Liputan6.com, Surabaya - Persatuan Pemegang Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TSIS) mendesak Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) bisa merealisasikan pelepasan status lahan surat ijo atau Izin Pemakaian Tanah (IPT) yang puluhan tahun ditempati warga pada akhir masa jabatannya.
"Pemukim lahan surat ijo ini asal usulnya jelas yakni jual beli, dan memiliki kelengkapan surat yang lengkap. Pertanyaannya, apa yang menjadi dasar Pemkot Surabaya mengaku sebagai asetnya, PBB masih kami yang bayar," kata juru bicara P2TSIS Endung Sutrisno saat mendatangi gedung DPRD Surabaya, Rabu seperti dilansir Antara.
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, lahan yang saat ini dilabeli surat ijo oleh Pemkot Surabaya ternyata tidak memiliki dasar hukum yang kuat sebagai pemilik tanah milik negara tersebut. Selain itu, kata Endung, Pemkot Surabaya membebani warga dengan kewajiban membayar retribusi.
"Kalau memang mengaku sebagai pemilik aset, tentu kami hanya diwajibkan membayar retribusi, sementara untuk PBB menjadi kewajiban pemilik. Tapi ini dua-duanya menjadi tanggung jawab kami. Jelas ini memberatkan dan terindikasi adanya akal-akalan," kata Endung.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Siap Ikuti Aturan
Oleh karena itu, lanjut dia, atas nama seluruh warga pemegang surat ijo, Endung meminta kepada Wali Kota Surabaya yang masa tugasnya akan berakhir pada awal 2021 bisa memberikan warisan yang baik bagi warga yang tinggal di lahan status surat ijo.
"Bu Risma telah berhasil membangun Kota Surabaya dan telah menjadi pejabat wali kota tingkat dunia. Ini sangat membanggakan kami semua. Namun, semua itu belum kami anggap tuntas jika belum bisa membebaskan kami dari cengkeraman status surat ijo," ujarnya.
Menurut dia, kalau ini bisa dilakukan Wali Kota Risma, tentu ini akan menjadi kejutan yang manis bagi warga yang menempati lahan surat ijo karena keberhasilannya telah ditutup dengan kado yang membahagiakan untuk warga Surabaya di akhir masa tugasnya.
"Artinya telah tuntas semua tanggungjawabnya sebagai pemimpin," ujarnya.
Endung mengatakan, jika pihaknya akan siap mengikuti aturan yang berlaku jika Pemkot Surabaya memberikan peluang untuk permohonan hak milik kepada negara karena menurut dia lahan yang ditempati selama puluhan tahun bahkan turun menurun ini statusnya tanah negara.
"Bukan milik siapapun termasuk Pemkot Surabaya," kata Endung.
Â
Advertisement
Selanjutnya
Diketahui sebelumnya juga muncul tuntutan yang sama dari warga Bozem Kelurahan Morokrembangan Kecamatan Krembangan Surabaya, yang meminta agar Pemkot Surabaya memberikan dukungan penuh terhadap pemohon hak kepemilikan lahan pemukiman yang statusnya tanah negara.
Ketua Pansus Raperda Restribusi Kekayaan Daerah DPRD Surabaya Baktiono sebelumnya mengatakan semua anggota pansus setuju kalau untuk retribusi IPT untuk pemukiman dibebaskan semua untuk mengakhiri konflik puluhan tahun antara Pemkot Surabaya dengan warga penghuni lahan bersertifikat surat ijo atau IPT.
Soal aset tersebut diakui milik pemerintah atau tidak, lanjut dia, saat ini sedang dibahas pansus lain di Komisi D DPRD Surabaya. "Tapi pansus retribusi kekayaan daerah ini kami ingin menghapus semua karena sampai saat ini terjadi gugat menggugat. Kami tidak ingin persepsi warga masyarakat jelek terhadap Pemerintah Surabaya," ujarnya.
Politikus PDI Perjuangan ini menjelaskan jika lahan berstatus IPT atau surat ijo itu isinya ada igendom. Sedangkan igendom itu merupakan hak milik pada zaman Belanda. Artinya, kata dia, kalau Pemerintah Belanda sebagai penjajah saat itu mengakui kalau itu miliknya rakyat, tapi kalau Pemkot Surabaya mengakui tanah tersebut miliknya.
Sekretaris Dinas Koperasi dan UMKM Kota Surabaya A.A Dwija Saputra mengatakan pihaknya masih mempelajari usulan dari Pansus Retribusi Kekayaan Daerah DPRD Surabaya tersebut. "Jadi masih perlu kajian yang mendalam soal itu. Tidak bisa diputuskan sepihak," ujarnya.
Tanah surat ijo disebut juga hak pengelolaan lahan. Dalam Undang-Undang Pokok Pertanahan atau Agraria hanya mengenal tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Sedangkan hak pengelolaan lahan tidak ada.
Lahan yang bersertifikat hijau itu awalnya pada zaman Belanda dibangun rumah-rumah untuk karyawan. Akan tetapi, berdasarkan peta tanah yang ada, bila tanah itu pemiliknya tidak jelas, Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Tanah menyatakan tanah itu adalah tanah hak pengelolaan lahan.