support walaupun tidak terlalu banyak, sama AADC Musikal juga.
Rangga dan Cinta?
Iya Rangga dan Cinta, musikal Rangga dan Cinta kita juga ikutan support lebih karena pengen belajar sih kayak apa ya, someday siapa tahu kita bikin musikal kita bisa dapet ilmunya.
Enggak ada bocoran nih soal Rangga dan Cinta?
Saya sebagai yang cuma ikutan tipis-tipis mana boleh bocorin apa-apa. Itu juga aku berani ngomong karena kemarin di JAFF Mbak Mira sudah announce kan partner-partnernya Rangga dan Cinta siapa saja, termasuk Imajinari. Jadi kita hanya dukung apa pun yang kita bisa support ke Mbak Mira kita support gitu dan Mas Riri tentunya sebagai sutradaranya.
Â
Advertisement
Tahun 2024 Ditutup dengan Dramatis
Setelah Cek Toko Sebelah 2 itu seorang Ernest Prakasa pamitan dengan rumah produksi Starvision yang selama ini sudah membesarkan namanya. Dan setelah itu kayaknya belum menyutradarai lagi?
Aku sebenarnya bulan lalu baru saja menyutradarai film pertamaku bersama Imajinari, tapi memang film itu bukan untuk tayang di bioskop. Jadi mungkin akan diumumkan awal 2025 oleh pihak yang bersangkutan, jadi aku enggak mau mendahului.
Tapi memang film pertamaku di Imajinari ini bukan film bioskop. Karena memang aku sudah ada obrolan lama untuk membuat sebuah project yang tidak untuk ditayangkan di bioskop gitu. Jadi film bioskop pertamaku bersama Imajinari saat ini masih dalam fase development. Aku ada beberapa ide yang lagi di-explore, jadi belum tahu juga, belum tahu kapan.
Pertimbangan untuk tidak tayang di bioskop? Ini baru pertama kali ya?
Ya betul pertama kali. Tidak tayang di bioskop karena memang obrolan aku sama mereka sudah terjadi sejak kita nganggur-nganggur di masa pandemi. Jadi dari zaman pandemi itu, aku punya ide, lucu kali ya aku punya ide gini-gini terus mereka langsung kerjain yuk.
Cuma waktu itu masih pandemi kan? Jadi begitu selesai pandemi, aku sibuk di producing di Imajinari. Jadi begitu kita bisa atur timeline-nya, yuk kita kerjakan project yang sudah kita obrolin sejak 2021 akhir. Itu baru terwujud syutingnya di November 2024.
Sebagai aktor, penulis naskah, sutradara dan produser, yang paling nyaman itu sebagai apa?
Nyaman itu ringan atau karena ada yang berat tapi rewarding gitu. Berat tapi membuat berat pekerjaan itu sebanding dengan kebahagiaan ketika hasilnya diterima dengan baik, jadi kalau mau dibilang enggak nyaman jadi kurang akurat juga. Cuma kalau mau diurut mungkin mana yang paling berat, paling susah buat aku pribadi ya kalau mau diurut ya, yang pasti yang paling rendah tingkat kesulitannya buatku akting.
Kenapa? Karena prosesnya paling singkat dibanding yang lain. Tiga profesi lain membutuhkan komitmen, waktu, dan energi yang jauh lebih banyak. Kalau akting ya kita kerja berapa lama sih? Sebulan Mungkin sama fase persiapan dua bulan maksimal, and then it's gone gitu. Yang lain tentu tidak bisa secepat itu.
Paling berat pasti producing karena waktunya lama sekali, dari kita development script, produser itu udah terlibat aktif sama penulisnya sampai tayang yang which is itu seringkali di atas setahun prosesnya. Dari pertama kali kita mulai nulis sampai filmnya mulai tayang gitu.
Kayak contoh yang sekarang aku lagi mau syuting misalnya filmnya Kristo Immanuel, Tinggal Meninggal itu baru syuting di Februari 2025, tayangnya aku belum bisa kasih tahu, tapi ya prosesnya segitulah. Agak Laen 2 juga yang kita lagi develop juga sama. Jadi prosesnya panjang banget.
