Sukses

2 Hal Terbaru Terkait Kasus Insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya

Setelah pemeriksaan selama 12 jam oleh penyidik, polisi akhirnya memutuskan untuk menahan Tri Susanti 1x24 jam. Berikut ini adalah rangkuman peristiwanya.

Liputan6.com, Jakarta - Setelah pemeriksaan selama 12 jam oleh penyidik, polisi akhirnya memutuskan  menahan Tri Susanti 1x24 jam. Sebelumnya Tri Susanti diperiksa selama 12 jam dan dicecar 37 pertanyaan oleh penyidik. Hal ini terkait kasus penyebaran hoaks saat insiden Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.

Kuasa Hukum Tri Susanti, Sahid menuturkan, penahanan tersebut terhitung sejak pukul 00.00 WIB.  Sahid mengaku kecewa akan keputusan tersebut. Menurut dia, hal ini tidak sesuai dengan syarat penahanan yang diatur dalam UU yang berlaku.

"Ya, sebenarnya saya sebagai tim kuasa hukum ini sangat kecewa karena sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor Tahun 1981 itu tidak harus ditahan," ujar dia seperti melansir Antara, Selasa (3/9/2019).

Selain itu,  tersangka kasus dugaan ujaran rasialisme kepada Mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) Jalan Kalasan, Surabaya berinisial SA menjalani pemeriksaan lebih dari 12 jam di Mapolda Jawa Timur pada Senin, 2 September 2019.

Kuasa hukum SA, Ari Hans Simaela, mengatakan kliennya datang memenuhi panggilan polisi pada pukul 12.00 WIB dan hingga pukul 00.15 WIB masih menjalani pemeriksaan.

"Ada 37 pertanyaan yang diajukan oleh penyidik. Yang pasti soal kejadian yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua saja tadi pertanyaannya," ujar Ari

Berikut ini adalah rangkuman berita terbaru seputar tersangka insiden Asrama Mahasiswa Papua (AMP), Surabaya:

1. Tri Susanti Ditahan 1x24 Jam

Tersangka kasus dugaan penyebaran informasi hoaks, diskriminasi dan provokasi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Tri Susanti diputuskan mendapat penahanan 1x24jam setelah melakukan pemeriksaan oleh penyidik. Dalam pemeriksaan yang berlangsung selama 12 jam itu, Tri Susanti dicecar 37 pertanyaan oleh penyidik. 

Sebelumnya Polisi telah menetapkan Tri Susanti sebagai tersangka dan dijerat pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 4 UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis, dan Pasal 160 KUHP dan Pasal 14 ayat 1 dan atau ayat 2 Pasal 15 KUHP.

Kuasa Hukum Tri Susanti, Sahid menjelaskan, penahanan kliennya Tri Susanti terhitung sejak pukul 00:00 WIB. “Ya, sementara Bu Susi, ditahan untuk satu kali 24 jam,” tutur dia seperti melansir Antara, Selasa, 3 September 2019.

Sahid mengaku dirinya dan tim kuasa hukum merasa kecewa dengan keputusan ini, meski Tri Susanti hanya satu kali 24 jam. Ia menuturkan hal ini tidak berdasarkan syarat penahanan yang diatur Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Ya, sebenarnya saya sebagai tim kuasa hukum ini sangat kecewa karena sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor Tahun 1981 itu tidak harus ditahan," ujar dia.

Ia menuturkan pasal yang dikenakan Tri Susanti tidak memenuhi syarat penahanan karena ancamannya masih di bawah lima tahun penjara. Sahid juga menegaskan, kliennya tidak berpotensi menghilangkan barang bukti, melarikan diri, apalagi berbuat tindak pidana lainnya sehingga seharusnya polisi tidak memiliki alasan menahan kliennya.

"Jadi unsur subyektifnya sudah tidak terpenuhi, kecuali dibuka dan ada kekhawatiran dari pihak kepolisian (Tri Susanti) akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti atau diduga ada indikasi melakukan tindak pidana, padahal tidak ada," tutur dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Mak Susi Jalani Pemeriksaan

Tri Susanti Jalani Pemeriksaan sebagai tersangka pada Senin, 2 September 2019

Sebelumnya, Senin 02 September 2019, Koordinator lapangan (korlap) aksi di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya, Tri Susanti atau juga dipanggil Mak Susi didampingi kuasa hukumnya, Sahid mendatangi Gedung Subdit V Siber Polda Jatim untuk menjalani pemeriksaan.

Tri Susanti hadir pada pukul 11:04 WIB dengan menggunakan kaos bergambar Garuda Pancasila berwarna hitam. Tri Susanti menjalani pemeriksaan di Mapolda Jawa Timur di Surabaya, Jawa Timur sebagai tersangka kasus penyebaran informasi hoaks, diskriminasi dan provokasi.

