Sukses

LBH Surabaya Ingin Pemerintah Tuntaskan Kasus Munir

Direktur LBH Surabaya, Abdul Wachid Habibullah menuturkan, hari meninggalnya Munir selalu diperingati oleh pembela HAM.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Jawa Timur, meminta pemerintah berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Munir yang meninggal dalam sebuah penerbangan menuju Amsterdam, Belanda.

Direktur LBH Surabaya, Abdul Wachid Habibullah menuturkan, hari meninggalnya Munir selalu diperingati oleh pembela HAM. "Tidak saja untuk mengenang jasa-jasa Cak Munir, tetapi lebih jauh untuk selalu memupuk dan menumbuhkan semangat juang dan nilai-nilai yang dibangun oleh Cak Munir, salah satunya dulu besar di LBH Surabaya dalam mendorong pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM," ujar dia dilansir Antara, Sabtu (7/9/2019).

Ia menuturkan, penuntasan kasus pembunuhan Munir menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara. Hingga saat ini pemerintahan Jokowi akan memasuki dua periode pun penyelesaian kasus Munir juga masih mandek, meskipun salah satu janji Jokowi adalah menyelesaikan kasus Munir.

"Pembunuhan terhadap Munir juga menunjukkan betapa lemahnya peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap pembela HAM," ujar dia.

Ia mengatakan, selain kekerasan atau ancaman fisik, pembela HAM juga seringkali dilaporkan ke polisi atau digugat secara perdata di pengadilan.

"Tren yang muncul belakangan, pembela HAM sering kali berhadapan dengan hukum. Ini yang dinamakan SLAPP (Strategic Lawsuit Againts Public Partisipation). Pembela HAM dikriminalisasi atau digugat secara perdata," tutur dia.

Ia mengatakan, instrumen hukum dijadikan alat untuk membungkam, dan LBH Surabaya banyak menangani kasus seperti ini, baik yang dialami buruh, petani, aktivis lingkungan maupun aktivis antikorupsi.  "Oleh karena itu, LBH Surabaya mengharapkan pemerintah Jokowi dapat menuntaskan kasus Munir," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

LBH Surabaya: Penyitaan Buku di Probolinggo Langgar Hukum

Sebelumnya, LBH Surabaya mengecam aksi penyitaan oleh pihak Polsek Kraksaan dan TNI Kabupaten Probolinggo terhadap buku-buku yang diduga memuat ajaran komunis milik komunitas Vespa Literasi pada 27 Juli 2019.

Pegiat komunitas tersebur, Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25) juga turut diamankan polisi. Terdapat empat buku yang disita yaitu, Aidit Dua Wajah Dipa, Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, Menempuh Jalan Rakyat, dan D.N. Aidit "Sebuah Biografi Ringkas".

Dilansir suarasurabaya.net, Direktur LBH Surabaya, Abdul Wahid mengatakan, penyitaan buku-buku tersebut melanggar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-VIII/2010.

Putusan itu menyebutkan penyitaan tanpa proses peradilan merupakan proses eksekusi ekstra yudisial yang bertentangan dengan konsep negara hukum. Penyitaan harus melalui proses peradilan terlebih dahulu.

"Selain itu, pelibatan TNI dalam penyitaan buku ini termasuk tindakan melampaui wewenang, abuse of power sebab berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, militer bukanlah bagian dari penegak hukum," ujar dia pada Selasa, 30 Juli 2019.

LBH Surabaya meminta agar Polsek Krakasan segera mengembalikan buku-buku yang disita karena penyitaan produk literasi tersebut sudah melanggar kebebasan berpendapat yang sudah diatur dalam pasal 28E UUD 1945.

Sebelumnya penyitaan juga terjadi di Kediri pada 26 Desember 2018 silam. Penyitaan dilakukan oleh Kodim Militer 0809 Kediri setelah mendapat informasi dari warga.Dari pemeriksaan tersebut, anggota Kodim menemukan 138 buku bermuatan komunis, misalnya "Benturan NU PKI 1948- 1965" dan "Di Bawah Lentera Merah" karangan Soe Hok Gie.

Penyitaan buku sendiri merupakan tindakan yang sudah dilarang dan subjektif, karena buku merupakan produk literasi yang menjadi sumber wawasan untuk masyarakat meskipun itu berupa wawasan tentang komunis dan PKI.

Penyitaan buku-buku seperti itu sebenarnya merugikan masyarakat karena ketika masyarakat tidak mengenal betul apa itu komunis dan PKI maka akan muncul ketakutan-ketakutan yang tidak perlu.

(Tito Gildas, mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia)

Â