Kedua, tentu menyutradarai itu proses yang sangat berat karena tuntutan untuk menjadi seorang sutradara itu menurutku berat banget, karena ada banyak sekali hal yang dituntut dari segi kreatif ya. Kayak harus mikirin, mungkin simply put harus mikirin segala macam dan harus punya jawaban untuk semua orang.
Semua orang akan datang dengan pertanyaan kalau kita jadi sutradara tuh. Tim kostum nanya ini gimana kostumnya? Tim artistik nanya ini mau gimana? Kamera nanya ini mau gimana? Dan harus punya jawaban untuk semua orang itu, itu berat banget sih menurutku profesi itu.
Layaknya kamus berjalan ya? Selanjutnya apa?
Yang ketiga ya penulis. Penulis itu juga berat, karena penulis itu harus berhadapan hanya dengan dirinya sendiri gitu. Hanya versus laptop gitu kan? Walaupun kalau aku dengar misalnya kayak di drakor gitu dia tim penulisnya memang banyak sekali.
Tapi menurutku di satu sisi menulis dengan kesendirian itu adalah sebuah tantangan, tapi di satu sisi itu juga sebuah privilege untuk kita bisa menjaga keutuhan karyanya. Ini script gue gitu, ini script yang saya tulis sendiri itu juga privilege sih sebenernya. Jadi ya semuanya sulit, semuanya berat, tapi semuanya rewarding.
Bukan hanya dari sisi komersil, tapi fulfilling-lah dari sisi kepuasan berkarya gitu. Dan aku selalu bilang kalau finish line atau endgame atau tingkat level tertingginya seniman ya kebebasan berkarya gitu. Saat kita sudah bisa ada di posisi di mana aku sudah bisa memilih apa yang mau aku kerjakan itu sebenarnya sudah sudah endgame.
Jadi kalau ditanya mau apa lagi nih yang mau dicapai? Aku enggak bisa jawab karena aku sudah merasa mencapai titik tertinggi yang aku mungkin capai itu ya sudah tercapai sebenarnya gitu.
Jadi sudah enggak ada lagi yang ingin dicapai nih?
Iya, maksudnya sudah enggak ada ambisi apa gitu. Tinggal masalah film apa lagi yang mau dibikin, oh belum bikin musikal, lucu kali ya? Action belum bikin action seru kali ya? Lebih ke situ tapi enggak punya ambisi.
Kayak misalnya Imajinari harus jadi PH besar, harus memproduksi sekian film dalam setahun, harus go internasional, harus kayak gitu-gitu, go public, enggak sih enggak. Aku pengen liburan ha..he...
Ernest Prakasa memandang 2024 seperti apa?
Itulah menariknya menjadi produser film ya kan? Dari membuka tahun dengan 9 juta penonton. November menutup tahun dengan FFI, mengawinkan piala Film Terbaik dan Film Terlaris, lalu disambut dengan bulan terakhir di mana film kita penontonnya 40 ribu sekian penonton. Jauh di bawah ekspektasi.
Ekspektasi berapa?
Ekspektasi ya paling enggak harapan kita sih 500 sampai 1 jutalah. Semoga bisa ya karena bukan apa-apa karena ini film kita yang termahal sejauh ini, syuting di Korea dan lain sebagainya. Jadi memang jauh di bawah ekspektasi kita, tapi then again menurutku untuk sebuah PH yang baru berjalan selama 2 tahunan gitu ya mungkin kalau dihitung syutingnya 3 tahun, 2021 kita syuting Ngeri-Ngeri Sedap.
Ya memang harus banyak belajar gitu, harus banyak belajar dan aku rasa if I'm being poetic ya anggap deh akhir tahun ini film kita yang tidak sesuai ekspektasi ini menjadi pengingat kalau anything can happen di dalam film, enggak akan selalu filmnya sukses. Akan ada hal-hal yang membuat kita ya either kita berhasil atau kita belajar gitu.
Kayak semua hal yang sudah kita achieve di 2024 ini sekarang kita sampai akhir tahun kita pencet tombol reset, kita mulai lagi dari awal. Kita menghadapi 2025 dengan reset dari nol lagi yuk. Kita mulai lagi dari nol, kita lihat lagi apa yang berhasil, kita lihat lagi apa yang gagal? Pelajaran apa yang bisa kita ambil gitu.
