Liputan6.com, Jakarta Permukiman kumuh menjadi salah satu masalah yang terus dibenahi pemerintah kota di Indonesia termasuk pemerintah kota (Pemkot) Surabaya. Pemkot Surabaya berupaya untuk membenahi permukiman kumuh tersebut.
Pemkot Surabaya telah menyiapkan sejumlah program untuk menata permukiman kumuh mulai dari rumah susun sederhana, dan program nasional pemberdayaan masyarakat.
Masalah permukiman kumuh di Surabaya ternyata sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Hal itu seperti dipaparkan Purnawan Basundoro dalam bukunya berjudul Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang, Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan.
Advertisement
Mengutip buku tersebut dalam bab penguasa dan pemukiman miskin di Surabaya pada masa kolonial, Surabaya menjadi kota yag menarik berkaitan dengan persoalan pertanahan dan permukiman. Surabaya menjadi salah satu kota tua di Indonesia. Surabaya memiliki hari jadi pada 31 Mei 1293. Kota Pahlawan ini pun pernah menjadi kota terbesar pada abad ke-19.
Baca Juga
Sejak itu pula pertumbuhan penduduk kota bergerak tajam. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadikan masalah permukiman menjadi persoalan dari waktu ke waktu. Hal itu dimulai pada akhir abad ke-19, ketika gejala peng-kota-an mulai jelas di sana.
Persoalan penyediaan tempat permukiman berkaitan erat dengan status tanah yang ada di Surabaya pada waktu itu. Hal ini terlihat jelas sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria pada 1870 oleh Pemerintah Kolonial.
Pada undang-undang itu dikemukakan, semua tanah yang tidak terbukti sebagai hak dan milik seseorang dinyatakan milik negara. Dengan ada aturan itu, semua tanah, juga tanah-tanah tandus dan desa menjadi milik pemerintahan.
Akan tetapi, pemerintah Hindia Belanda tidak bisa menguasai tanah-tanah partikelir yang mulai ada jauh sebelum diterapkanya UU Agraria. Pada masa Daendls dan Raffles berkuasa, untuk membagun Surabaya terpaksa menjual sebagian tanah di kota ini kepada orang-orang kaya Eropa dan China.
Hasil penjualan tanah ini digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas yang mendukung aktivitas mereka di kota antara lain benteng Lodewijk, asrama tentara, rumah sakit tentara di Simpang, dan sebagainya.
Dengan diterapkannya UU Agraria, tanah di Surabaya telah terbagi ke dalam beberapa kepemilikan yaitu swasta Eropa, orang-orang China, pemerintah dan kepemilikan perorangan secara adat.
Pada banyak kasus kepemilikan oleh swasta Eropa sangat kuat dan luas sehingga sering kali kekuatan pemeritah dalam hal regulasi pertanahan pada waktu itu diabaikan. Hal ini yang akhirnya ketika pemerintah kota memerlukan tanah untuk berbagai keperluannya kesulitan, karena swasta juga bertindak sebagai spekulan tanah.
Salah satu contoh, masalah penting yang dinamakan vervreendings-verbond yaitu larangan untuk membeli hak milik pribumi oleh orang asing.
Aturan ini dimaksudkan agar masyarakat pribumi tidak terusir dari tanahnya akibat ulah pihak swasta yang mengincar tanahnya sekaligus mencegah pembentukan kota yang tidak diinginkan.
Akan tetapi, para spekulan tanah tidak kalah pintar untuk menguasai tanah milik penduduk pribumi. Dengan berbagai cara tetap mengambil alih tanah-tanah milik pribumi. Akibatnya Surabaya berstatus gementee pada 1906 mengalami hambatan ketika harus mengembangkan kotanya sebab kebanyakan tanah di kota ini jatuh ke tangan para tuan tanah dan spekulan.
Sementara di lain pihak pemerintah kota tidak memiliki cukup uang untuk membeli tanah-tanah tersebut untuk keperluan pembangunan dan perluasan kota. Hal ini membawa dampak cukup serius pada proses penyediaan permukiman bagi penduduk kota.
