Liputan6.com, Jakarta - Berkunjung ke Surabaya, Jawa Timur akan disuguhkan dengan bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Belanda. Bangunan-bangunan bersejarah tersebut masih ada yang bertahan dan dipakai hingga kini.
Sebut saja Balai Kota Surabaya yang dibangun oleh arsitek Belanda Cosman Citroen. Ia merancang Balai Kota Pemkot Surabaya itu sekitar 1915-1917, dan bangunan tersebut masih digunakan hingga kini.
Tak hanya Balai Kota Pemkot Surabaya saja, ada juga bangunan yang dirancang oleh Citroen yaitu viaduct kereta api di Jalan Pahlawan, Rumah Sakit Darmo, dan lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Kali ini Liputan6.com membahas mengenai salah satu bangunan bersejarah yang juga bangunan cagar budaya yaitu Gedung Lindeteves. Gedung ini berada di Jalan Pahlawan, Surabaya. Jalan Pahlawan ini termasuk kawasan kota tua di Surabaya.
Mengutip laman edupaint.com, gedung ini dibangun pada 1911. Biro arsitek Hulswit, Fermont dan Ed.Cuypers dari Batavia yang merancang bangunan ini. Gedung tersebut dipakai oleh N.V Lindeteves-Stokvis. Perusahaan ini termasuk salah satu lima perusahaan konglomerat Belanda.
Empat perusahaan lainnya yaitu NV Rotterdam Internatio, NV Borsumij Maatschappij, NV Geo Wehry, dan NV Jacobson van den Berg. Kantor pusat Lindeteves Stokvis berkantor pusat di Semarang, Jawa Tengah. Perusahaan ini memiliki sejumlah kantor cabang di kota-kota besar di Jawa termasuk di Surabaya.
Perusahaan Lindeteves ini merupakan pusat perkulakan alat berat. Lindeteves Stokvis and FA termasuk salah satu unit usaha pabrikasi kontruksi baja terkemuka di VOC.
Oleh karena itu, ketika di masa pendudukan Jepang, gedung ini dijadikan bengkel untuk senjata berat dan kendaraan perang atau disebut juga Kitahama Butai.
Pegiat sejarah Surabaya, Ady Setyawan menuturkan, gedung Lindeteves jatuh ke tangan Jepang dijadikan bengkel reparasi kendaraan tempur. Gedung ini dinilai kokoh juga lantaran kontruksi beton bertulang dan selamat dari pertempuran Surabaya.
"Ini satu-satunya bangunan yang jadi bengkel tank padahal bukan peruntukkannya," ujar Ady saat dihubungi Liputan6.com.
Kemudian ada 1 Oktober 1945, bengkel ini direbut oleh pemuda Indonesia dengan perolehan banyak meriam ringan, kendaraan panser serta tank. Ini seperti tertulis dalam piagam di gedung tersebut.
"Dia (Gedung Lindeteves) direbut dari arek-arek Suroboyo pimpinan Isa Edris pada September 1945. Dari tempat inilah pejuang kita dapat tank dan panser buat perang melawan Inggris," ujar Ady.
Ady menambahkan, Gedung Lindeteves tak hanya sekadar kantor. Akan tetapi juga stok barang terutama peralatan drainase, pipa besar dan sebagainya.
Dalam jurnal Universitas Widya Kartika Surabaya disebutkan kalau gedung Lindeteves ini berbeda dengan bangunan asli kolonial Belanda pada umumnya terutama yang berada di Belanda.
Faktor iklim menjadi pertimbangan para arsitek Belanda. Hal itu terutama dari perbedaan wajah bangunan atau facade. Selain itu juga dari budaya, material dan cerminan identitas Belanda. Kalau di Indonesia, material yang dominan dipakai yaitu beton, sedangkan di Belanda memakai kayu.
Meski sudah berusia sekitar 108 tahun, gedung Lindeteves masih dipakai oleh Bank Mandiri. Bangunan ini masuk dalam cagar budaya sesuai SK Walikota Nomor 188.45/251/402.104/1996 dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya.
Â
Â
*** Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Cosman Citroen, Arsitek Belanda yang Karyanya Mewarnai Surabaya
Sebelumnya, setiap bangunan memiliki cerita tersendiri, menjadi saksi sejarah yang jujur. Demikian juga bangunan-bangunan bersejarah di Surabaya, Jawa Timur.
