Sukses

Kisah Pemoeda Poetri Republik Indonesia Rebut Kemerdekaan di Surabaya

Pemoeda Poetri Republik Indonesia (PPRI) merupakan bukti nyata Perempuan Indonesia di Surabaya, yang berperan sangat penting di garis depan dan belakang dalam pertempuran merebut kemerdekaan Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Pemoeda Poetri Republik Indonesia (PPRI) adalah organisasi kelasykaran bersifat kemiliteran. PPRI merupakan bukti nyata Perempuan Indonesia di Surabaya, yang berperan sangat penting di garis depan serta di garis belakang dalam pertempuran Surabaya 1945.

Ketika para pemuda melawan penjajah di Surabaya, para emak-emak maupun pemudi yang tergabung dalam PPRI, ikut berperang. Di garis depan, para pemudi mengangkat senjata dan menjadi caraka (kurir) canggih yang tak terendus militer Belanda.

Di garis belakang, emak-emak berkutat di dapur umum, menyiapkan logistik bagi prajurit dan pejuang Indonesia. Ketua atau koordinator dapur umum serta pengoperasian P3K bagi para pejuang yang terluka, dipegang oleh para perempuan PPRI.

Kegiatan PPRI sejatinya memang diarahkan untuk membantu prajurit dan pejuang Indonesia, yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di garis depan. Tenaga para perempuan PPRI ini meski kebanyakan terutama berkutat di bidang kesehatan pejuang, dan dapur umum, serta membantu para pengungsi perang.

Namun, sedikit yang mencatat jasanya dalam pengiriman dokumen rahasia, kurir informasi, hingga sabotase terhadap pasukan musuh. Peran PPRI sangat vital. Tanpa emak-emak dan pemudi PPRI, mustahil perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dapat berhasil.

Bu Mortir dan Pengiriman Logistik Perang

Dariyah, tak pernah lepas dari susur sirih yang bertengger di bibirnya. Maka ia punya nama beken “Bu Mortir”, karena susurnya bisa bertindak sebagai ‘mortir’ yang ia timpukkan ke siapapun, jika ia sedang marah atau kesal. Namun bukan ‘susur Bu Mortir’ yang menjadikan perempuan pemberani ini layak dihormati. Melainkan, karena dia pencetus inisiatif untuk menyelenggarakan dapur umum, saat perang Surabaya 1945.

Sebelum pertempuran Surabaya pecah pada awal November 1945, pada waktu itu, yang sulit didapat adalah beras. Dariyah mendatangi Doel Arnowo ketua Komite Nasional Indonesia (KNI). Bu Mortir ini minta izin agar bisa mendapatkan beras yang disimpan di gudang Kalimas.

Permintaan itu dipenuhi, bahkan mendapat bantuan dari Polisi Istimewa. Terbukanya gudang-gudang pembekalan militer yang berada di daerah Kalimas dan Tanjung Perak, memungkinkan bahan baku itu tiba di titik-titik tertentu daerah, meski distribusinya dilakukan secara ketat.

Setelah beras didapat, Bu Mortir bersama teman-temannya, yakni para kaum wanita, baik emak-emak maupun pemudinya, tergugah untuk menyelenggarakan dapur umum, seperti seruan pimpinan Pemoeda Poetri Repoeblik Indonesia alias PPRI, yang dimuat dalam “Soeara Rakyat” edisi 24 Oktober 1945.

Bu Mortir yang merupakan anggota PPRI, mulai mendirikan Dapur Umum Ngemplak Gentengkali. Di luar organisasi PPRI, kegiatan kaum wanita tercatat sebagai tenaga bantuan logistik, kesehatan dan menolong pengungsi. Antara lain melalui didirikannya Pos P3K dan dapur umum PPRI dalam kota Surabaya, yakni di Jalan Kempemen dengan penanggung jawab Sri Mantuni, Mulyaningsih, dan kawan-kawan.

