Liputan6.com, Jakarta - Kualitas udara di Jakarta menjadi sorotan baru-baru ini. Hal itu lantaran berdasarkan data US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara masuk kategori tidak sehat. Lalu bagaimana dengan kualitas udara di Surabaya, Jawa Timur?
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, Eko Agus Supriyadi menuturkan, kondisi kualitas udara dipengaruhi sejumlah hal mulai dari arah angin, industri, aktivitas masyarakat dan kendaraan. Saat ini, menurut Agus, kualitas udara di Surabaya masih batas aman terutama saat pagi dan malam hari. Selain itu, Surabaya merupakan kota perdagangan dan jasa sehingga tidak terlalu banyak industri.
"Kecuali di daerah dekat industri seperti di Tambak Sari, Gresik dan Waru yang merupakan daerah industri. Kalau Surabaya masih batas aman dan bagus. Memang kalau siang hari masuk kategori sedang karena banyak kendaraan," ujar Agus saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (30/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Meski demikian, saat Liputan6.com melihat di indeks kualitas udara atau airvisual.com, kualitas di Surabaya masuk kategori tidak sehat yang mencapai 159 dengan parameter PM2.5 konsentasi 70,7 ug/m3 pada pukul 09.00 WIB. Namun, peringkat itu masih di bawah Jakarta. Indeks kualitas udara Jakarta tercatat 189 dengan parameter PM2.5 konsentrasi 128,4 ug/m3 pada pukul 06.00 WIB pagi.
Agus menuturkan, kalau kualitas udara di Surabaya masih batas aman. Surabaya memiliki sekitar tiga stasiun pemantauan udara yang memonitor kualitas udara. "Kalau malam dan pagi itu masih baik, kalau siang sedang ini karena banyak aktivitas kendaraan," kata dia.
Ia menambahkan, memang saat ini yang menjadi tantangan untuk menjaga kualitas udara yaitu jumlah kendaraan bermotor dan mobil. Meski demikian, pihaknya rutin untuk menguji emisi kendaraan bermotor. Hal itu dibantu perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) dan dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Biasanya uji emisi kendaraan itu dilakukan saat momen tertentu seperti Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan dan Ulang Tahun Surabaya. Pihaknya pun akan segera turun tangan bila kualitas udara tidak bagus di Surabaya. "Kami akan segera intervensi kalau kualitas udara jelek dengan uji kendaraan bermotor," ujar dia.
Agus menambahkan, Surabaya juga memiliki banyak tanaman dan rutin membuat taman bila ada lahan yang kosong. Hal itu sangat berpengaruh sekali untuk menjaga kualitas udara di Surabaya. Pihaknya rutin menanam tanaman Lidah Mertua yang dinilai efektif untuk menyerap karbon. "Kami banyak tanam Lidah Mertua di taman-taman, ini serap karbon dan efektif," kata dia.
Pihaknya juga mendorong masyarakat untuk menanam dan memelihara pohon dan tanaman. Dengan begitu turut menjaga kualitas udara. "Kalau ada pihak yang ingin tebang pohon misalkan untuk lahan parkir, itu harus ganti dengan menanam 10 pohon," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Kualitas Udara Jakarta Pagi Ini Tidak Sehat
Sebelumnya, kualitas udara di wilayah Jakarta pada Selasa (30/7/2019) pagi ini masuk kategori tidak sehat. Pada pukul 06.00 WIB pagi, tercatat 189 dengan parameter PM2.5 konsentrasi 128,4 ug/m3 berdasarkan US Air Quality Index (AQI) atau indeks kualitas udara.
Bahkan, kualitas udara di wilayah Pejaten Barat, Jakarta Selatan lebih buruk lagi, yakni mencapai 197 dengan parameter PM2.5 konsentrasi 144,7 ug/m3.
dilansir Antara, kualitas udara kotor juga terpantau di Pegadungan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat dengan angka 180 parameter PM2.5 konsentrasi 144,7 ug/m3 atau kategori tidak sehat.
Dengan angka itu untuk rata-rata wilayah, kualitas udara Jakarta pagi ini masuk kategori tidak sehat dan bisa meningkatkan gangguan pada jantung serta paru-paru.
Kelompok sensitif mempunyai risiko tinggi terganggu kesehatannya akibat kualitas udara buruk saat ini. Selain itu, AirVisual juga mencatat kelembapan ibu kota Jakarta 94 persen dan kecepatan angin 1,8 kilometer per jam.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta lamban dalam menangani persoalan polusi udara di ibu kota.
"Kebijakannya jelas masih lamban dan respons yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta cenderung tidak signifikan," kata Direktur Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi.
Pemerhati lingkungan itu menilai, Pemprov DKI Jakarta belum mengukur atau menyasar sumber-sumber utama penyebab polusi udara di ibu kota.
Padahal seharusnya Pemprov DKI dan pemerintah pusat saling berkoordinasi, termasuk memanggil kepala daerah yang wilayahnya turut menjadi sumber pencemar udara.
Advertisement