Sukses

Yuk, Nikmati Tjangkroean Djoeang di Tugu Pahlawan Surabaya

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (disparbud) Kota Surabaya, Jawa Timur mempersembahkan acara yang bertajuk “Tjangkroean Djoeang”.

Liputan6.com, Jakarta - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (disparbud) Kota Surabaya, Jawa Timur menggelar acara bertajuk "Tjangkroean Djoeang". Perhelatan tersebut diselenggarakan di area parkir kompleks Monumen Tugu Pahlawan yang berlangsung mulai 31 Agustus 2019.

Cangkrungan digelar di sisi barat Monumen Tugu Pahlawan Surabaya. Adapun mengutip journal Universitas Airlangga, cangkrukan mulai populer ketika masyarakat berinteraksi dan berusaha berkumpul dengan anggota masyarakat yang lain sehingga tiap individunya merasa nyaman untuk membicarakan segala sesuatu.

Dilansir dari instagram @surabayasparkling, Cangkrungan ini dilangsungkan pada Sabtu mulai pukul 18.00-23.00 WIB dan Minggu mulai pukul 18.00-22.00 WIB.

Di sini, pengunjung dapat menikmati aneka sajian makanan dan minuman tradisional khas Surabaya, Jawa Timur. Sambil berwisata kuliner, pengunjung dapat menyaksikan obyek koleksi pendukung lainnya seperti relief, dan patung di komplek Tugu Pahlawan.

Untuk tiap malam Sabtu, para tamu akan diajak nonton bareng film-film yang terkait dengan perjuangan. Penetapan nonton genre film tersebut semakin memperkuat julukan kota itu sendiri sebagai Kota Pahlawan yang penuh dengan perjuangan.

Selain itu, pengunjung juga akan merasakan sajian atau live musik dari para musisi jalanan kota ini. Selama memberikan penampilannya, musisi jalanan akan mengenakan kostum yang terkait dengan perjuangan, atau bisa juga memakai baju tradisional daerah setempat.

Ditambah dengan nuansa musiknya yang ala-ala perjuangan. Jadi, luangkan waktu akhir pekan Anda untuk datang ke Tjangkroean Djoeang. Kapan lagi bisa kulineran sambil nikmati live musik dari musisi jalanan di Surabaya.

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Taman Sejarah, Saksi Bisu Perjuangan Pemuda Surabaya

Sebelumnya, Surabaya, Jawa Timur kental dengan aneka tempat yang menyimpan segudang rahasia. Berbagai lokasi yang penuh dengan sejarah itu pun kini banyak difungsikan sebagai tempat wisata yang menarik.

Tidak terkecuali tamannya, taman yang ada di kota ini pun turut serta selaku saksi bisu perjuangan pemuda Surabaya kala itu. Salah satunya adalah Taman Sejarah.  

Berlokasi di Jalan Taman Jayengrono No.2-4, Krembangan, Taman Sejarah sempat mengalami beberapa kali pergantian nama. Awalnya, taman ini biasa disebut Willemsplein, yang diambil dari nama Willem seorang Raja Belanda yang berkuasa ketika bentrokan itu terjadi.

Mengutip dari surabaya.go.id, taman yang berada di sebelah Jembatan Merah ini dulunya merupakan tempat berlangsungnya pertempuran antara Arek-Arek Suroboyo dengan pasukan Inggris. Sampai-sampai Jenderal Inggris yang bernama A.W.S Mallaby meninggal dunia saat itu.

Singkat cerita, Willemsplein berganti nama menjadi Taman Jayengrono. Kata Jayengrono itu sendiri diambil dari nama Adipati Jayengrono, taman tersebut diresmikan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada Desember 2012.

Wali Kota Surabaya kemudian mengganti nama taman menjadi Taman Sejarah. Hal tersebut karena taman ini dinilai memiliki aspek historis yang cukup kuat, seperti dikutip dari kominfo.jatimprov.go.id.

Taman Sejarah dikelilingi oleh bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur kolonial Belanda. Bangunan bersejarah tersebut di antaranya Jembatan Merah, Gedung Cerutu, Gedung Internatio, dan Gedung Garuda.

Memiliki luas 5.300 meter persegi, taman ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum, antara lain panggung dengan latar belakang Gedung Internatio, dan area pertunjukan seni yang berada di bagian tengah taman.  Selain itu, di beberapa sudut taman disediakan jalur relaksasi, dan juga air mancur.

Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya semakin menambah nuansa cantik di taman ini dengan menambahkan hiasan lampu-lampu yang berbentuk lorong dan bambu runcing. Lampu tersebut diletakkan sejajar, sehingga warna-warninya terlihat menarik ketika dinyalakan pada malam hari.

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)