Ada juga di jalan Plampitan, di kantor Asuransi Bumi Putera 1912, yang koordinatornya adalah Isbandiyah dan Piet Isnaeni. Di jalan Kedungsari, personalianya adalah Mujiati, Musrini, Fatimah, Umiyati, Salmah, dan Sukarti. Sedangkan di jalan Embong Sawo yang merupakan pos induk, dipercayakan pada Lukitaningsih. Ia dibantu Sutiyem, Siti Chatijah.

Pada masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berusia belum 100 hari, hidup susah dan bau mesiu ternyata mempersatukan rakyat Surabaya. Para perempuan pejuang di garis belakang ini, memasak bergiliran, membagikan makanan, yang lengkap dengan minuman dan rokok gratis, untuk para pejuang Indonesia.

Baik untuk pasukan yang mau berangkat, ataupun yang baru pulang bertempur. Kiriman makanan dari luar daerah pun, disalurkan ke front-front terdepan melalui dapur-dapur umum tersebut.

Para emak dan pemudi-pemudi berperan besar dalam pengiriman logistik maupun pengiriman dokumen dan informasi, ke tengah-tengah pertempuran Surabaya.

Tanpa kurir besek itu, semua makanan tersebut akan mubazir, basi atau membusuk di dapur umum, sebelum sempat dimakan para pejuang. Dari dapur umum, makanan tersebut dikirim ke garis depan pertempuran, menggunakan besek alias keranjang anyaman bambu, yang dititipkan melalui kereta api.

Tak heran jika saat itu, hampir semua stasiun kereta api penuh makanan dalam besek. Semakin dekat kereta api menuju stasiun Surabaya, makin penuhlah titipan makanan bagi para pejuang. Hebatnya, tak ada seorang pun kepala stasiun yang sampai hati menolak mengangkut titipan ratusan besek itu, meski semua gerbong telah penuh sesak.

Sayangnya, setelah pecah peristiwa 10 November, keadaan Surabaya semakin gawat. Logistik spontan khas sinoman Surabaya ini, tidak dapat berlanjut. (Kedaulatan Rakyat, 28 November 1945). Lalu bagaimana cara pejuang makan untuk energi bertempur?

Pimpinan Pertahanan Kota pun mencari cara agar sistem dapur umum ini bisa bertahan. Kemudian atas anjuran Bung Tomo, dilakukan pengiriman dalam bentuk mentah, untuk kemudian dimasak di dapur-dapur setempat, yang dikoordinasi oleh M.A Prangko Prawirokusumo. (Ima H.N., 1992: 66).

Dapur umum induk ada di Jalan Pregolan yang tidak jauh dari Markas BKR Kaliasin. Dapur umum ini aktif bekerja, tenaganya antara lain R.S. Supandhan, Sudjono, Musaleh, Subekti, Suhari. Dapur umum ini melayani hampir seluruh kota dalam bentuk bahan mentah dan makanan matang, sesuai dengan struktur BKR di segenap kawasan kota yang menjadi tanggung jawabnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Belanda Meremehkan Kekuatan Emak-emak

Pasukan prajurit Belanda menganggap remeh perempuan Indonesia, yang dianggap tak bersekolah dan hanya obyek dalam pertempuran. Mereka tak menyangka, emak-emak dan pemudi Indonesia adalah prajurit bernyali baja dan terlatih, dalam tampilan kebaya dan jarik bersahaja.

Semua bermula sejak pemerintahan militer Jepang bercokol di Indonesia pada 1942, dua tahun kemudian pemerintah Jepang melakukan pelatihan terhadap para pemuda putri, dalam barisan Joshi Seinen Shuishintai (Barisan Pelopor Wanita).

Badan ini didirikan pada 11 November 1944, sebagai wadah bagi para perempuan muda untuk terjun ke medan perang dalam membantu kaum pria. Seperti juga PETA, Heiho, dan sebagainya, para pemuda putri ini diberikan pendidikan kemiliteran ala Jepang.

Satu contohnya adalah kelompok Supiyah yang giat di bidang kesejahteraan di Markas Besar PRI di Sociteit Simpang. Ada juga kelompok Yetty Zein di bidang sosial-politik di staf Kementerian Pertahanan di gedung HVA. Tugasnya sebagai sekretaris, juru bahasa merangkap sebagai penghubung PRI, BKR, dan PPRI.