Â
Berawal dari Stand Up Comedy
Hanung Bramantyo pernah bilang, katanya ada rumus atau formula bikin film bagus, tapi enggak ada rumus buat bikin film laku, tanggapan Anda?
Berdasarkan pengalaman, aku sangat setuju sekali dan aku rasa semua produser setuju. Kita enggak akan bisa pinpoint apa yang membuat sebuah film laku, karena banyak juga kok film yang beberapa bulan terakhir, tentu kalau film orang enggak etis aku sebut judul ya.
Tapi ketika kita lihat trailer, kita lihat pemain, wah ini sih kayaknya bakal besar tiba-tiba enggak. Sebaliknya, film yang kita lihat ya ini oke, tapi kayaknya ya oke-oke ajalah, tiba-tiba meledak segitunya, jadi ya memang enggak bisa diprediksi sih.
Apakah satu dari 2 film yang akan dirilis Imajinari di 2025 adalah Agak Laen 2?
Agak Laen 2 itu sekarang masih dalam fase development scenario. Jadi aku enggak berani bilang iya, nanti kita umumkan. Karena gini, kita prinsipnya enggak mau buru-buru script kan? Apalagi Agak Laen 2 ini sequel. Bebannya lebih berat loh kalau sequel, karena kan orang nonton yang pertama itu enggak ada ekspektasi.
Nah, orang nonton yang kedua sudah harus lebih bagus atau harus enggak kalah dari yang pertama. Itu kan beban yang luar biasa berat, 9 juta penonton harus ditandingi dengan naskah seperti apa? Jadi kita enggak mau terburu buru.
Kalau script-nya matang, kita bisa tayangin 2025 let's go. Kalau misalnya kita merasa belum, kita ada satu project lagi yang juga kita siapkan untuk kita shoot. Jadi kita lihatlah, dalam awal 2025 pasti akan kita umumkan kok, apa sih dua film kita di 2025 ini 2 filmnya apa, di awal tahun akan kita umumkan.
Sebenarnya awal karier Ernest Prakasa di dunia seni itu dimulai dari mana?
Di dunia seni, kalau public speaking dinilai sebagai seni, aku dari kuliah sudah siaran. Tapi kalau seni hiburannya mau dihitung dari sejak fulltime, berarti dari pertama kali terjun 2011 stand up comedy, 2013 mulai masuk akting, kemudian menulis dan menyutradarai.
Banyak yang bilang katanya stand up comedy itu profesi dalam tanda kutip batu loncatan, apakah benar?
Terbukti berhasil dan terbukti bukan cuma di sini, tapi kalau kita lihat di Amerika pun begitu. Nama-nama besar kayak Jim Carrey, Chris Rock, Kevin Hart, Seth Rogen, Eddie Murphy, almarhum Robin Williams, semua mengawali karier dari stand up comedy.
Jadi kalau ditanya kenapa stand up comedy bisa jadi batu loncatan yang sedemikian solid? Karena stand up comedy itu, di dalam stand up comedy itu tercakup beberapa skill yang harus dikuasai dan semuanya itu relevan ke banyak bidang lain. Jadi misalnya penulisan, kalau mau stand up kan harus bisa bisa nulis.
Kemudian juga public speaking sudah pasti. Kemudian akting, akting juga loh. Stand up comedian itu kan di panggung akting, menghiperbolakan emosi. 'Gue tuh kesel banget sama...' Padahal kan ya mungkin enggak kesel-kesel amat ya, tapi kan harus terlihat kesal dong gitu.
Jadi ada aktingnya, ada nulisnya, ada public speaking-nya, in a way ada producing-nya karena biasanya stand up comedian rata-rata itu pasti mengonsep semua hal tentang dirinya sendiri. Jadi dia punya sisi manajerial juga di situ, dia mengonsep kalau bikin pertunjukan, karena kita pasti mulai dari bawah itu independen, kita enggak akan bisa tiba-tiba aku mau bikin show sudah langsung sama promotor, enggak mungkin.
Pasti awal-awal bikin sendiri. Jadi harus belajar tentang manajerial, membuat sebuah acara. Jadi stand up comedian itu melatih kita di berbagai bidang gitu, sehingga pintu yang terbuka juga banyak.
