Sukses

Sejarah Hari Pahlawan, Mengenang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Setiap 10 November diperingati Hari Pahlawan. Hari Pahlawan tersebut untuk mengingatkan pertempuran Surabaya yang terjadi pada 1945.

Liputan6.com, Jakarta - Setiap 10 November diperingati Hari Pahlawan. Hari Pahlawan tersebut untuk mengingatkan pertempuran Surabaya yang terjadi pada 1945.

Peristiwa ini diawali oleh insiden perobekan Bendera Merah-Putih-Biru di atap Hotel Yamato pada 19 September 1945. Kemudian Presiden Sukarno memerintahkan gencatan senjata pada 29 Oktober 1945. Lalu pertempuran kembali pecah pada 30 Oktober 1945. Saat itu, rakyat Surabaya bersama para pejuang bertempur melawan tentara Inggris.

Pada pertempuran Surabaya, jumlah kekuatan yang dibawa tentara sekutu sekitar 15.000 pasukan. Dalam pertempuran Surabaya itu pun, sekitar 6.000 rakyat Indonesia yang gugur. Pertempuran tersebut terjadi selama tiga minggu.

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 itu pun ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 pada 16 Desember 1959.

Keputusan itu ditetapkan oleh Presien Sukarno. Ketika itu, Sukarno menetapkan hari nasional bukan hari libur, salah satunya Hari Pahlawan pada 10 November. Hal itu seperti disampaikan Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Purnawan Basundoro. "Ini berkaitan dengan pertempuran 10 November," ujar Purnawan saat dihubungi Liputan6.com, Senin (11/11/2019).

Purnawan menuturkan, pertempuran 10 November begitu besar karena bukan hanya melibatkan angkatan bersenjata tetapi rakyat Surabaya. Padahal rakyat Surabaya ketika itu minim senjata. Rakyat Surabaya hanya bermodalkan senjata minim dengan berani bersama tentara melawan tentara sekutu dan Belanda.

"Masyarakat Surabaya selalu terkenang itu (Pertempuran 10 November). Sebelum ditetapkan Hari Pahlawan, pada 10 November ada arak-arakan. Presiden Sukarno pun menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan," kata dia.

Pertempuan ini dipicu oleh sejumlah hal. Melansir dari buku Bung Tomo, Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempor 10 November karya Abdul Waid, peristiwa bermula setelah terjadinya kekalahan pihak Jepang, kemudian rakyat dan pejuang Indonesia berupaya keras mendesak para tentara Jepang untuk menyerahkan semua senjatanya kepada Indonesia.

Dari sini muncul banyak pertempuran di berbagai daerah. Pertempuran tersebut memakan korban jiawa yang tidak terhitung jumlahnya. Selain itu para pemimpin militer Jepang sebenarnya diddesak untuk menyerahkan senjatanya dengan sukarela dalam perundingan cukup lamban dan melelahkan.

Pada saat gerakan melucuti senjata Jepang, tentara Inggris mendarat di Jakarta pada 15 September 1945. Tentara Inggris juga mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945.

Menteri Penerangan Amir Syarifuddin menginformasikan kalau kedatangan tentara sekutu ke Surabaya tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan nama Blok Sekutu.

Kedatangannya untuk mengangkut orang Jepang yang sudah kalah perang serta para orang asing yang ditawan pada zaman Jepang. Menteri berpesan agar pemerintah daerah di Surabaya menerima baik dan membantu tugas tentara sekutu tersebut.

Akan tetapi, rakyat Surabaya tidak percaya begitu saja mengenai yang diinformasikan Amir Syarifuddin. Bung Tomo termasuk orang pertama yang tidak percaya terhadap apa yang disampaikan oleh pemerintah pusat melalui Amir Syarifuddin.

Kecurigaan Bung Tomo dan kawan-kawannya itu bukan tanpa alasan. Lantaran, sebelum Kolonel P.J.G Huijer, perwira tentara sekutu berkebangsaan Belanda yang datang di Surabaya pertama kali pada 23 September sebagai utusan Laksamana Pertama Patterson, Pimpinan Angkatan Laut Sekutu di Asia Tenggara, ternyata membawa misi rahasia dari pimpinan tertinggi Angkatan Laut Kerajaan Belanda.

