Sukses

LBH Surabaya: Penyitaan Buku di Probolinggo Langgar Hukum

LBH Surabaya mengecam aksi penyitaan oleh pihak Polsek Kraksaan dan TNI Kabupaten Probolinggo terhadap sejumlah buku-buku.

Surabaya - LBH Surabaya mengecam aksi penyitaan oleh pihak Polsek Kraksaan dan TNI Kabupaten Probolinggo terhadap buku-buku yang diduga memuat ajaran komunis milik komunitas Vespa Literasi pada 27 Juli 2019.

Pegiat komunitas tersebur, Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25) juga turut diamankan polisi. Terdapat empat buku yang disita yaitu, Aidit Dua Wajah Dipa, Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, Menempuh Jalan Rakyat, dan D.N. Aidit "Sebuah Biografi Ringkas".

Dilansir suarasurabaya.net, Direktur LBH Surabaya, Abdul Wahid mengatakan, penyitaan buku-buku tersebut melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-VIII/2010.

Putusan itu menyebutkan penyitaan tanpa proses peradilan merupakan proses eksekusi ekstra yudisial yang bertentangan dengan konsep negara hukum. Penyitaan harus melalui proses peradilan terlebih dahulu.

"Selain itu, pelibatan TNI dalam penyitaan buku ini termasuk tindakan melampaui wewenang, abuse of power sebab berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, militer bukanlah bagian dari penegak hukum," ujar dia pada Selasa (30/7/2019).

LBH Surabaya meminta agar Polsek Krakasan segera mengembalikan buku-buku yang disita karena penyitaan produk literasi tersebut sudah melanggar kebebasan berpendapat yang sudah diatur dalam pasal 28E UUD 1945.

Sebelumnya penyitaan juga terjadi di Kediri pada 26 Desember 2018 silam. Penyitaan dilakukan oleh Kodim Militer 0809 Kediri setelah mendapat informasi dari warga.Dari pemeriksaan tersebut, anggota Kodim menemukan 138 buku bermuatan komunis, misalnya "Benturan NU PKI 1948- 1965" dan "Di Bawah Lentera Merah" karangan Soe Hok Gie.

Penyitaan buku sendiri merupakan tindakan yang sudah dilarang dan subjektif, karena buku merupakan produk literasi yang menjadi sumber wawasan untuk masyarakat meskipun itu berupa wawasan tentang komunis dan PKI.

Penyitaan buku-buku seperti itu sebenarnya merugikan masyarakat karena ketika masyarakat tidak mengenal betul apa itu komunis dan PKI maka akan muncul ketakutan-ketakutan yang tidak perlu.

(Tito Gildas, mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Pegiat Literasi Bandung: Penyitaan Buku Itu Kuno dan Miskin Imajinasi

Sebelumnya, sejumlah pegiat buku dan akademisi di Bandung menyesalkan sikap TNI dan Polri yang menyita ratusan buku bernuansa PKI dan komunisme di beberapa daerah beberapa waktu lalu. Menurut mereka, penyitaan buku merupakan bentuk pelanggaran hak.

Pernyataan tersebut disampaikan pada kegiatan aksi Kamisan Bandung ke-263 yang digelar di depan halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis, 24 Januari 2019.

Dalam kesempatan tersebut, para peserta Kamisan menggelar aksi teatrikal membaca buku di jalan sambil mengenakan penutup mata berwarna hitam. Tampak juga beberapa pegiat literasi menyampaikan orasi terkait penyitaan buku yang dilakukan aparat.

"Alasan merazia buku tersebut terlalu kuno, memaksakan, ketakutan berlebih dan miskin imajinasi. Karena mempromosikan Partai Komunis Indonesia yang padahal PKI telah tiada sesuai arahan TAP MPRS No 25 Tahun 1966," kata Feru, salah satu yang berorasi.

Magal, orator yang juga pegiat buku dari Asia Africa Reading Club sangat menyesalkan tindakan aparat menyita buku. Menurutnya, peradaban bangsa dilihat perkembangannya dari literasi.

"Benar aparat menjaga ideologi tapi pertahanan terakhir bangsa bukan senjata tapi literasi, perpustakaan," ucapnya.

Deni Rachman, penulis dan juga pegiat literasi mengingatkan kembali bahwa kebebasan berpendapat melalui media termasuk penerbitan buku merupakan bagian dari amanat reformasi dan konstitusi yang harus dirawat bersama dalam semangat keberagaman.

"Aparat yang katanya paling berwenang akan menggunakan "senjata" undang-undang atau apa saja yang bisa membabat habis keberadaan buku atas nama keamanan dan ketertiban umum," kata Deni.

Padahal, kata dia, wewenang pelarangan buku ada di Kejaksaan dan itu pun lewat mekanisme yang panjang.

"Mereka punya badan yang bernama clearing house, sebuah lembaga di bawah jaksa agung, yang berhak menentukan suatu buku boleh diedarkan kepada publik atau tidak. Ada empat tahap yaitu pengumpulan bahan, penyelidikan, pengambil keputusan dan terakhir penyitaan," jelasnya.

Jika buku itu sudah divonis dengan definisi mengganggu ketertiban umum, barulah buku dapat diberangus.

Deni menyebutkan, banyak alasan mengapa buku-buku dilarang pemerintah. Sensor negara atas buah pemikiran yang dituangkan ke dalam buku lebih merupakan alat untuk mengamankan kekuasaan para penguasanya sendiri dan segala macan perangkatnya.

"Pemberangusan buku lebih banyak yang disebabkan oleh latar belakang kehidupan sang penulis ketimbang isi dari buku itu sendiri. Jika yang menulisnya eks tahanan politik yang dicap terlibat dalam G30 S PKI, maka apapun yang disentuhnya menjadi barang 'haram'," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan akademisi Wim Tohari Danieldi. Staf pengajar di Universitas Pasundan itu mengatakan, bentuk penyitaan buku bisa dijadikan refleksi kembali ke sejarah masa lampau.

"Menyita buku adalah upaya menghancurkan sebuah peradaban. Dulu, perpustakaan Alexandria pernah jadi peradaban dunia. Tapi kemudian hancur," kata Wim.

Â