Lantas bagaimana kemudian seorang Ernest Prakasa punya pertimbangan harus bikin rumah produksi sendiri dan debut Ngeri-Ngeri Sedap yang hari pertama cuma 50 ribuan tapi berakhir di 2,8 juta penonton?
Yang orang enggak banyak tahu, Ngeri-Ngeri Sedap itu bukan aku produsernya, tapi Dipa. Karena ketika itu aku masih harus fokus mengerjakan Cek Toko Sebelah 2. Memang Ngeri-Ngeri Sedap terjadi di era aku masih menyelesaikan tanggung jawabku bersama Starvision.
Jadi itu film Bene dan Dipa. Dipa sebagai orang yang selama ini ada di sekitar tapi belum pernah terjun jadi produser, langsung dicemplungin bikin Ngeri-Ngeri Sedap. Tapi kalau balik ke pertanyaan kenapa akhirnya bikin sendiri, sebenarnya kalau mau dipilih faktor yang paling utama itu sebenarnya balik lagi ke yang tadi tuh, soal kebebasan kreatif.
Karena kan setiap PH, setiap produser itu pasti punya idealismenya. Termasuk aku dan Imajinari gitu. Nah, Starvision dan Pak Parwez tentu punya idealismenya sendiri.
Nah, di satu sisi aku sebagai sutradara dan juga ketika itu sudah belajar jadi produser kreatif untuk beberapa project-nya Starvision juga, juga punya idealisme sendiri dan menurutku secara kreatif pasti akan ada momen di mana aku merasa kreativitasnya butuh ruang lebih luas.
Mungkin itu istilah yang paling tepat. Ketika sebuah PH punya idealismenya sendiri, maka ruang geraknya sudah terpatok di situ. Tapi untuk bisa bergerak lebih luas lagi, untuk bisa mengeksplor lebih banyak lagi tempat, aku butuh kendaraan sendiri.
Contoh ekstremnya ya Jatuh Cinta Seperti di Film-Film gitu. Tipe film seperti itu, kemudian film mungkin Agak Laen bisa dibilang cukup mainstream ya. Kaka Boss, cukup ekstrim dalam arti film ini dimotori oleh orang-orang Indonesia Timur yang mungkin banyak produser mungkin akan ngeri gitu melihatnya.
Ini serius nih? Pemainnya siapa? Godfred Orindeod siapa? Nowela gitu untuk menjadi pemeran utama ya? Tapi ya itulah, maksudnya di situlah serunya bisa punya PH sendiri, bisa melakukan apa pun, literally apa pun yang kita mau. Ya itu sih kesenangannya gitu.
Dan enggak ada yang menyangka Kaka Boss bisa sampai hampir satu juta penton?
Hampir 900 ribu. Ya not bad-lah, not bad-lah hampir 900 ribu untuk sebuah film yang buat kita lagi-lagi eksperimental ya, karena biasanya kan pasti orang-orang sesuai misinya Arie untuk membuktikan bahwa teman-teman dari Indonesia Timur ini bisa gitu.
Ketika ada film tentang mereka, mari kita berikan mereka panggung utamanya, bukan orang-orang yang mungkin bukan dari suku tersebut, tapi dibikin seolah-olah dari suku tersebut yang memang dalam banyak kesempatan aku bisa mengerti, karena kita tidak selalu bisa nemu orang dari suku yang bersangkutan kan?
Dan kadang-kadang kita punya waktu juga enggak banyak untuk bisa melakukan hal seideal itu. Tapi dalam hal Kaka Boss, karena kita punya waktunya dan Arie pengen misinya adalah memberikan panggung seluas-luasnya buat seniman seniman Indonesia Timur ya yuk kita coba lakukan.
Â
Advertisement
Hasil Akhir yang Kadang Tak Sesuai Harapan
Bisa diceritakan film-filmnya Imajinari di tahun 2024 antara ekspektasi dan hasil akhir?