Di Surabaya, Huijer menentang revolusi yang dikobarkan pejuang Indonesia. Sikap Huijer memancing kemarahan para pejuang di Surabaya. Huijer ditangkap dan ditawan oleh aparat keamanan Indonesia di Kalisosok.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 4 halaman

Ajak Berunding

Menjelang kedatangan tentara Inggris di Surabaya, Drg Moesopo yang pada saat telah mengangkat diri menjadi Menteri Pertahanan RI, mengajak kepada seluruh rakyat Surabaya untuk bersiap-siap perang dengan pasukan Inggris.

Namun, ternyata tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan itu. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Tak lama berselang setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, Surabaya, dua orang perwira staf Mallaby (Komandan Kerajaan Inggris) menemui Gubernur Soerjo.

Dua orang perwira staf Mallaby itu bermaksud mengajak Gubernur Soerjo dan seorang wakil BKR untuk berunding dengan Mallaby. Perundingan itu akan diadakan di kapal. Gubernur Soerjo menolak undangan Mallaby karena sebagai pejabat baru, Soerjo sedang memimpin rapat kerja pertama.

Drg Moesopo pun mendapatkan mandat, pimpinan BKR untuk berunding dengan Inggris dan bertindak atas nama pemerintah Jawa Timur. Pertemuan Mallaby dengan Moestopo yang didampingi oleh dr Soegiri, pejuang Surabaya sangat aktif, Moh. Jasin pimpinan polisi istimewa serta Bung Tomo belum hasilkan kesepakatan.

Dalam perundingan menempuh jalan buntu, Bung Tomo adalah orang paling menolak semua keinginan Mallaby. Akhirnya, perundingan dilakukan pada 26 Oktober yang bertempat di Gedung Kayoon ex Gedung Konsulat Inggris.

Bung Tomo juga ikut dalam pertemuan itu. Selain itu, hadir juga Residen Sudirman, Ketua KNI Doel Arnowo, wali kota Radjamin Nasution dan HR Mohammad Mangundiprojo dari TKR.

Pertemuan itu akhirnya menghasilkan kesepakatan, dalam pasukan Inggris yang mendarat tidak disusupi pasukan Belanda tercapai bekerja sama Indonesia-Tentara Sekutu dengan membentuk Kontact Bureau, yang akan dilucuti senjatanya hanya Jepang saja. Sedangkan pengawasan dipegang oleh tentara sekutu, dan selanjutnya tentara Jepang itu akan dipindahkan ke luar Jawa.

Namun, Bung Tomo tetap tidak percaya begitu saja terhadap sekutu. Bung Tomo mencium Sekutu akan ingkari hasil perundingan.

Selain itu, Inggris ternyata juga menduduki sejumlah tempat strategis di luar perjanjian. Misalkan di lapangan terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik Gemblongan, kantor pos besardan gedung studio radio di Simpangan. Tindakan Inggris itu dianggap kurang ajar oleh Bung Tomo karena tidak sesuai perjanjian.

Tak hanya itu, Inggris juga menangkap Moestopo dan dipaksa menunjukkan di mana Kolonel PG Huijer ditawan.Pasukan Inggris juga menyerbu penjara Kalisosok dan membebaskan orang Belanda yang sempat ditawan pejuang kemerdekaan.

Tentara Inggris mulai menunjukkan ketidakpatuhan pada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Pada 27 Oktober, menuntut dan mengancam semua rakyat Surabaya agar menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan perang kepada Inggris.

3 dari 4 halaman

Brigjen Mallaby Tewas Jadi Salah Satu Pemicu

Bung Tomo, Residen Sudirman dan Moestopo geram dengan sikap Inggris itu. Akhirnya memperingatkan Brigjen Mallaby kalau tuntutan Inggris itu bertentangan dengan perjanjian yang telah disetujui sebelumnya.

Brigjen Mallaby tidak menghiraukan hal tersebut. Bahkan Mallaby menuturkan, kalau ia akan tunduk para perintah atasan. Akhirnya, suasana panas Surabaya mencapai klimaksnya pada 28 Oktober 1945.