Anggota PPRI tenaganya sangat diperlukan, antara lain oleh Dokter Mustopo, dalam menghadapi tentara Jepang dan militer sekutu. Anggota PPRI juga membantu Markas Besar PRI dan Cologne kelima, sebagai caraka dan penyelidik dalam tugas membantu TKR. Para perempuan pemberani ini, menyusup sebagai mata- mata di daerah musuh dan daerah pertempuran. Mereka antara lain: Lukitaningsih, Tuty Amisutin, Sutiyem, dan Siti Chatijah.

Kader-kader yang digembleng di Jakarta maupun Surabaya, dengan motto “Merdeka atau Mati”, sejak awal bergerak melawan Jepang dan secara spontan didukung oleh rakyat dan pemuda-pemudi. Banyak dari mereka yang langsung bergabung di markas- markas perjuangan seperti BKR, TKR, BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia), Hisbullah, dan lain-lain. (Ima H.N., 1992: 64).

Untuk memperbanyak kekuatannya, Pimpinan PPRI mengeluarkan maklumat sebagai berikut: “Kepada segenap pemoedi pentjinta tanah air yang berhasrat di dalam pembelaan harap mendftarkan diri di: Djalan Embong Sawo No. 14 Surabaya oentoek masoek asrama jang yang diadakan di masing-masing Kawedanan (Shikoe).

Pendaftaran dimoelai tanggal 23-10-1945 sampai 30-10-1945 pada tiap- tiap hari, peokoel 9 sampai 3 siang. Peladjar, pekerdja dan pemoedi gaboengan oemoer 17 sampai 25 (beloem kawin) diperkenankan masoek dan mengikoeti gerakan ini.”

Rakyat Memakai Baju Goni, tapi Jepang Malah Punya Gudang Pakaian

Suatu hari, keadaan Surabaya sangat genting. Di bawah hujan bom tentara sekutu ke bumi Surabaya, sisa anggota dari PPRI yang tersebar, bergabung. Mereka berupaya menolong para korban yang jatuh di sekitar pos-pos, dengan membawa obat-obatan dari CBZ (RSUP) dan Red Cross (PMI). Mereka juga berupaya mengangkut korban ke Rumah sakit di Sepanjang dan Sidoarjo dan pos-pos P3K, juga ke PMI di luar kota Surabaya.

Sambil menolong korban, sebagian anggota juga sembari menyalurkan makanan sumbangan masyarakat luar kota, melalui stasiun Wonokromo ke garis depan. (Blegoh Sumarto, 1986: 91). Selain itu, juga menyalurkan pakaian dari timbunan gudang-gudang Jepang.

Soal gudang pakaian timbunan Jepang ini, ditemukan oleh para pemuda dan pengungsi. Sebelum dibumihanguskan, mereka ambil dulu seisi gudang tersebut, demi kepentingan para pejuang di front depan.

Dalam gudang Jepang ternyata menumpuk bahan kain untuk pakaian. Mengingat selama ini banyak rakyat Indonesia yang hanya memakai baju berbahan goni, dengan penuh amarah para pemuda-pemudi mengangkut bahan-bahan pakaian tersebut ke Mojokerto. Mereka adalah anggota PPRI yang akan meninggalkan pos terakhir, tak jauh lokasinya dari Markas TKR jalan Embong Sawo.

Bertruk-truk tekstil dan berpeti-petinbarang lainnya dari dalam gudang, dibawa ke Mojokerto atas prakarsa Siswoyo sebagai pejabat DKA (Djawatan Kereta Api) Mojokerto. Barang-barang tersebut kemudian disimpan di stasiun Mojokerto. Di antaranya terdapat peti besar, yang ternyata berisi uang J.B (Javase Bank), mata uang Belanda. Peti berisi uang tersebut  diserahkan ke BRI Mojokerto, sebagai bank pemerintah yang ada saat itu.