Liputan6.com, Jakarta - Wacana penyematan status Bangunan Cagar Budaya untuk Benteng Kedung Cowek di Surabaya, Jawa Timur telah mengemuka sejak beberapa tahun lalu.
Namun, di mata pegiat sejarah Surabaya, Ady Setyawan, keseriusan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam mewujudkan hal ini patut dipertanyakan.
Ady mengaku telah memaparkan data tentang Benteng Kedung Cowek kepada Pemkot Surabaya supaya wacana ini dapat segera terealisasi. Data itu antara lain terdiri dari blue print (cetak biru) bangunan, arsip koran sezaman, arsip laporan militer Jepang hingga literatur-literatur yang ditulis para pelaku sejarah.
Advertisement
"Paparan (data) ke Pemkot tahun 2015 itu dua kali. Yang pertama dengan Dinas Budaya dan Pariwisata, yang kedua tanggal 3 Desember 2015 dengan Tim Ahli Cagar Budaya. Saya sebulan (melakukan) riset di Belanda (memakai) biaya sendiri pada tahun 2013. Mereka bilang (hasil riset) akan dikaji, tapi enggak ada kabarnya lagi," ujar Ady kepada Liputan6.com, Rabu (25/9/2019).
Baca Juga
Pada 9 Juni 2019, Ady menggelar diskusi terkait wacana ini. Namun, kata dia, saat itu tidak ada perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Tim Ahli Cagar Budaya bentukan Pemkot Surabaya, melainkan hanya ada Kepala Dinas Arsip dan beberapa stafnya, serta tokoh-tokoh penting kota Surabaya.
Selang beberapa waktu kemudian Ady kembali diundang untuk melakukan audiensi dengan Tim Ahli Cagar Budaya. Saat itu dia diminta lagi untuk memaparkan data yang sebetulnya telah dia paparkan pada 2015 . Namun, menurut dia, dari sisi akademis forum itu tidak beretika.
Misalnya, kata Ady, Tim Ahli Cagar Budaya menganggap cetak biru yang dia paparkan bukanlah cetak biru benteng itu dan dikatakan pada masa lampau tidak benar-benar terjadi pertempuran di benteng itu.
"Ketika saya menyebutkan fakta-fakta dari sejumlah literatur, mereka malah menjawab, 'saya tahu buku-buku itu, tidak ada semua informasi itu'. Saya sebut tidak akademis karena mereka membantah pernyataan saya tanpa data tandingan," terang Ady.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Menyayangkan Pengeboran Dinding Benteng
Selain itu, Ady sangat menyayangkan tindakan pengeboran dinding benteng untuk mengambil sampel beton yang diperlukan untuk melalui uji kadar karbon. Dalih pengujian itu adalah untuk mengetahui usia bangunan benteng.
Padahal informasi itu sudah dia dapatkan dari Arsip Nasional Belanda. Tim Ahli Cagar Budaya, menurut dia, seharusnya cukup melakukan triangulasi antara data yang telah dia paparkan dengan arsip-arsip surat kabar sezaman untuk mendapat akurasi informasi.
Ady juga menyebut sejumlah pihak telah mengecam pengeboran itu. Alasannya, tindakan pengeboran itu dapat membahayakan struktur bangunan benteng.
Tak hanya itu, Ady mengaku sumber-sumber berupa surat kabar sezaman yang dia paparkan juga dimentahkan begitu saja tanpa data tandingan yang kredibel. "Misalnya mereka cuma bilang, 'beton (pertama kali) masuk kota Surabaya tahun 1930', tapi tidak jelas rujukan mereka apa," ujar Ady.
Berbekal data yang telah dipaparkan, Ady yakin semestinya tidak ada alasan bagi Pemkot Surabaya untuk tidak segera menyematkan status Bangunan Cagar Budaya terhadap Benteng Kedung Cowek.
"Status cagar budaya memang penting, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana menyusun narasi kesejarahan benteng. Kita perlu bertindak profesional demi kesejarahan kota Surabaya dan pengetahuan bagi anak cucu kita kelak," terang Ady.
Dihubungi terpisah, sejarawan yang juga sedang menempuh program PhD di Faculteit Geesteswetecnschappen di Universiteit Leiden, Adrian Perkasa, juga beranggapan, penetapan status cagar budaya pada benteng kedung cowek dapat segera dilakukan.
"Seharusnya memang bisa segera ditetapkan kalau semua data sudah lengkap. Penetapan ada di tangan walikota, maka walikota harus bijak juga merespons masalah penetapan ini," kata Adrian.
Ditanya soal kelengkapan data yang dimaksud, Adrian menegaskan bahwa data yang telah dipaparkan oleh Ady, sudah termasuk lengkap dan bisa menjadi salah satu dasar untuk penetapan status ini.
"(Data) sudah lengkap. Saya juga tahu sendiri, kebetulan sedang di Belanda ini. Jadi, kalau memang terlalu lama, (akan) berlarut-larut, (sehingga) walikota harus bijak melihatnya. Nanti kalau dibiarkan berlarut-larut bisa berisiko kontraproduktif terhadap upaya pelestarian cagar budaya," ujar Adrian.
Advertisement
Selanjutnya
Selain itu, Adrian menyoroti peran dan partisipasi aktif masyarakat pada wacana ini, yang juga disebutkan di Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
"Undang-undang Cagar Budaya sendiri, selain memang mengatur tentang adanya Tim Ahli Cagar Budaya, juga mengupayakan peran masyarakat lebih luas," kata Adrian.
Liputan6.com pun memeriksa undang-undang yang dimaksud. Pada poin menimbang memang disebutkan bahwa "cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya."
Kemudian pada Bab II tentang Asas, Tujuan dan Lingkup, antara lain ada asas partisipasi dan asas transparansi dan akuntabilitas.
"Jadi, dalam kasus ini seharusnya walikota bisa menyelaraskan antara Tim Ahli dan masyarakat yang peduli terhadap upaya pelestarian cagar budaya," tutur Adrian.
Liputan6.com telah menghubungi salah seorang Tim Ahli Cagar Budaya untuk meminta tanggapan, tetapi hingga saat ini belum mendapat tanggapan apa pun. (Moch Wahyu Hidayat)
Pemkot Surabaya Masih Melengkapi Administrasi
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkot Surabaya, Antiek Sugiharti menuturkan, status Benteng Kedung Cowek masih melengkapi administrasi untuk penetapan.
Antiek menegaskan, kalau Pemkot Surabaya serius untuk menetapkan benteng tersebut sebagai cagar budaya. Hal ini ditunjukkan dari upaya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma).
“Ibu wali kota yang sampai menemui pangdam untuk melakukan proses sesuai prosedur apa itu masih dianggap kurang serius,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menambahkan, ada proses penetapan cagar budaya yang harus dilakukan sesuai undang-undang (UU). Informasi yang diberikan itu sebagai pendukung tapi masih ada proses-proses lain yang harus dipenuhi dan lakukan.
Advertisement