Sukses

Dosen ITS Ini Ciptakan Bata Tanah Padat Ramah Lingkungan

Melihat kualitas bata merah semakin menurun di Indonesia dan penggunaan energi untuk pembakaran yang berlebihan saat pembuatan bata merah, menimbulkan keprihatinan bagi dosen ITS ini.

Liputan6.com, Surabaya - Melihat kualitas bata merah semakin menurun di Indonesia saat ini dan penggunaan energi untuk pembakaran yang berlebihan saat pembuatan bata merah, menimbulkan keprihatinan bagi Dr Vincentius Totok Noerwasito, Dosen Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Dari keprihatinan tersebut, ia meneliti untuk meraih gelar guru besar di ITS yang akan dikukuhkan secara resmi pada Senin, 18 November 2019.

Hasil penelitian yang akan disampaikan dalam orasi ilmiahnya berjudul Bata Tanah Padat sebagai Solusi Peningkatan Kualitas Bata Merah di Indonesia tersebut, diharapkan memberikan solusi agar bata di Indonesia bisa menjadi berkualitas kembali dengan proses yang ramah lingkungan. Karena tidak memerlukan pembakaran dengan energi yang berlebih seperti pada proses pembuatan bata merah biasanya.

Totok, panggilan akrabnya, mengawali penelitannya sejak tahun 2000-an hingga menjadi karyanya sekarang ini. Ia merasa sangat prihatin akan kualitas bata merah saat ini, yang mana dulunya bata merah pernah mengalami kejayaan di masa Kerajaan Majapahit.

"Waktu itu, bata merah diaplikasikan pada bangunan candi-candi besar yang masih berdiri hingga sekarang," ungkap lelaki kelahiran Surabaya, 1 Desember 1955 ini, Jumat (15/11/2019). 

Totok menuturkan, dengan proses hampir sama seperti bata merah, untuk membuat bata tanah padat yang pertama dibutuhkan adalah pasir dengan kandungan minimal 40 persen. Lalu bahan perekat semen dan kapur dicampurkan pada kondisi kering.

"Ketika campuran masih dalam kondisi lembab dicetak dengan pemadatan, lalu pengeringannya juga dalam kondisi lembab tanpa sinar matahari," papar suami dari Lintang Trenggonowati tersebut.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Proses Pembuatan Tidak Dibakar

Alumni sarjana Arsitektur ITS ini mengungkapkan, dirinya juga ingin mewujudkan tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) energi bersih dan terjangkau. Dengan proses pembakaran yang digunakan pada bata merah, akan mengeluarkan energi yang besar. Melalui penelitian bata tanah padatnya ini, proses pembuatannya tidak dibakar dan tidak menggunakan tanah yang spesifik.

"Tanah apapun bisa, tidak tergantung pada iklim di tempat-tempat tertentu, juga dapat dibentuk sesuai keingingan user," imbuhnya.

Dia menuturkan, peraih gelar master dan doktoral dari ITS ini, bata tanah padat karyanya tersebut juga bisa digunakan sebagai dinding bangunan. Yakni dengan memanfaatkan dan mengombinasikan dari berbagai macam bahan mulai dari lumpur Sidoarjo, tanah dan bambu, limbah kertas, dan kalsium silikat yang berperan sebagai finishing dan plesteran pada dinding.

"Pengembangan penelitian ini tidak akan ada habisnya, karena penelitian bata padat ini juga bisa dilakukan dengan mencampur bahan limbah lainnya, seperti akhir-akhir ini digunakan serbuk kayu juga," beber Totok.

Totok mengatakan, ini adalah kesempatan untuk melakukan riset yang mendalam. Karena salah satu bahan bangunan lokal berupa bata tanah padat ini mempunyai potensi besar untuk pengembangan arsitektur Indonesia yang pernah mempunyai kehebatan di mata dunia yakni Candi Borobudur, Candi Prambanan dan masih banyak lagi.

"Memanfaatkan fungsi lokal teknologi dan konsep arsitektur saat ini, akan membangkitkan jati diri kebangkitan arsitektur Nusantara," pungkasnya.