Status ini pada gilirannya juga mengundang reaksi dari penduduk pribumi yang tinggal di tanah-tanah berstatus partikelir itu.Perlakuan yang sewenang-wenang dari para penguasa tanah telah menyebabkan penduduk pribumi mengobarkan perlawanan.
Di sisi lain, hal penting yang dilakukan oleh pemerintah kolonial berkaitan dengan penataan kawasan permukiman dengan pemisahan wilayah permukiman berdasarka ras/etnis.
Ini merupakan imbas dari kebijakan yang diberlakukan oleh Belanda yang tercantum dalam Regerings Reglement 1854 tentang pelapisan sosial.
Lapisan pertama, orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Lapisan kedua, orang-orang Timur Asing yaitu China, Arab dan India. Lapisan ketiga, orang-orang pribumi.
"Kebijakan ini dalam perkembangan selanjutnya akan sangat mempengaruhi wajah kota Surabaya," seperti dikutip dari buku tersebut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pemisahan Permukiman
Pemisahan permukiman itu berdasarkan etnis antara lain:
Pertama,permukiman masyarakat Belanda dan Eropa yang terletak di sekitar Jembatan Merah dan Simpang. Kompleks ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti jalan beraspal, penerangan, air bersih, kendaraan, trem listrik, kantor pos, rumah toko, barak militer, gereja dan sebagainya.
"Di sini pula berdiri kantor Residen Surabaya. Perkembangan selanjutnya Jembatan Merah tumbuh menjadi pusat kegiatan perdagangan dan ekonomi Kota Surabaya,” seperti dikutip dari buku tersebut.
Karena semakin banyak orang Belanda dan Eropa yang datang ke Surabaya, mereka berlomba-lomba membeli tanah di sekitar wilayah ini. Meski pada akhirnya pemerintah kotapraja mengeluarkan larangan untuk membeli tanah milik pribumi tetapi pembangunan kantor, permukiman, serta toko-toko tetap berjalan. Bahkan karena kebutuhan akan permukiman orang Belanda dan Eropa terus meningkat, pemerintah kota Surabaya menghancurkan permukiman lama yang dihuni masyarakat pribui dan memaksa untuk pindah.
Kedua, permukiman orang-orang China dan Timur Asing lainnya terletak di sebelah timur kawasa Jembatan Merah (seberang sungai kalimas). Orang-orang China menghuni kawasan Kembang Jepun, Kapasan, Pasar Atom.
Orang-orang Arab tinggal di kawasan permukiman di sekitar Masjid Ampel. Di kawasan sebelah timur Jembatan Merah juga tinggal orang-orang Melayu.
Ketiga, penduduk asli atau pribumi tinggal di antara tanah-tanah yang tersisa atau dibalik gedung-gedung milik orang Eropa. Perkampungan pribumi ini keadaannya bertolak belakang dengan kondisi permukiman masyarakat Belanda dan Eropa sehingga kadang menjadi sumber munculnya masalah kota seperti masalah sanitasi, keindahan kota, penyakit dan lain-lain.
"Dalam konteks pemerintahan kolonial, di mana mereka lebih mengedepankan kepentingan golongan mereka (orang-orang Eropa) maka rakyat miskin pribumi menjadi korban pertama terutama dalam sektor permukiman," seperti dikutip dari buku tersebut.
Advertisement
Permukiman Bangsa Eropa Berbeda
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, orientasi pembangunan kota lebih mengedepankan kepentingan orang-orang Eropa, pembangunan permukiman juga diarahkan untuk mereka. Namun, rakyat pribumi miskin di Surabaya benar-benar menjadi anak tiri dari proses perkembangan dan pembangunan kota.
Pola pembangunan perumahan permanen orang-orang Eropa yang hanya dilakukan di sepanjang jalan utama, menyisakan persoalan tersendiri karena di balik permukiman orang-orang Eropa yang megah ternyata terdapat perkampungan milik masyarakat pribumi yang wujudnya sangat kontras.
Dengan hak istimewa untuk mengatur kehidupan mereka, bangsa Eropa di Surabaya juga memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur kota. Dengan hak mutlak itu, mereka bisa memilih di mana mereka akan tinggal dan dengan tempat seperti apa mereka akan tinggal.
