Sukses

Cerita Cinta Dokter Soetomo dengan Perawat Belanda

Pendiri Budi Utomo, dr. Soetomo memiliki kisah cinta yang tidak mudah dengan istrinya, Everdina Bruring.

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri Boedi Oetomo, dr. Soetomo memiliki kisah cinta yang tidak mudah. Walaupun dr. Soetomo dan istri berasal dari dua benua, dua paradigma hidup dan dua idealisme yang berbeda, tapi cinta mereka bertahan hingga keduanya berpulang dan dimakamkan di Surabaya.

Melansir dari buku karya Dhahana Adi, Surabaya Punya Cerita, Blora menjadi tempat pertama kedua insan itu bertemu. Setelah suami Everdina Bruring meninggal pada 1917, Ia memilih untuk bekerja menjadi perawat di Rumah Sakit Blora untuk mengobati kesendiriannya. Seperti ditakdirkan, dr. Soetomo yang sebelumnya di Sumatera juga dipindahtugaskan ke Blora. Akhirnya mereka bertemu dan cinta di antara keduanya pun bertumbuh.

Dalam hubungan antar keduanya sempat terjadi penentangan. Pihak keluarga Everdina, juga pihak keluarga atau teman-teman seperjuangan dr. Soetomo tidak mendukung hubungan ini. Walaupun begitu, cinta mereka tidak tergoyahkan sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.

Saat dr. Soetomo mendapat tugas belajar selama empat tahun di Belanda, kawan-kawan dr. Soetomo yang juga mahasiswa Indonesia tak jarang bermain ke rumah pasangan ini. Mereka terpikat dengan hidangan yang disediakan Ny. Everdina Soetomo seperti nasi goreng, rendang, soto, dan masakan Indonesia lainnya.

Setelah dr. Soetomo pulang dari Belanda, ia diangkat menjadi dosen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) Surabaya. Pria kelahiran 30 Juli ini ditunjuk untuk memimpin berbagai organisasi dan membentuk PARINDRA (Partai Indonesia Raya).

Untuk mengisi aktivitas politik suaminya, Everdina juga turut aktif menyiapkan berbagai hidangan untuk teman-teman suami yang sering bertamu ke rumah Jalan Simpang Dukuh atau di GNI (Gedung Nasional Indonesia) di Jalan Bubutan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Maut yang Memisahkan

Walaupun tidak dikarunai anak, pasangan ini tetap merasa bahagia.  Ny. dr. Soetomo pun jatuh sakit dan beristirahat di Claket, Malang. Meskipun sakit, Ia tetap aktif di kegiatan sosial Malang. dr. Soetomo pun secara rutin dua minggu sekali menjenguk istrinya.

Hingga pada 19 Februari 1934 pukul 09:10 pagi, Ny. dr. Soetomo menghembuskan nafas terakhirnya. Sang istri meninggal di pangkuan suami yang memang pada saat itu sedang menjenguk istrinya.

dr. Soetomo tidak memiliki firasat apa pun mengenai kepergian istrinya. Ny. Dr. Soetomo dimakamkan di Kembang Kuning, Surabaya. Ribuan pelayat dari berbagai kalangan berduka bahkan menitikkan air mata saat mendengar pidato pelepasan dari dr. Seotomo yang sangat indah dan mendalam.

Selepas meninggalnya sang istri, dr. Soetomo tidak menikah lagi. Hingga akhirnya empat tahun kemudian, tepatnya pada 29 Mei 1938, Dr. Soetomo tutup usia pada umur 50 tahun. Saat itu, seluruh warga Kota Surabaya berkumpul di Jalan Bubutan. Suara zikir berdengung mengantar kepergian putra bangsa.

Ini adalah bukti kesetiaan dr. Soetomo pada cinta pertama dan terakhirnya. Selama hidupnya, Dr. Soetomo telah menunjukkan kesetiannya. Tak hanya pada sang istri, tapi juga untuk nusa dan bangsa Indonesia.

(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)