Kita itu jarang banget melakukannya, misalnya berapa ekspektasi Cinta Tak Seindah Drama Korea, aku bilang range 500 sampai sejuta. Angka itu muncul dari mana? Angka itu muncul sebenarnya dari break even point kita secara project. Kita bisa BEP di kisaran berapa ya angkanya ada somewhere di dalam angka itu.
Mungkin aku enggak bisa tunjuk secara spesifik ya karena off the record. Tapi patokan kita itu sebenarnya patokan dasarnya adalah film ini potensi ruginya besar enggak? Itu dulu. Kayaknya sih enggak terlalu ngeri ya beranilah gitu dari situ dulu. Tapi kita targetin berapa juta nih, itu kita nyaris enggak pernah lakukan sih karena ya itu tadi yang kata Mas Hanung, kita merasa terlalu mustahil untuk diprediksi itu angkanya berapa?
Jadi yang penting make sense enggak ya? Contoh misalnya, contoh yang agak ekstrem, misalnya Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Ini kan film hitam putih, apa iya kita mau bilang sejuta penonton, kan enggak realistis juga. Tapi apa iya kita mau bilang 50 ribu oke ini kayaknya, enggak balik modal juga.
Maka kita akan berhitung dari biaya produksi yang tentunya Yandy juga cukup wise untuk menekan biaya produksi karena dia tahu ini film sangat challenging secara penjualan kan, kita sudah hitung biaya produksi berapa? Sekian ratus ribu sudah balik modal. Ya kita lebih-lebihin dikit semoga bisa tembus.
Jadi kita enggak pernah kayak punya, oke ini Agak Laen 2 nih, misal kita mau bikin Agak Laen 2, kemarin 9 juta berarti sekarang ya minimal harus menyamai atau 5 juta itu sudah minimal banget. Dari mana bisa ngomong begitu? Patokannya apa gitu, susah. Patokannya apa gitu? Formulanya enggak ada yang tahu.
Kalau Agak Laen ekspektasi berapa? Realistisnya kan 9,1?
1 sampai 2 jutalah kita expect, karena kita gini, kita pernah punya film Ngeri-Ngeri Sedap yang 2 jutaan penonton. Berarti kalau kita menyebut angka 2 juta itu bukan sebuah mimpi di siang bolong karena kita pernah mencapai.
Jadi kalau kita bilang ayo kita targetin 1 sampai 2 juta penonton, bisa kali ini, itu enggak ngayal-ngayal amatlah, karena ada preseden Ngeri-Ngeri Sedap kan 2,8 juta, jadi bisa yuk, bisa 1 sampai 2 juta bisa.
Pas hari pertama 180 ribu kita sudah oke, ini lewat sih tembus sih kayaknya 2 juta mah gampang banget kayaknya kalau hari pertamanya segini ya? Tapi enggak ada yang menyangka 9 juta juga sih.
Itulah hidup ya, dalam satu tahun ada film yang 500 ribu penonton, ada film yang bahkan sepanjang tayang enggak nyampe 50 ribu atau mungkin sepanjang tayang nanti hanya 50 ribu penonton. That's life gitu.
Berasa main judi enggak sih jadi produser?
Ada sih, judinya tuh bukan dari segi uang ya, kalau uang kan kita invest minim minoritaslah, kita banyak investor, investasi Imajinari minoritas banget. Tapi investasi waktu dan tenaganya itu yang bikin sedih.
Itu yang bikin sedih, kayak wah, kita sudah kerja keras banget untuk film ini, hasilnya segini ya sudahlah gitu. Itu sebenarnya yang bikin sedih itu itunya.
Selama menjadi sutradara dan produser, ada tidak pemain yang punya permintaan aneh-aneh di lokasi syuting?
Ada beberapa nama. Tapi jujur enggak banyak lho di Indonesia. Dan kalaupun ada aku enggak akan sebut nama. Tapi kalau misalnya pun iya, ada permintaan-permintaan yang lebih ribet dibanding aktor lain, menurutku bisa dijelaskan secara masuk akal.
Contoh ada beberapa pemain kita yang riders-nya itu adalah di setiap lokasi syuting ruang tunggu tidak boleh gabung dengan pemain lain, misalnya. Dan itu menurutku bisa dilogikakan, artinya ketika dia adalah seorang pemeran utama dengan tingkat kesulitan peran yang tinggi, dia butuh fokus, dia butuh waktu dan ruang untuk fokus, bebannya dia lebih berat.
