Sukses

Kisah Ngagel, Kawasan Industri Besar di Surabaya pada Masa Penjajahan

Ngagel merupakan kawasan industri yang besar di Surabaya pada zaman penjajahan. Kawasan ini mengalami beberapa kali penyerangan dari penjajah, baik Sekutu atau Jepang.

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, warga Surabaya mengenal Rungkut merupakan kawasan Industri di kotanya. Berbeda saat masa lampau, kawasan industri Surabaya terletak di Ngagel, memanjang di samping Kalimas. Di sana berdiri pabrik mesin NV Braat, salah satu pabrik atau industri yang terbesar pada masa itu.

Tak jauh dari lokasi pabrik, berdiri sebuah jembatan yang menghubungkan kawasan Ngagel dengan perkampungan Dinoyo dan Darmo. Warga Surabaya mengenal jembatan itu dengan sebutan Jembatan BAT karena lokasinya yang tak jauh dari Gedung BAT (British American Tobacco).

Merangkum dari buku karya Ady Setiawan dan co wroter Marjolein van Pagee, Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?, kawasan industri ini mengalami kisah yang panjang dan penuh perjuangan. Berikut kisah berdarah yang terjadi di NV Braat dan sekitar Ngagel:

Pabrik untuk Produksi Alat Perang

NV Braat adalah industri raksasa pada masanya yang telah memperkerjakan lebih dari 1.000 karyawan. Salah satu karya dari industri ini adalah Jembatan Pethekan. Kemudian NV Braat, beralih nama menjadi PT Barata Indonesia.

Pada 1901, The Machinefabriek NV Braat didirikan oleh B. Braat JNZ. Di awal pendiriannya, pabrik ini memproduksi alat-alat mesin untuk keperluan pabrik gula dan teh. Sekitar 1920 – 1930, Pulau Jawa adalah lumbung gula dunia yang memiliki kurang lebih 200 pabrik gula. Namun, mendekati Perang Dunia II, pabrik ini mulai memproduksi alat perang, salah satunya produksi massal helm baja.

Pabrik ini juga sempat berpindah tangan menjadi milik Jepang setelah Belanda menyerah tanpa syarat pada 1942. Pemerintah pendudukan Jepang juga memanfaatkan pabrik ini untuk membuat alat keperluan perang Jepang.

Selama masa pendudukan Jepang, para pekerja Belanda ataupun pribumi yang ditawan juga dipekerjakan di pabrik ini. Mereka ditempatkan di kamp distrik Darmo Surabaya.

Bila pagi datang, mereka jalan berbondong-bondong menuju pabrik dengan mengenakan kain diikat pada lengan dengan gambar lingkaran merah sebagai penanda. Baik saat pergi atau pun pulang kerja, mereka selalu diawasi dengan penjagaan ketat.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Mendapat Banyak Serangan

Saat serangan pertama Sekutu pada masa pendudukan Jepang di Surabaya datang, kawasan industri NV Braat menjadi salah satu sasaran. Serangan ini terjadi pada 21 Juli 1943.

Selain kawasan industri, kawasan pangkalan angkatan laut juga menjadi sasaran. Namun, serangan atas pangkalan angkatan laut tidak menimbulkan kecurigaan pihak Jepang. Berbeda dengan serangan atas NV Braat yang menghasilkan kecurigaan aksi ini dibantu oleh mata-mata yang menembakkan cahaya penanda ke arah langit. Cahaya itu untuk memandu pilot Sekutu menemukan sasarannya.

Hal ini membuat pada masa itu, Jepang menerapkan disiplin cahaya. Seluruh cahaya di Surabaya pun pada masa itu wajib dimatikan pada malam hari. Jepang melakukan investigasi mendalam khususnya pada kelompok Maluku yang dinilai sengat setia dengan Belanda. Hal ini membuat pada Desember 1943, 71 orang diputuskan bersalah dan dihukum mati setelah mengalami rangkaian siksaat dari Jepang.

Serangan kedua berlangsung lebih hebat dibanding yang pertama. Serangan Sekutu yang kedua ini terjadi pada 17 Mei 1944 dengan operasi yang dinamakan Operation Transom. Serangan yang dipimpin oleh Laksamana James Somerville ini menarget pangkalan angkatan laut, industry NV Braat dan kilang minyak Wonokromo.

Dalam serangan yang kedua ini, NV Braat benar-benar dihabisi. Menurut kesaksian dalam buku ini, dikatakan terjadi pengeboman di pabrik itu. Banyak pekerja pabrik itu menjadi korban. Kurang lebih sekitar 150 orang Indonesia yang terbunuh dari serangan ini.

Serangan Operation Transom dalam laporan pihak sekutu disebutkan berjalan sukses walaupun mereka kehilangan satu pesawat bomber dan seluruh kru yang dipimpin oleh Letnan William E. Robotham. Setelah itu, NV Braat pun tak pernah beroperasi secara maksimal lagi pada masa-masa akhir pendudukan Jepang.

3 dari 3 halaman

Perjuangan Rakyat Dinoyo

Pada rangkaian Pertempuran Surabaya, pertempuran fase pertama akhir Oktober 1945, kawasan industri ini menjadi sasaran pasukan Inggris sebagai objek vital yang harus dikuasai. Loewito, anggota tim panser dari pasukan Polisi Istimewa menuturkan kesaksiannya yang terjadi dalam pertempuran di kawasan ini.

29 Oktober 1945, ia mendapat perintah untuk membantu rakyat Kampung Dinoyo yang saat itu sedang mengepung tentara musuh yang menduduki Gedung BAT di Jalan Ngagel. Mereka dapat meloloskan diri karena pengepungan rakyat yang kurang baik. Akhirnya musuh menuju kolong Jembatan Ngagel yang dianggap dapat memberi cukup perlindungan. Mereka pun menggali lubang perlindungan hingga aman.

Setelah memikirkan cara untuk menyerang musuh, akhirnya mereka memutuskan untuk melubangi jembatan dengan alat ganco dan lain-lain. Tak sampai di situ, lubang yang sudah dibuat itu digunakan untuk membuang bensin untuk kemudian disulutkan api. Bensin itu dikumpulkan secara bersama-sama oleh rakyat.

Api yang bercampur dengan air sungai membuat musuh sulit untuk menembak. Sebaliknya, mereka justru menjadi bulan-bulanan lemparan batu dan tembakan senapan. Aksi ini membuat musuh benar-benar tidak berdaya dan menemui ajalnya.

Selanjutnya rakyat berbondong-bondong turun untuk mengambil senjata dan alat persenjataan yang ditinggalkan musuh. Walaupun terdapat halangan karena ban panser berlubang karna tembakan, rakyat Dinoyo pimpinan Haji Rachman tetap semangat. Mereka bergotong royong mengganti ban panser sehingga dapat pulang kembali.

Kondisinya Saat ini

Jembatan itu kini masih ramai dan dilalui oleh kendaraan. Bahkan sebuah mall perbelanjaan dibangun tepat di seberangnya. Namun, nasib bekas NV Braat mengenaskan. Tak ada penanda yang menandakan NV Braat adalah kawasan industri Kota Surabaya tempo dulu dan banyak nyawa pekerja pabrik yang hilang di lokasi ini.

Kini di sana, hanya tersisa bangunan kecil yang dimanfaatkan sebagai tempat futsal. Lebih dari itu, lokasi itu kini hanya berisi reruntuhan dan lahan kosong yang terdapat tanaman-tanaman liar.

(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)