Sebelum pemeriksaan, Kuasa Hukum Tri Susanti, Sahid menuturkan pemanggilan terhadap kliennya Tri Susanti merupakan kali ketiga. Pemanggilan pertama ialah sebagai saksi, sedangkan pemanggilan kedua sebagai tersangka tapi tidak bisa hadir karena sakit.

"Ini merupakan panggilan yang ketiga kali. Yang kedua kali kemarin ibu Susi kurang fit badannya, jadi ditunda," tutur dia seperti melansir Antara, Senin 2 September 2019.

Dalam pemeriksaan kali itu, Sahid menuturkan kliennya dalam kondisi bagus. Untuk berkas maupun bukti, pihaknya tidak mempersiapkan apa pun. Semua bukti, baik HP, tpi, slauer dan baju sudah disita oleh polisi saat pemeriksaan sebagai saksi.

Sementara tentang pembelaan, Sahid menuturkan akan dibuktikan di pengadilan. Kedatangan kliennya untuk pemeriksaan sebagai tersangka ini adalah untuk menunjukkan kalau kliennya kooperatif untuk memberikan kelengkapan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

"Pembelaan ya nanti di pengadilan. Sementara dari pihak penyidik meminta penambahan BAP untuk melengkapi," ujar dia.

Tri Susanti yang juga mantan Caleg Partai Gerindra ini mengaku siap menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Subdit V Siber Polda Jatim. Ia menuturkan, kalau kecapekan pada waktu pemanggilan kedua sehingga tidak bisa hadir. "Insyaallah siap, kemarin kecapean," kata dia.

3 dari 3 halaman

Tersangka Kasus Dugaan Ujaran Rasis Berinisial SA Juga Diperiksa

2. Polisi Periksa Tersangka Kasus Dugaan Ujaran Rasis Berinisial SA Selama 12 Jam

Kuasa hukum SA, Ari Hans Simaela, mengatakan kliennya SA datang memenuhi panggilan polisi pada pukul 12.00 WIB dan hingga pukul 00.15 WIB masih menjalani pemeriksaan.

"Ada 37 pertanyaan yang diajukan oleh penyidik. Yang pasti soal kejadian yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua saja tadi pertanyaannya," ujar Ari saat ditemui di gedung Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim, Selasa dini hari, seperti melansir Antara, Selasa (3/9/2019) di Surabaya.

Ia menuturkan, rencananya pemeriksaan terhadap kliennya dilanjutkan pihak kepolisian pada Selasa pagi. Ari menuturkan, SA meminta maaf kepada masyarakat atas insiden yang terjadi di Jalan Kalasan, tapi  SA menegaskan dirinya tidak melakukan diskriminasi pada ras tertentu.

"Klien saya menitipkan pesan bahwa tidak ada maksud menghina atau mendiskriminasikan ras atau suku lain. Klien saya menyampaikan permintaan maaf kepada semua masyarakat," ucapnya.

Saat kejadian tersebut, Ari mengungkapkan jika kliennya tersebut datang ke Asrama Mahasiswa Papua untuk mengecek adanya informasi yang menyebut tiang bendera telah patah, bukan melakukan pengepungan.

"Jadi bukan mengkoordinir massa, tapi klien saya ini hanya memastikan benar tidaknya bendera itu patah. Sehingga bukan untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum," kata dia.

Dalam pemeriksaan, Ari mengakui jika kliennya yang mengeluarkan kata-kata diskriminasi, namun SA berdalih kata-kata itu keluar secara spontanitas sebagai ungkapan kemarahan saja.

"Bahkan klien saya ini tidak ada maksud untuk mendiskreditkan ras atau suku manapun," katanya.

Mengenai status SA, Ari menyatakan jika kliennya tersebut merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ada di Pemkot Surabaya.

"Betul untuk statusnya di Pemkot Surabaya sebagai ASN silakan cek saja dulu," ujar dia.

 Sebelumnya, selain Mak Susi yang ditetapkan sebagai tersangka atas kasus ujaran bernada Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) serta penghasutan dan atau hoaks, Penyidik Polda Jawa Timur juga menetapkan tersangka lain dalam kasus dugaan ujaran rasis dari peristiwa ini. Tersangka tersebut berinisial SA.

“Hasil uji labfor digital ada enam konten dan beberapa video yang sudah diperiksa saat ini, Polda Jatim menetapkan satu tersangka lagi atas nama SA," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo di Kepulauan Seribu, Jakarta, Jumat 30 Agustus 2019.

SA diduga menyampaikan kalimat-kalimat bernada penghinaan saat aparat hendak meminta klarifikasi ke mahasiswa Papua terkait penemuan Bendera Merah Putih di selokan.

"SA membuat narasi yang sifatnya penghinaan ujaran kebencian dan diskriminasi," kata Dedi.

Dedi juga menuturkan, Tri Susanti dan SA sama-sama hadir di lokasi. Mereka berdua merekam peristiwa yang terjadi di AMP Surabaya.

"Video ini dijadikan alat bukti digital," ujar Dedi. 

(Kezia Priscilla, mahasiswi UMN)