Jadi kalau dia minta itu menurutku ya masih masuk akallah. Bukan sebuah permintaan yang aku mau disiapkan di dalam ruang tungguku harus ada kucing albino dua atau apa gitu kan aneh-aneh ya? Tapi kalau masih butuh, aku mau private room ya masih masuk akal.
Aktor kita secara umum permintaannya masih masuk akal kok. Misalnya aku minta harus ada buah-buahan segar gitu-gitu menurutku ya masih masuk akal, pengen camilannya sehat. Jadi rata-rata aku berani bilang di Indonesia kalau dari segi riders rata-rata masih make sense. Kalau dari segi attitude adalah beberapa yang wow.
Attitude yang paling enggak banget, misalnya?
Enggak mungkinlah gue bahas terbuka gini, kalau japri boleh. Namanya seniman itu kan seniman ya. Jadi adalah seniman-seniman tertentu yang moodnya sulit ditebak, ada aktor yang walaupun top sudah top-topnya, tapi setiap hari being a good professional mereka datang dengan tingkat kooperatif yang selalu sama gitu.
Selalu happy, selalu membawa mood yang membuat orang lain juga happy. Tapi ada yang memang seniman-seniman yang tidak bisa selalu berada dalam kondisi yang selalu happy. Ada kalanya ya dia berjuang juga gitu, ada kalanya datang sudah cemberut.
Tapi ya sebagai sutradara ya kita kasih ruang gitu. Dan kita dari sejak reading itu harus tahu orang ini apa yang bisa memperbaiki moodnya dia. Aku juga jadi harus kayak in a way jadi kayak psikolog. Ada aktor yang kalau lagi cemberut dia harus didiemin dulu gitu. Ya sudah biarin dulu, biarin, biarin dulu.
Ada aktor yang harus diajak ngobrol. Justru kalau lagi bete, diajak ngobrol ke-distract, malah jadi happy. Ada, ada banget, ada banget. Jadi ya kita sebagai sutradara terutama memang harus ya itu harus punya jawaban untuk semua masalah, termasuk masalah bagaimana memperbaiki mood orang.
Aktor termahal di Indonesia siapa sih sekarang, katanya ada yang bernilai 1 M?
1M ya? Aku rasa 1 miliar untuk seorang aktor papan atas, kalaupun benar itu bisa dimengerti karena gini. Sebuah project itu kan tingkat kesulitannya beda-beda, dari segi syuting dan terutama dari segi persiapan.
Ada beberapa project yang syuting dan persiapannya itu benar-benar menyita waktu segitunya sampai aktor ini benar-benar harus mendedikasikan dirinya untuk project tersebut. Padahal aktor itu kan pendapatannya sebenarnya bukan hanya dari akting loh. Dia bisa dari brand ya kan?
Datang ke acara brand atau menjadi brand ambassador. Ada berbagai kegiatan, ada beberapa project yang ketika datang pokoknya dua bulan enggak boleh ngapa-ngapain ya. Nah, potensi pendapatan dia yang hilang juga mungkin besar.
Jadi kalau misalnya ada yang bilang ada aktor yang dibayar satu miliar, ya wajar sih. Menurutku wajar. Kita sulit ngasih price tag ke seniman ya karena apa yang mereka berikan itu memang tidak tidak ternilai gitu. Ada aktor yang 100 juta, ada aktor yang satu miliar, ada aktor yang 10 juta. Value yang mereka kasih kan beda-beda.
Â
Fase Terendah dan Fedi Nuril
Seandainya tidak menjadi seniman, kira-kira Ernest Prakasa akan jadi apa?
Seandainya tidak menjadi seniman? Aku kan sempat kerja kantoran ya, ngantor 6 tahun, ngantor 6 tahun itu kan walaupun ada yang ngurusin musik mostly, tapi departemennya kan marketing. Dan aku merasa marketing itu dunia yang sangat dinamis, unsur kreatifnya juga tinggi, ruang gerak untuk kita melakukan hal-hal yang selalu baru juga tinggi.