Pada hari itu, sekitar jam 17.00, Bung Tomo mengajak semua rakyat Surabaya untuk merapatkan barisan untuk mengambil tindakan tegas terhadap Inggris. Akhirnya, Bung Tomo mengadakan pertemuan antara sejumlah pimpinan pasukan BKR dan pemimpin Badan Perjuangan Bersenjata di Maskar Pertahanan JL. Mawar 10, markas dan sekaligus tempat Studio Radio Pemberontakan Bung Tomo. Lewat siaran radio, Soemarsono mengumumkan rencana penyerangan terhadap tentara Inggris.Bung Tomo juga berpidato dengan nada keras, tgas dan mampu mengobarkan semangat juang rakyat Surabaya.

Singkat cerita selama proses pertempuran pada 30 Oktober 1945, akhirnya Brigjen Mallaby tewas. Ia meninggal ketika menumpang mobil Buick hendak melewati Jembatan Merah dan dicegat para milisi Indonesia. Terjadi baku tembak yang tidak bisa dihindari.Kematian Brigjen Mallaby ini menjadi awal mula terjadinya peperangan yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.

Insiden itu memaksa Letnan Jenderal Christianson, komandan pasukan sekutu di AFNEI memberikan peringatan keras terhadap Indonesia, terutama pejuang yang ada di Surabaya.

Letnan Jenderal Christinson mengirimkan seluruh divisi infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya di bawah pimpinan Mayor Jenderal Manserg. Jumlah kekuatan yang dibawa sekitar 15 ribu pasukan.

Mansergh mengeluarkan ultimatum agar seluruh senjata di serahkan sebelum jam 06.00. Bahkan ultimatum itu juga menyebut dalam waktu satu hari, Surabaya harus diserahkan kepada pihak Inggris. Ultimatum juga meminta orang-orang di Indonesia di Surabaya harus bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby. Ultimatum disebarkan melalui udara ke seluruh kota. Manserg juga memberi peringatan keras kalau anak-anak dan wanita harus sudah meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 malam serta memberi ancaman.

Bila ultimatum tidak dipatuhi oleh rakyat Surabaya, Inggris akan menyerang Surabaya pada 10 November dari darat, laut dan udara.

4 dari 4 halaman

Pertempuran Surabaya

Keluarnya ultimatum itu membuat para pemimpin Surabaya segera hubungi pemerintah pusat di Jakarta. Para pemimpin Surabaya termasuk Bung Tomo meminta keputusan kepada Soekarno mengenai apa yang harus dilakukan berkaitan dengan ultimatum Mansergh.

Kali ini Jakarta hanya diam. Soekarno dan Menteri Luar Negeri Soebardjo hanya menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada seluruh rakyat Surabaya.

Bung Tomo, pimpinan BPRI membangkitkan semangat seluruh rakyat Surabaya untuk melawan pasukan Inggris dan NICA. Bung Tomo mengajak semua elemen di Surabaya untuk menyatukan tekad bulat. Oleh karena itu, pada jam 6 sore, elemen TKR dan pemuda teken “Soempah Kebulatan Tekad” .

Setelah diskusi panjang lebar Bung Tomo mengusulkan agar dilakukan perlawanan terhadap pihak tentara sekutu. Bung Tomo mengajak semua pihak di Surabaya terlibat dalam perlawanan itu. Keputusan ditindaklanjuti oleh Gubernur Soerjo. Pada jam 23.00,  Soerjo mengumumkan melalui siaran radio seluruh rakyat Surabaya akan melawan para tentara sekutu sampai mati.

Seruan pidato Bung Tomo lebih dari cukup membakar semangat rakyat Surabaya melawan tentara sekutu. Rakyat Surabaya sebenarnya cinta damai tetapi mereka lebih cinta kemerdekaan.

Dengan semangat membara, rakyat Surabaya berperang melawan tentara sekutu. Hanya dengan berbekal persenjataan yang direbut tentara Jepang, mereka hadapi gabungan tentara sekutu.

Beberapa petikan pidato Bung Tomo yang membakar semangat rakyat Surabaya.

“Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia. Hai Inggris, selama banteng-banteng, pemuda-pemuda Indonesai masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan menyerah.”

“Teman-temanku seperjuangan, terutama pemuda-pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak,”