Kota Pahlawan ini memang kaya akan bangunan sejarah yang bertahan hingga sekarang. Sekitar ratusan bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang jadi cagar budaya. Â
Dari sejumlah bangunan tersebut, karya arsitek Belanda ini mendominasi di Surabaya. Arsitek Belanda itu bernama G.Cosman Citroen. Sejumlah karya Citroen masih dinikmati oleh warga Surabaya hingga kini. Sebut saja salah satu karya utama Citroen Balai Kota Surabaya.
Pria kelahiran 26 Agustus 1881 ini anak dari pemotong berlian di Amsterdam, Levie Citroen dan Sara Levie Coltof. Mengutip berbagai sumber, Citroen merupakan generasi kedua para arsitek Belanda yang datang ke Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan pada bangunan di Rijknormaalschool, Amsterdam. Pada 1902-1915, ia bekerja di biro arsitek B.J Quendaq di Amsterdam.
Sebelum 1900, arsitektur zaman penjajahan Belanda di Surabaya memiliki mutu kurang karena tidak ada arsitek profesional yang berpendidikan berpraktik di Indonesia. Demikian mengutip dari petra.ac.id. Gaya arsitektur Belanda sebelum tahun 1900 sering disebut gaya imperial yang dipopulerkan Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang memerintah pada 1808-1811.
Para arsitek Belanda yang berpendidikan akademis mulai datang ke Indonesia setelah tahun 1900. Pada generasi pertama, arsitek Belanda di Surabaya menerapkan gaya bangunan arsitektur Belanda saat itu dengan mencoba beradaptasi dengan iklim di Surabaya. Ini ditunjukkan dengan penggunaan tower pada pintu masuk dan tempat strategis lainnya.
Pada 1914, gaya arsitektur di Surabaya mengalami perubahan dengan kehadiran arsitek muda generasi kedua, termasuk Citroen. Kantor arsitek tempat ia bekerja yang membawa dia datang ke Indonesia untuk terlibat dalam perancangan bangunan di Indonesia.
Â
Advertisement
Citroen Menetap di Surabaya
Citroen pun pindah dan menetap di Surabaya pada 1915 setelah bekerja selama 13 tahun di kantor B.J Quendag. Kepindahan Citroen tersebut juga berhubungan dengan rencana pembangunan Balaikota Surabaya. Gemeentee atau kotamadya Surabaya didirikan pada 1 April 1906. Sejak berdiri pada 1905-1925, Surabaya belum memiliki gedung sendiri.
Citroen pun pertama kali merancang bangunan Balaikota Surabaya pada 1915-1917. Karena masalah biaya dan lainnya, rancangan bangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Kemudian pada 1920, ia merancang bangunan Balaikota Surabaya tahap kedua. Pembangunan balaikota itu selesai 1925.
Balaikota Surabaya memiliki panjang 102 meter dan kedalamannya 19 meter. Citroen membangun gedung tersebut dengan menggabungkan gaya arsitektur Belanda dan disesuaikan dengan iklim Surabaya.
Rancangan Balaikota Surabaya ini merupakan karya utama Citroen di Surabaya. Namun, tak hanya Balaikota Surabaya saja yang menjadi karya Citroen. Ia membangun sejumlah bangunan mulai dari rumah tinggal, jembatan, serta rumah sakit.
Sejumlah karya bangunan Citroen di Surabaya antara lain perombakan bekas gedung Societeit Concordia pada 1917-1918, rumah tinggal di Jalan Sumatra pada 1918, Rumah Sakit Darmo pada 1919, dan perbaikan gedung Suiersundicaat pada 1925. Lalu ada membangun rumah dinas Wali Kota Surabaya pada 1927, interior Balaikota Malang, Christ Church di Jalan Diponegoro, Surabaya dan rumah tinggal di Jalan Kayoon, Surabaya.
Ia juga merancang sejumlah jembatan besar di Surabaya antara lain Jembatan Kayu Kebon Dalem pada 1918, dan sudah dibongkar serta diganti dengan jembatan beton. Kemudian Jembatan Gubeng pada 1923 dan Jembatan Wonokromo pada 1932. Selain itu, viaduct kereta api di Jalan Pahlawan pada 1933.
Salah satu karya terakhir Citroen dan terkenal yaitu gedung kantor dari perusahaan Borneo Smatra Maatschappij di Jalan Veteran Surabaya. Citroen meninggal dunia pada 1935, dan dimakamkan di Surabaya, Jawa Timur.
Â