"Pilihan-pilihan mereka tentu saja akan jatuh pada tempat yang paling strategis, yaitu kawasan sepanjang tepi sungai di mulai dari kawasan sekitar Jembatan Merah menuju ke selatan," tulis buku tersebut.
Ketika kawasan Jembatan Merah, sebagai kawasan pertama Eropa, dirasakan tidak memadai lagi untuk permukiman dan perkantoran, dengan kekuasaan yang dimilik, mereka merencanakan untuk mengembangkan ke arah selatan.
Kawasan pertama yang direncanakan untuk lokasi permukiman adalah daerah Keputran. Tanah yang dialokasikan untuk daerah perumahan tersebut luasnya satu juta meter persegi, dibatasi Jalan Simpang, Jalan Kayoon, Keputran, dan Kaliasin.
Pada 1888, tanah partikelir tersebut dikuasai oleh perusahaan Bouwmaatschappij Keputran. Perusahaan ini kemudian membangun rumahrumah dengan tujuan untuk disewakan di sepanjang Palmenlaan, tetapi usaha itu kurang begitu lancar, sehingga perusahaan tersebut memutuskan untuk menjualnya per kavling kepada orang-orang Eropa di Surabaya.
Untuk menarik perhatian para peminat, pada lingkungan perumahan baru tersebut dibuat sebuah taman yang disebut sebagai Scheepsmaker Park.
"Hanya orang-orang Eropa yang bisa dan biasa menikmati keindahan taman tersebut," ujar dia.
Dengan ada taman itu, kawasan tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama segera terjual. Dalam waktu enam tahun sudah terbangun. Daerah yang sebelumnya dinamakan Keputran Lot, pada 1905 sudah dikenal sebagai permukiman elite yang ditempati orang-orang Eropa.
Kondisi ini jauh berbeda perkampungan pribumi saat itu. Rumah-rumah dibangun seadanya seperti tiang dari kayu, bamboo, pagar dibuat dari bambu yang dianyam. Sedangkan bagi yang cukup mampu mereka membuat pagar dari kayu dan batu bata seadanya.
Atap biasanya dari daun ilalang atau bagi yang cukup mampu biasanya dari genteng tipis berharga murah.Lantai-lantainya masih berwujud tanah tanpa pelapis.
Lingkungan perkampungan biasanya memiliki kesan kuat sebagai permukiman kumuh yang tidak tertata.
"Lingkungan semacam ini sampai 1920-an memang tidak tersentuh oleh campur tangan pemerintah kolonial dalam hal penataan kampung dan permukinan,” seperti dikutip dari buku tersebut.
Penduduk Surabaya Melonjak Dua Kali Lipat pada 1906-1930
Sejak Surabaya ditetapkan sebagai gementee pada 1906, kota ini dengan cepat berkembang sangat pesat. Secara fisik, Surabaya mengalami perluasan ke segala arah khususnya ke arah selatan. Perluasan kota ini salah satunya merupakan dampak dari pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi.
Dalam jangka waktu 25 tahun, sejak 1906-1930, jumlah penduduk kota Surabaya telah melonjak dua kali lipat. Pada 1906, penduduk kota ini hanya berjumlah 150.188 orang, tetapi pada 1930 telah menjadi 331.509 orang.
Golongan penduduk yang mengalami jumlah kenaikan cukup signifikan adalah golongan Eropa. Pada 1906, orang Eropa yang tinggal di Surabaya hanya 8.663 orang dan pada 1930 menjadi 26.376 melonjak tiga kali lipat.
"Lonjakan yang amat cepat tersebut salah satunya dipengaruhi arus urbanisasi dan industrialisasi di kota ini," seperti dikutip dari buku tersebut.
Surabaya yang telah berkembang pesat sejak era liberalisasi ekonomi pada 1870 telah menjadi salah satu tujuan utama para pendatang dari pedesaan yang ingin mengadu nasib.
Salah satu lokasi yang favorit bagi para pendatang dari pedesaan di sekitar Surabaya adalah Pelabuhan Tanjung Perak di utara kota.
Para pendatang dari pedesaan ini terjebak pada masalah permukiman yang pelik. Para pendatang ke Surabaya tanpa kemampuan untuk membeli tanah yang bisa didirikan rumah untuk tempat tinggal yang layak.