Jadi mungkin kalau enggak jadi seniman, mungkin aku kerjanya di bidang marketing kayaknya, mungkin marketing. Bedain marketing sama sales ya, maksudnya marketing lebih dibikin campaign-nya. Kita bisa create promo yang kayak gimana nih biar menarik buat konsumen, itu sebenarnya menantang banget.
Apakah Ernest Prakasa sudah merasa berada di puncak karier?
Iya, iya. Aku bisa jawab iya, aku enggak punya, aku enggak punya mimpi, enggak ini belum apa-apa, enggak. Aku sudah merasa sudah ada di puncak, sudah sangat berada di puncak. Jadi aku berada di sini terus seumur hidup juga sudah more than happy.
Apa fase terendah dalam hidup seorang Ernest Prakasa?
Fase terendah mungkin ketika tersingkir dari Stand Up Comedy 2011. Tiga besar bahkan enggak masuk grand final, grand finalnya dua besar. Jadi tiga besar itu sama saja sama empat besar dan lima besar. Sebenarnya cuma istilah saja, tapi grand finalnya itu hanya Akbar versus Ryan ketika itu, dua besar saja.
Dan ketika itu kan resign dari kantor, berharapnya juaralah, paling enggak gitu kan. Dan yang dapat program itu hanya 2 besar, dikasih program sendiri di Kompas TV ketika itu 2 besar. Bingung, stress, sedih, enggak nyangka. Jadi berbagai emosi ketika itu sudah enggak tahu desperate, sudah resign dari kantor.
Ini ngapain nih, balik ngantor lagi apa berjuang nyobain jadi stand up comedian gitu. Itu mungkin titik yang paling gelap dan paling menyedihkan ketika itu ya.
Dan akhirnya apa yang diputuskan?
Akhirnya bilang sama istriku, kasih aku waktu menekuni, aku menikmati profesi ini. Aku bahagia sekali berada di komedi, kasih waktu 6 bulan. Kita lihat dalam 6 bulan ada kemajuan enggak? Ada ada sesuatu yang bisa kita lihat sebagai sebuah progress dalam enam bulan ini gitu.
Itu terjadinya Desember ya, tersingkirnya Desember 2011. Dalam 6 bulan akhirnya aku bikin tur stand up comedy, aku masuk setengah halaman di Kompas dibahas tur stand up comedy, itu kan tur stand up comedy pertama di Indonesia dan karierku sejak itu ya jadi dapet pijakan yang cukup kuat, batu pijakan yang kuat untuk dapat job stand up, dapat masuk akhirnya diajak mengisi di televisi juga, belum film ketika itu.
Tapi kalau patokannya 6 bulan sebelumnya adalah kita lihat dalam enam bulan apakah ada progress, ya jelas di 6 bulan setelahnya jelas ada progress gitu.
Sangat setia ya seorang Meira Anastasia, pasang surut sudah tegak lurus sama Ernest Prakasa saja.
Waduh, tegak lurus, biasanya tegak lurus bersama Jokowi biasanya ya?
Jangan ngomong begitu, entar diserang buzzer kayak Fedi Nuril lho?
Diserang buzzer kayak Fedi Nuril? Tapi filmnya 4 juta penonton juga sih walaupun diserbu buzzer. Santai sajalah ya. Buzzer mah buzzer, penonton film enggak peduli kayaknya Fedi mau ngomong apa di Twitter.
Tapi aku happy for Fedi gitu. Menurutku apa yang terjadi gini, aku pengen menyoroti fenomena Fedi dengan sangat serius. Karena menurutku apa yang terjadi dengan Fedi Nuril dan film Bila Esok Ibu Tiada yang tetap sukses secara penjualan, itu membuktikan kalau seniman itu enggak perlu takut bersuara.
Itu penting loh, itu penting banget. Jadi I'm so happy for you, Fedi. Walaupun vokal, walaupun diserbu buzzer dan disumpahin filmnya flop, tapi filmnya laku-laku saja. Itu artinya seniman enggak usah takut bersuara.
Â
Advertisement
Meira Anastasia, Istri dan Rekan Kerja
Kembali ke Meira Anastasia, seberapa besar impact perempuan yang satu ini dalam hidup seorang Ernest Prakasa?
