Sukses

Bursa Efek Surabaya, Bagian Sejarah Pasar Modal Indonesia

Pasar modal Indonesia memiliki sejarah panjang bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Liputan6.com, Jakarta - Regulator dan pelaku pasar modal setiap 10 Agustus memperingati diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia. Pada 10 Agustus 2019, diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia sudah berjalan selama 42 tahun.

Pasar modal Indonesia memiliki sejarah panjang bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mengutip laman idx.co.id, pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak zaman kolonial belanda. Pasar modal hadir di Batavia pada 1912. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda mendirikan pasar modal untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC. Bursa efek tersebut merupakan cabang dari Amsterdamse Effectenbeurs (Bursa Efek Amsterdam).

Meski berdiri sejak Desember 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan. Bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Salah satunya, ketika pelaksanaan program nasionalisasi perusahaan Belanda, bursa efek semakin tidak aktif pada 1956. Kemudian perdagangan di bursa efek vakum pada 1956-1977.

Presiden Soeharto pun meresmikan kembali bursa efek pada 10 Agustus 1977. Bursa Efek Jakarta (BEJ) dijalankan di bawah Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) atau sekarang dikenal sebagai Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama yang go public.

Bicara soal pasar modal, tak bisa lepas dari salah satu bursa efek di Indonesia yaitu Bursa Efek Surabaya (BES). Sebelum merger menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI), Indonesia memiliki Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES).

Bursa efek di Batavia pernah tutup selama Perang Dunia I pada 1914-1918. Kemudian pada 1925-1942, Bursa efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan bursa efek di Semarang dan Surabaya. Bursa Efek Surabaya, salah satu bursa efek swasta pertama Indonesia yang didirikan pada 16 Juni 1989. Saat itu,dikelola oleh perseroan terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.

Seiring berjalannya waktu, bursa efek makin berkembang. Bursa Efek Surabaya (BES) merger dengan Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada 30 November 2007. Penggabungan dua bursa efek tersebut menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Meski merger, kantor Bursa Efek Surabaya tetap dipertahankan, mengingat potensi besar dari Indonesia Timur. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun meresmikan nama BEI pada 2008.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Merger Bursa Efek Surabaya dan Jakarta agar Siap Bersaing dengan Bursa Regional

Mantan Direktur Bursa Efek Surabaya, Guntur Pasaribu menuturkan, penggabungan bursa efek untuk menciptakan bursa yang lebih besar di kancah regional. Hal ini agar siap bersaing dengan bursa regional tetapi tidak bersaing dengan sesama bursa lokal.

Sebelum merger pada 2007, pihaknya sudah membentuk tim merger yang ditunjuk pemegang saham untuk membuat kajian. Ia menceritakan, saat awal proses merger memang ada sejumlah pertanyaan dari beberapa emiten yang kebetulan adalah single listing  atau hanya pencatatan di BES saja.

"Saham atau obligasi, bagaimana status perusahaan mereka bila merger, apakah tetap listing di bursa hasil merger," ujar Guntur, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Direktur Mark Asia Strategic, saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Senin (12/8/2019).

Namun, ia menuturkan, dalam diskusi dan evaluasi panjang semua emiten yang saat itu single dan dual listing tetap diberlakukan sama. Ia mengakui, proses merger sempat mengalami penundaan beberapa tahun sejak dibuat kajian merger. Akan tetapi, proser merger berjalan mulus setelah diskusi, kajian, dan perundingan cukup panjang dengan melibatkan banyak pihak antara lain asosiasi terkait, Bapepam-LK, pelaku pasar, dan beberapa pihak lain sehingga merger disetujui oleh pemegang saham dan Bapepam-LK.

Guntur mengatakan, ada sejumlah pelajaran yang diambil dari proses merger kedua bursa tersebut. Hal itu mulai dari pertimbangan bisnis, hukum, karyawan, sistem perdagangan efek seperti saham, surat utang negara (SUN), obligasi dan derivatif. "Selain itu sinkronisasi aturan-aturan pencatatan, perdagangan, dan juga tidak kalah adalah trading system, dan valuasi saham," kata dia.

Dengan merger tersebut, Guntur menuturkan, telah membentuk bursa efek yang berkelas dunia dan terjadi efisensi biaya pencatatan emiten. Hal itu lantaran emiten tidak perlu lagi membayar dua kali listing fee atau biaya pencatatan, tetapi cukup satu kali di BEI. Transaksi saham dan obligasi juga menjadi lebih ramai karena fokus dalam penyebaran informasi perdagangan dan pengembangan investor.

Sejak diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia pada 2007, IHSG sudah berada di posisi 6.282,13 pada perdagangan saham Jumat 9 Agustus 2019. Kapitalisasi pasar saham Indonesia mencapai Rp 7.205 triliun. Rata-rata transaksi harian saham Rp 9,7 triliun. Total frekuensi perdagangan saham 447.714 kali dengan volume perdagangan 14,87 miliar saham.