Sukses

Kisah Radio Pemberontakan Surabaya, Pembakar Semangat Arek Suroboyo

Setiap 11 September diperingati sebagai hari radio nasional. Surabaya pun memiliki sejarah mengenai radio yang turut berperan untuk membakar semangat rakyat Surabaya.

Liputan6.com, Jakarta - Tahukah Anda kalau hari ini diperingati Hari Radio Nasional? Sejak 1945, setiap 11 September diperingati sebagai hari radio nasional.

Penetapan tanggal tersebut pula bertepatan dengan lahirnya Radio Republik Indonesia (RRI). Sebagai kota yang kaya nilai sejarah, Surabaya juga memiliki kisah tersendiri mengenai radio yang turut membakar semangat rakyat pada saat zaman penjajahan.

Terlebih, pahlawan asal Surabaya, Jawa Timur yaitu Bung Tomo turut menyumbangkan semangatnya dalam melancarkan ajakan dan propagandanya di radio pemberontakan Surabaya.

Sebagai informasi, bangunan radio pemberontakan Surabaya ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya oleh Pemkot Surabaya dengan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya No. 188.45/004/402.1.04/1998. Akan tetapi, seperti apa kisah radio pemberontakan Surabaya dahulu?

Berikut ini, Liputan6.com merangkum dari Buku Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? Karya Ady Setyawan dan Marjolein van Pagee, ditulis Rabu (11/9/2019).

Melintas di Jalan Basuki Rachmad menuju arah utara, dari gedung BRI Tower mengarah ke Tunjungan Plaza terdapat sebuah pertigaan jalan yang tepat berada di depan Gramedia Expo Surabaya. Di pertigaan itu kedapatan dua buah monumen.

Monumen yang dulunya merupakan bekas radio bekupon, sekaligus satu-satunya radio bekupon yang masih tersisa di Surabaya. Pada bagian dinding tiang radio, terukir sebuah tulisan yang terlihat samar yaitu tulisan ‘radio revolusi’.

Dibilang radio bekupon karena kata ‘bekupon’ itu sendiri adalah sebutan masyarakat Surabaya untuk kandang burung merpati. Dalam revolusi 45 di Surabaya, radio memberikan peranan yang sangat penting pada proses terjadinya kemerdekaan.

Dalam sebuah pertempuran, sektor komunikasi menjadi hal paling penting. Oleh karena itu, media komunikasi seperti radio bekupon sangat membantu.

Radio ini pada awalnya didirikan di setiap kampung di Surabaya. Kemudian, rakyat Surabaya diarahkan, dikonsolidasi, dan dikobarkan semangatnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Radio Pemberontakan Surabaya

Tak jauh dari monumen radio, berdiri patung pejuang dengan posisi tegak menantang. Di patung tersebut, terselip keterangan bahwa tempat ini dulunya banyak berdiri markas-markas TKR dan Badan Perjuangan.

Dari pertigaan, monumen tersebut berada, ke arah kiri sudah masuk ke Jalan Kombespol M. Duryat. Nah, di ujung jalan yang di bagian tengah terdapat jalur hijau, tepat di sisi sebelah kiri ada Jalan Mawar.

Di Jalan Mawar No.10-12 inilah suara lantang Bung Tomo dari balik corong Radio Pemberontakan terdengar menggelegar. Pada saat itu, dia bersama dengan temannya Ktut Tantri, seorang wanita asal Amerika.

Pidato Bung Tomo selalu diawali dengan lantunan nada lagu berjudul Tiger Shark, karya Peter Hodgkinson dari grup The Hawaian Islander. Baru setelah itu terdengarlah sorak-sorai teriakan merdeka.

Lambat laun, pidato ini pun selalu dinantikan oleh rakyat Surabaya. Selanjutnya, kini giliran Ktut Tantri, ia mengumandangkan seruan kepada dunia internasional tetapi dalam Bahasa Inggris perihal peristiwa di Surabaya.

Daya pancaran Radio Pemberontakan di Jalan Mawar ini mampu menjangkau hingga ke luar negeri. Hal itu karena Hasan Basri, seorang tenaga teknik Antara memperkuat pemancar radio yang ada di jalan itu dengan pemancar milik Angkatan laut Jepang yang dibawanya.

Radio Pemberontakan sudah beroperasi sejak 15 Oktober 1945. Pada 30 Oktober 1945, Sukarno yang kala itu menjabat sebagai presiden, Bung Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifudin sempat menyambangi markas radio ini.

Mereka datang ke markas radio dengan tujuan untuk mengimbau penghentian tembak-menembak. Mengenai kunjungan itu, Ruslan Abdul Gani menganggap bahwa tindakan Sukarno tidak tepat, karena presiden menyertakan seorang perwira Inggris.

Ketika Surabaya dihujani bom-bom Sekutu antara 10-12 November 1945, Ktut Tantri sedang berada di markas Radio Pemberontakan di Jalan Mawar, sedangkan Bung Tomo sudah berpindah ke Malang dan melakukan siaran radio dari sana.

Menurut Ktut Tantri, Bung Tomo pindah ke Malang karena Surabaya sudah tidak aman bagi Bung Tomo. Hal ini disebabkan mata-mata saat itu ada di mana-mana. Tentara Sekutu menjanjikan hadiah besar bagi yang berhasil menangkap Bung Tomo.

Area di sekitar markas Radio Pemberontakan, Jalan Mawar juga tidak terlewat dari bombardir meriam-meriam Sekutu. Pada akhirnya, bangunan Radio Pemberontakan di Jalan Mawar yang mampu bertahan dari serangan Inggris dalam pertempuran Surabaya itu sudah rata dengan tanah pada Mei 2016.

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)

Â