Kalau dihitung dari pacaran ya aku sudah bersama dengan dia selama 22 tahun. Karena kita mulai kenal 2002, menikah 2007, menikah 17 tahun bersama 22 tahun, 22 tahun bersama. Umurku 42 sekarang, jadi lebih dari setengah hidupku kita sudah bareng.
Jadi ya enggak bisa dipisahkan dari semua hal yang aku raih, menjadi fondasi yang kokoh gitulah. Tempat aku pulang untuk semua masalah, semua keluh kesah ya pasti ditumpahkannya ke dia gitu.
Bersyukurnya bisa menjadi teman dan sahabat yang nyambung ngobrol apa pun, aku rasa itu penting untuk dalam sebuah pasangan hidup, bukan cuma ketertarikan secara fisik, bukan cuma kekaguman secara kesuksesan, tapi juga kecocokan secara personal.
Ya ngobrol dulu deh, kalau misalnya punya pacar ngobrol dulu dua jam, bisa enggak ngobrol dua jam. Kalau misalnya duduk bareng ya main HP masing-masing enggak bisa ngobrol, apa kabar lu hidup puluhan tahun sama orang yang sama, gimana ceritanya?
Berada di bidang yang sama, sempat enggak sih pas lagi tidur ngomongin kerjaan?
Ya pasti, apalagi kemarin project bareng kan? Dan ujian dalam pernikahan juga ketika kebetulan sekali film pertama Imajinari yang secara komersial tidak berhasil adalah filmnya dia.
Jadi itu juga buat kita juga goncangan pasti, karena buat Meira dobel dong kecewanya, kecewa penonton sedikit dan kecewa karena merasa bersalah karena mengecewakan Imajinari yang notabene adalah suami sendiri. Jadi dobel-dobel buat dia bebannya.
Buat aku mungkin bebannya beban rugi kepada investor, tapi buat dia beban mengecewakan Imajinari yang adalah suami sendiri dan beban ketika sudah kerja keras, ternyata penontonnya tidak seperti yang diharapkan. Jadi ya berat banget sih.
Apa yang Koh Ernest sampaikan untuk membesarkan hati Meira Anastasia di fase Desember 2024 ini.
Aku ngasih ruang aja sih, karena dia yang tahu bagaimana memproses ini semua. Aku enggak akan bisa ngomong apa pun untuk membuat dia dari kecewa jadi normal lagi. Dia butuh waktu sudah pasti, dia butuh ngobrol dengan orang-orang lain juga.
Karena kalau ngobrol sama aku pasti ada rasa, ya iyalah kamu ngomong gitu kamu kan memang wajib, secara bawah sadar maksudnya, kamu kan memang wajib dukung aku gitu. Kalau suami atau istri sendiri yang ngomong ya mungkin ada rasa itu. Tapi ketika dia ngobrol sama orang-orang lain, teman-teman yang support, filmmaker-filmmaker lain yang sangat suportif, ya membesarkan hatilah.
Jadi yang aku lakukan ya aku ngasih ruang. Aku pengen pergi sendiri ya gitu, ya sudah silakan gitu. Aku pengen enggak diganggu dulu, aku pengen diam dulu di kamar. Yang bisa aku lakukan ya aku ngasih ruang saja, ya ngasih ruang untuk dia memproses ini semua untuk bisa pulih, dia yang paling tahu caranya gitu.
Butuh waktu untuk dia bisa mengolah ini semua. Aku yakin ini akan semua kekecewaan dan kegagalan itu ketika sudah diberikan waktu yang cukup, maka akan menjadi motivasi untuk balas dendam gitu. Kayak aku harus bisa bikin yang lebih bagus, pasti. Ketika aku bikin contoh 2021 itu pernah juga bikin film yang flop Teka Teki Tika kalau masih ingat.
Ketika terjadi ya mungkin perasaannya, kesedihannya, kekecewaannya pasti terlalu besar untuk diatasi dalam waktu singkat. Tapi kalau sudah lewat lama, kita sudah bisa mengubah itu menjadi oke apa saja yang harus dipelajari, bagaimana itu menjadi motivasi untuk jangan mengulangi kesalahan itu, apa yang bisa kita perbaiki, tapi butuh waktu, butuh waktu.
Â