Liputan6.com, Jakarta - PT PLN Unit Induk Distribusi Jawa Timur mencatatkan pertumbuhan penjualan listrik mencapai 5,52 persen atau setara 741.837 megawatt hour (Mwh) pada 2018. Di Jawa Timur, rata-rata rasio elektrifikasi mencapai 100 persen. Salah satunya Surabaya yang memiliki rasio elektrifikasi 96,85 persen.
Bicara soal listrik di Surabaya, Jawa Timur, ternyata ada sejarah panjang hingga masuknya listrik di Kota Pahlawan tersebut. Hal itu seperti dipaparkan penulis Purnawan Basundoro dalam bukunya berjudul Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan.
Dalam salah satu bab buku tersebut menjelaskan mengenai sumber energi warga kota:studi awal tentang NV.Aniem Surabaya. Mengutip buku Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan, sejarah kelistrikan di Indonesia dimulai pada 1897 ketika berdiri perusahaan listrik pertama bernama Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) di Batavia dengan kantor pusat di Gambir.
Advertisement
Baca Juga
Kalau di Surabaya, sejarah kelistrikan bermula ketika perusahaan gas NIGM pada 26 April 1909 mendirikan perusahaan listrik bernama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM). ANIEM merupakan perusahaan swasta yang diberi hak untuk membangun dan mengelola sistem kelistrikan di Indonesia pada waktu itu.
ANIEM, perusahaan yang berada di bawah NV.Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz and Co. Perusahaan ini berkedudukan di Amsterdam dan masuk pertama ke Surabaya pada akhir abad ke-19 dengan mendirikan perusahaan gas bernama Nederlandsche Indische Gas Maatchappij (NIGM).
Ketika ANIEM berdiri pada 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya di kota-kota besar di Jawa. Dalam waktu tidak lama, ANIEM berkembang menjadi perusahaan listrik swasta terbesar di Indonesia dan menguasai sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik di negeri ini.
Seiring permintaan tenaga listrik yang tinggi, ANIEM juga mempercepat ekspansi. Pada 26 Agustus 1921, perusahaan ini mendapatkan konsesi di Banjarmasin yang kontraknya berlaku hingga 31 Desember 1960. Pada 1937, pengelolaan listrik di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan diserahkan kepada ANIEM.
Keberadaan perusahaan listrik di Indonesia pada periode ini tidak bisa dipisahkan dengan gairah liberalisasi ekonomi yang mulai melangkah sejak diundangkannya Undang-Undang Agraria Tahun 1870. Undang-Undang (UU) ini menjadi salah satu satu pembuka dibebaskannya modal swasta asing untuk diinvestasikan di Indonesia. Sebagian besar modal itu diinvestasikan di perkebunan, perdagangan dan industri.
Sebagai perusahaan yang menguasai hampir 40 persen kelistrikan di Indonesia, ANIEM memiliki kinerja cukup baik dalam melayani kebutuhan listrik. ANIEM memiliki wilayah pemasaran di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan.
Untuk melayani wilayah pemasaran yang cukup luas ini, ANIEM menerapkan kebijakan desentralisasi produksi dan pemasaran dengan membentuk anak perusahaan.
Dengan demikian, listrik diproduksi secara sendiri-sendiri di berbagai wilayah oleh perusahaan yang secara langsung menangani proses produksi tersebut. Dengan demikian, kinerja perusahaan menjadi efektif, terutama dari segi produksi dan pemasaran.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Perusahaan yang Merupakan Bagian Aniem
Adapun salah satu perusahaan yang merupakan bagian dari ANIEM (NV Maintz and Co) yaitu NV.Aniem di Surabaya dengan perusahaan-perusahaan di Banjarmasin, Pontianak, Singkawang, dan Banyumas.
Selain itu, NV.OOst Java Electriciteits Maatschappij (OJEM) di Surabaya dengan perusahaan di Lumajang, Tuban, dan Situbondo. Kemudian NV.Solosche Electriciteis Maatschappij (SEM) di Surabaya dengan perusahaannya di Solo, Klaten, Sragen, Yogyakarta, Magelang, Kudus dan Semarang.
Selanjutnya NV Electriciteits Maatschappij Banyumas (EMB) di Surabaya dengan perusahaannya di Purwokerto, Banyumas, Purbalingga, Sokaraja, Cilacap, Gombong, Kebumen, Wonosobo, Cilacap, Maos, Kroya, Sumpyuh, dan Banjarnegara.
NV.Electriciteits Maatschappij Rembanng (EMR) di Surabaya dengan perusahaan-perusahaan di Blora, Cepu, Rembang, Lasem dan Bojonegoro. Lalu ada NV. Electriciteits Maatschappij Sumatera (EMS) di Surabaya dengan perusahaan di Bukit Tinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan Sibolga. Lalu ada NV.Electriciteis Maatschappij Bali dan Lombok (Ebalom) di Surabaya dengan perusahaan di Singaraja, Denpasar, Ampenan, Gorontalo, Ternate, Gianyar, Tabanan dan Klungkung.
Perusahaan-perusahaan tersebut diberi hak untuk memproduksi tenaga listrik, mengalirkannya ke pelanggan memelihara jaringan. Bahkan kewahiban-kewajiban kepada pemegang saham juga dolakukan secara otonom terutama dalam pembagian dividen.
Dalam hal memproduksi tenaga listrik, masing-masing perusahaan memiliki pembangkit tersendiri di wilayah mereka. Misalkan NV.Solosche Electriciteits Maatschappij (SEM) memiliki pembangkit di Jelok yang digerakkan dengan air Sungai Tuntang, Salatiga yang menghasilkan tenaga atau tegangan sama yaitu 30 Kv.
