Sukses

Usul Pakar ITS Surabaya untuk Antisipasi Dampak Gempa

Pemerintah pusat, daerah dan masyarakat harus saling bekerja sama untuk memitigasi bencana atau arahan pengurangan risiko dan infrastruktur sehingga dapat mengurangi dampak bencana gempa.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah pusat, daerah dan masyarakat harus saling bekerja sama untuk memitigasi bencana atau arahan pengurangan risiko dan infrastruktur sehingga dapat mengurangi dampak bencana gempa.

Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim (PSKBI) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Amien Widodo menuturkan, sebagian pemerintah daerah masih tergantung pusat untuk mengantisipasi dampak potensi gempa. Padahal Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar untuk mengedukasi soal mengurangi risiko bencana terutama gempa bumi.

Amien menuturkan, gempa bumi tidak membunuh tetapi ada sejumlah faktor yang berdampak terhadap kehidupan akibat gempa itu. Hal tersebut mulai dari struktur bangunan, tsunami, likuifaksi, longsor dan potensi kebakaran akibat gempa.

Oleh karena itu, Amien mengimbau agar pemerintah daerah dan pusat mengevaluasi struktur bangunan. Evaluasi struktur bangunan tersebut harus tahan gempa terutama melihat sejarah dari gempa yang pernah terjadi di daerah tersebut.

"Evaluasi harus seluruhnya dari rumah, bangunan infrastruktur, jaringan listrik, air yang bisa tahan gempa kalau tidak maka hancur," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (3/8/2019).

Ia menambahkan, kalau dampak tsunami untuk mencegahnya dengan memetakan wilayah atau jangkauan permukiman. Misalkan 5-10 kilometer dari pantai tidak boleh ada permukiman masyarakat.

Tak hanya memetakan daerah potensi tsunami, tetapi juga saat ini likuifaksi. Amien mencontohkan, ketika terjadi gempa di Palu, Sulawesi Tengah, timbul likuifaksi. Hal ini menjadi peringatan untuk memetakan daerah mana saja yang berpotensi likuifaksi. Dengan pemetaan tersebut jadi tidak boleh ada pembangunan rumah di wilayah potensi likuifaksi tersebut.

Selain itu juga potensi longsor karena gempa, menurut Amien juga perlu diperhatikan. "Contohnya ada desa hilang pada 2009 di Sumatra Selatan karena longsor akibat gempa. (Dengan pemetaan-red), apakah di daerah longsor itu perlu dibangun tembok penahan atau memindahkan penduduk," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Pentingnya Peningkatan Pemahaman Masyarakat

Amien juga mengingatkan, selain memperhatikan struktur infrastruktur, mitigasi bencana juga perlu. Bahkan mitigasi dan struktur infrastrutur perlu sama-sama diperhatikan agar mengurangi dampak bencana. Mitigasi tersebut dengan memberikan edukasi kepada masyarakat dengan begitu tercipta budaya untuk siap siaga menghadapi bencana alam.

Amien mengatakan, saat ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) sudah melaksanakan kegiatan Desa Tangguh Bencana (Ekspedisi Destana) terhadap ancaman gempa dan tsunami yang mengintai ratusan desa sepanjang Pantai Selatan Jawa yang didiami lebih dari 600 ribu jiwa. Sebanyak 584 desa itu berada di Selatan Jawa. BNPB yang bekerja sama dengan pemerintah daerah dan sejumlah lembaga terkait akan memastikan desa-desa itu memiliki sirine peringatan bencana, jalur dan tempat evakuasi, juga rambu-rambu evakuasi.

BNBP juga mengingatkan bagaimana pemahaman masyarakat misalkan saat terjadi tsunami.BNPB mengharapkan masyarakat mampu menerapkan prinsip 20-20-20, terutama warga yang tinggal di pinggir pantai. "Kalau warga merasakan gempa selama 20 detik, setelah selesai (guncangan) warga harus segera evaluasi karena di pantai akan datang tsunami dalam 20 menit, lari ke bangunan yang ketinggiannya minimal 20 meter," tulis BNPB.

Amien mengharapkan, pemerintah pusat, daerah, akademisi, pengusaha, masyarakat dan media saling bekerja sama untuk meminimalkan dampak bencana alam. Ia mengakui, saat ini banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan terutama meningkatkan pemahaman masyarakat.