Hal itu membuat sejumlah alternatif yang akhirnya dijalan untuk sekadar bisa bertahan di kota dan sekadar berteduh. Kemudian hingga awal abad ke-20, sebagian besar permukiman penduduk pribumi di Surabaya dalam kondisi mengenaskan.
Advertisement
Kampung di Surabaya
Kampung-kampung di Surabaya merupakan permukiman apa adanya tanpa fasilitas memadai sebagai hunian di perkotaan. Kampung-kampung selalu dipenuhi para pekerja yang tidak mampu menemukan tempat tidur.
Pasar-pasar juga dipenuhi oleh mereka, dan dengan alas seadanya tidur di lantai. Hidup di kampung yang dekat dengan tempat kerja memberikan keuntungan kepada para pekerja untuk dapat menyimpan biaya pengeluaran untuk ongks trem yang menyerap sebagian besar pendapatan para pekerja perkotaan yang sudah sedikit itu.
Kampung-kampung semacam itu juga merugikan bagi para penghuninya. Hal ini karena sangat rawan terkena penyakit. Sebagian besar kampung-kampung di bagian utara Surabaya, yang dekat pelabuhan merupakan perkampungan di tepi rawa.
Bagi para buruh pendatang dari pedesaan, meski tinggal di perkampungan miskin kumuh, padat dan senantiasa mengancam jiwa karena dikerubuti berbagai macam penyakit, para buruh merasa nyaman terutama bila dibandingkan apa bila hidup di desa dengan penghasilan yang tidak jelas.
Tidak jarang juga para pendatang dari pedesaan tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Surabaya sehingga harus rela tidur di kolong-kolong jembatan. Gambaran tentang orang miskin, pengemis dan gelandangan pada awal abad ke-20 di Surabaya yang direkam bernama si Tjerdik dalam bukunya Melantjong ka Soerabaia.
Munculnya perkampungan kumuh di perkotaan juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang-orang Barat. Ini seperti dikatakan oleh P.J.M Nas, misalnya. Meningkatnya jumlah orang Barat yang membutuhkan ruang hidup di kota adalah satu alasan yang menimbulkan apa yang disebut sebagai masalah perkampungan.
Para pendatang baru yang semakin banyak mengambil lahan di pinggir-pinggir kampung yang secara signifikan mengurangi ruang yang tersedia bagi tempat permukiman penduduk asli. Hal ini juga dipadu dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan tingginya kepadatan penduduk di daerah ini. Kemudian sering kali mengubah perkampungan pedesaan di tepi kota menjadi perkampungan kumuh yang berada di tengah kota.
Kondisi permukiman pribumi yang kumuh sebenarnya tidak hanya terjadi di Surabaya. Hampir di semua kota terutama kota-kota pantai pada saat itu masyarakat pribumi tinggal di permukiman kumuh yang berada di balik permukiman elite milik bangsa Eropa.
Di Semarang, misalnya Kampung Tiang Beddera, Kampung Sekolaan yang berada di tepi Kali Semarang atau Kampung Jomblang Perbalen yang merupakan contoh jampung miskin dan kumuh.
Kemudian pada 1910, bahaya penyakit pes mulai menyebar ke permukiman Eropa yang kemudian membuat mereka kaget. Jari telunjuk mereka pun diarahkan kepada permukiman penduduk asli sebagai biang keladi dari penyebaran penyakit tersebut/
"Mereka baru menyadari bahwa kondisi tidak higienis di kampung-kampung itu bisa berdampak negatif terhadap permukiman orang barat yang bertetangga dengan kampung itu," seperti dikutip dari buku tersebut.
Untuk menghindari agar penyakit yang oleh orang-orang Eropa dianggap berasal dari permukiman pribumi meluas, harus diciptakan agen yang menyebarluaskan “ideologi sehat” untuk melawan perilaku buruk yang mengandung “ideologi sakit: Salah satu agen tersebut adalah Hendrik Freek Tillema, Herman Thomas Karsten, dan beberapa tokoh barat lainnya.
Kedua tokoh ini pula memiliki pengaruh amat besar bagi perbaikan kota-kota di Indonesia pada masa kolonial.