Kantor pusatnya sendiri di Surabaya memiliki tiga pembangkit masing-masing di Ngagel, Semampir dan Tanjung Perak. Pembangkit di Tanjung Perak merupakan pembangkit bertenaga uap yang pengelolaannya ditangani NV.Nederlandsche Indische Waterkracht Exploitatie Maatschappij (NIWEM) yang merupakan anak perusahaan ANIEM.
Listrik yang dihasilkan oleh NIWEM dijual kepada ANIEM dan selanjutnya didistribusika kepada pelanggan. Dari sisi penjualan, kinerja ANIEM dari tahun ke tahun mengalami kenaikan luar biasa yang dimulai setelah krisis ekonomi berlalu. Penjualan para periode sebelum krisis bisa dikatakan stagnan. Kemudian kondisi ekonomi yang membaik telah menyebabkan daya beli masyarakat dan industri terhadap tenaga listrik meningkat secara drastis.
Sebelum perusahaan diambil alih oleh Jepang, ANIEM menilai ada kecenderungan kenaikan pemakaian tenaga listrik. Kenaikan pemakaian tenaga listrik terjadi pada pembangkit yang dikelola oleh anak perusahaan dari ANIEM yang berdiri cukup lama dengan produksi yang sudah stabil.
Sementara itu, pembangkit yang dikelola oleh perusahaan yang baru berdiri nyaris tidak mempengaruhi kenaikan penjualan. Faktor lainnya yaitu menyangkut strategi penjualan. Pada 1930-an, ANIEM sangat gencar melakukan propaganda pemakaian listrik untuk rumah tangga dengan tema listrik menyediakan penerangan lebih baik bila dibandingkan dengan memakai lampu minyak dan gas.
Perusahaan listrik sering kali mendapatkan “propaganda gratis” dari barang-barnag elektronik yang diiklankan di surat kabar, baik iklan lampu-lampu elektrik produksi General Electric maupun produksi Best and Lights yang keduanya diproduksi di Amerika Serikat (AS).
Advertisement
Kinerja ANIEM
Sejak 1938, ANIEM juga membentuk biro penasehat penerangan yang bertugas memberi berbagai informasi mengenai pemakaian tenaga listrik kepada masyarakat.
Tugas biro itu yang sebelumnya hanya mencakup Surabaya pada 1939 diperluas ke berbagai daerah. Hal ini untuk menarik minat masyarakat yang lebih luas agar berlangganan listrik.
ANIEM juga aktif menawarkan listrik untuk pemakaian di kantor-kantor, lapangan tenis, dan objek lain yang memerlukan tenaga listrik. Jalan-jalan di kota-kota yang berada dalam wilayah penjualan ANIEM juga diberi fasilitas lampu penerangan yang membuat kota menjadi lebih hidup di malam hari.
Selain itu, para pelanggan juga semakin dipermudah dengan sistem pelayanan yang desentralisasi dan model pembayaran rekening secara mingguan. Pembayaran rekening bisa dilakukan di kampung-kampung dengan cara petugas dari ANIEM membuka loket pembayaran di perkampungan.
Hal ini membuat jumlah pelanggan listrik ANIEM meningkat tajam. Pada 1940, jumlah pelanggan ANIEM di Surabaya melonjak dari 37.034 menjadi 41.532 pelanggan. Peningkatan itu terutama dari para pelanggan dengan pemakaian tenaga listrik kecil atau rumah tangga menengah ke bawah. Bahkan rumah tangga pribumi juga harus menjadi perhatian terus menerus perusahaan ini.
Kinerja ANIEM juga dinilai cukup baik. Ini ditunjukkan dari lonjakan pendapatan cukup besar terjadi pada 1937. Laba yang diperoleh sebesar f 2.021.850 terjadi lonjakan pendapatan f 361.020 dibandingkan tahun sebelumnya hanya f 1.660.830. Pada 1937, terjadi penurunan anggaran untuk pembelian mesin baru dan pengurangan pekerjaan pembangunan pembangkit baru.
Pada sata itu juga terjadi peningkatan jumlah pelanggan listrik di beberapa daerah terutama untuk rumah tangga dan industri. Namun, pada 1940, terjadi penurunan laba cukup signifikan. Pada 1940, ANIEM harus membayar pajak yang cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pajak yang harus dibayar ANIEM kepada pemerintah mencapai f 1.429.236,10. Padahal untuk tahun-tahun sebelumnya pajak yang harus dibayar berkisar f 500.000.
Diambil Alih oleh Jepang
Namun, sayang kinerja ANIEM harus terputus. Hal ini lantaran pendudukan tentara Jepang di Indonesia pada 1942. Sejak pendudukan tentara Jepang perusahan listrik diambil alih oleh pemerintah Jepang.
Urusan kelistrikan di seluruh Jawa kemudian ditangani oleh lembaga bernama Djawa Denki Djigjo Kosja. Nama itu kemudian berubah menjadi Djawa Denki Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo.
Djawa Denki Djigjo Sja dibagi menjadi tiga wilayah pengelolaan yaitu Jawa Barat diberi nama Seibu Djawa Deni Djigjo Sja berpusat di Jakarta, Jawa Tengah diberi nama Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sja berpusat di Semarang. Kemudian di Jawa Timur diberi nama Tobu Djawa Denki Djigjo Sja berpusat di Surabaya, Jawa Timur.
Advertisement