Sukses

Risma Sebut Dua Negara Ini Jadi Contoh Kelola Sampah di Lahan Sempit

Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) menyebutkan, Jepang dan Korea Selatan menjadi salah satu contoh untuk mengelola sampah di lahan yang tidak terlalu luas.

Liputan6.com, Surabaya - Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) menyebutkan, Jepang dan Korea Selatan menjadi salah satu contoh untuk mengelola sampah di lahan yang tidak terlalu luas.

Tri Rismaharini menuturkan, pengelolaan sampah bila tidak dilakukan benar akan menimbulkan penyakit dan banjir. Pengelolaan sampah, menurut dia bila sampah dikelola benar maka tidak perlu lahan besar. Hal ini seperti pengalaman dia saat melihat pengelolaan sampah di Jepang dan Korea Selatan. Dua negara tersebut mengelola sampah tersebut dengan kedisiplinan dan tidak terlambat mengelola sampah.

 "Saya lihat di Jepang dan Korea Selatan, lahan kecil. Di tengah kota, tidak kotor, tidak terlambat kelola. Disiplin, maka kemudian kita tidak perlu takut, tidak perlu takut bau. Itu bisa dikendalikan," ujar dia, ditulis Rabu (31/7/2019).

Tri Rismaharini menuturkan, pihaknya siap membantu daerah lain termasuk DKI Jakarta untuk mengelola sampah. Dengan membantu mengelola sampah jadi juga berdampak terhadap masyarakat. Ia mencontohkan, hal itu seperti menolong orang lain.

"Coba bayangin ada anak bayi kemudian karena tak kelola benar sampahnya kemudian kena diare, terjadi apa-apa pada dia, kurang gizi sampai meninggal. Masalah juga. Saya bisa dan ada waktu, insyaallah saya bantu,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 4 halaman

Risma: Surabaya Butuh Waktu 20 Tahun Kelola Masalah Sampah

Sebelumnya, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (Risma) menyatakan, Surabaya membutuhkan waktu 20 tahun untuk membenahi masalah sampah. Hal itu lantaran ada masalah dana yang terbatas.

Risma menuturkan, sampah harus dikelola benar agar tidak menimbulkan dampak negatif untuk masyarakat. Sampah yang tidak dikelola benar, menurut Risma dapat menimbulkan banjir, lingkungan kotor dan penyakit. Risma mengakui, masing-masing daerah memiliki kesulitan mengelola sampah termasuk Surabaya. “Surabaya harus 20 tahun (kelola sampah baik-red) karena keuangan terbatas. Ini bagaimana memanagenya,” ujar dia, ditulis Rabu (31/7/2019).

Risma menuturkan, kalau pengelolaan sampah tidak membutuhkan lahan terlalu besar. Hal ini mengingat saat pengalaman dia ke Jepang dan Korea Selatan. Dua negara tersebut membangun lahan tidak terlalu besar untuk mengelola sampah. Akan tetapi, pengelolaan sampah itu membutuhkan disiplin dan dikendalikan dengan baik.

"Tidak sulit kalau dikelola benar. Tidak perlu lahan besar, saya lihat di Jepang dan Korea Selatan, lahan kecil," kata dia.

Terkait perkembangan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), Risma menuturkan,  PLTSa di tempat penampungan akhir (TPA) Benowo diharapkan segera selesai. Dengan begitu akan diresmikan pada November 2019. Dengan ada pembangkit listrik ini dapat menambah kapasitas listrik menjadi 11 megawatt (MW). Saat ini pihaknya masih diskusi dengan PLN terkait PLTSa tersebut.

"Insyaallah November kelar. Juli masalah kita belum bisa ada penyambungan PLTSa ke pln. Pln janji akhir Juli ini selesai. Kemarin dua MW sudah jalan. Ini ada tambahan jadi 11 Mw," ujar dia.

 

3 dari 4 halaman

Surabaya Operasikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Sebelumnya, empat kabupaten dan kota dinyatakan siap melaksanakan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), salah satunya Surabaya, Jawa Timur. Hal ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengecek langsung satu per satu dari 12 kota/kabupaten yang mengusulkan untuk pembangunan PLTSa.

"Mudah-mudahan tahun ini ada yang bisa selesai, yaitu di antaranya adalah Surabaya, Bekasi, Solo yang prosesnya cukup baik. Kemudian yang sudah mulai adalah DKI Jakarta," ujar Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, usai Rapat Terbatas Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Kantor Presiden, seperti dikutip dari laman Setkab, Selasa, 16 Juli 2019.

Daerah lain yang persoalannya relatif sudah tertangani dengan baik, menurut Pramono yaitu Bali. Oleh karena itu, Pramono dalam kesempatan itu didampingi Sekda dan Wakil Wali Kota Denpasar.

Ia menuturkan, persoalan sampah ini sudah cukup lama karena memang ada perbedaan persepsi, pandangan antara PLN dengan daerah-daerah yang ada.

"Tadi presiden menegaskan karena Perpresnya sudah ada. Hitungannya sudah ada, Rp 13 koma sekian per KWH,” maka itulah yang dijadikan acuan. Maka diminta kepada PLN dalam hal ini perhitungannya bukan berdasarkan keuntungan tetapi sekali lagi adalah dalam rangka untuk pembersihan sampah di kota-kota yang ada,” ujar dia.

Ia mencontohkan, di Bekasi itu sudah hampir 1.700 ton per hari. Belum yang 8.000 ton per hari dari Bantar Gebang, dari Bekasi sendiri sudah cukup tinggi.

Jadi dengan demikian empat kota prioritas yaitu Surabaya, Bekasi, Solo, dan DKI Jakarta akan dikawal secara langsung oleh presiden untuk penyelesaiannya. Kemudian kelima adalah Bali. Sedangkan tujuh daerah lainnya diminta untuk membuat prototype sama dengan daerah-daerah yang lain.

Persoalan yang ada, menurut dia selalu klasik yaitu persoalan tipping fee. Ini karena setiap daerah, hal yang berkaitan dengan tipping fee atau biaya pengelolaan sampah ini berbeda-beda. Jawa Timur misalnya cukup murah, hanya sekitar Rp 150.

Padahal menurut dia, tipping fee di dalam Perpes sudah diatur maksimum sebesar-besarnya Rp 500 sehingga sudah ada payung hukumnya. Akan tetapi, semuanya tidak berani ambil posisi, mengambil kebijakan karena takut persoalan hukum dan sebagainya.

"Maka presiden menegaskan bahwa risalah rapat pada hari ini adalah merupakan payung hukum, termasuk payung hukum di dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada di dalam penyelesaian sampah," kata dia.

Ia mengharapkan, lima daerah ini segera selesai, dan tujuh daerah segera bisa mengikuti karena peraturan presidennya sudah sangat jelas terhadal hal itu.

4 dari 4 halaman

Penanganan Berbeda-Beda

Ia menambahkan, masalah penanganan LTSa ini memang berbeda-beda. Contohnya DKI Jakarta misalkan, persoalan sampah sangat serius. Oleh karena itu, DKI Jakarta sendiri, hampir 2.000 yang siap untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga sampah, sedangkan di daerah lain rata-rata itu 1.000 ton sudah cukup seperti Solo.

Bekasi karena penyangga Jakarta kemudian juga Tangerang, sampahnya cukup besar. Sampah ini menjadi persoalan yang cukup serius di beberapa kota besar sehingga pembangkit listrik tenaga sampah dalam rangka menyelesaikan persoalan itu.

"Jadi persoalan sampah harus diutamakan bukan persoalan keuntungan yang diperoleh secara pembangkit listriknya," kata dia.