Sukses

Unesa Kukuhkan Tiga Guru Besar pada 2019

Menurut Rektor Unesa, Prof. Dr. Nurhasan, M.Kes., pengukuhan guru besar pada 2019 adalah pengukuhan yang ditunggu-tunggu di Unesa.

Liputan6.com, Surabaya - Universitas Negeri Surabaya (Unesa) akhirnya mengukuhkan tiga guru besar yang berasal dari fakultas yang sama yaitu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Guru Besar Universitas Negeri Surabaya tersebut antara lain Prof. Dr. Erman, M.Pd., sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan IPA, Prof. Dr. Tatag Yuli Eko Siswono, M.Pd., sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pembelajaran Matematika Sekolah, dan Prof. Dr. Wasis, M.Si., sebagai Guru Besar Bidang Evaluasi Pendidikan IPA-Fisika.

Menurut Rektor Unesa, Prof. Dr. Nurhasan, M.Kes., pengukuhan guru besar pada 2019 adalah pengukuhan yang ditunggu-tunggu di Unesa. Lantaran sudah dua tahun ini Unesa belum mengukuhkan guru besar, dan kali ini Unesa kembali mengukuhkan guru besarnya. 

"Sejak 2017 kita belum bisa menambah guru besar. Berdasarkan data kepegawaian, saat ini Unesa memiliki 59 guru besar. Saya berharap dan bermimpi Unesa akan dapat menambah jumlah guru besar, profesornya dari tahun ke tahun," tutur Nurhasan, Rabu (27/11/2019).

Ia menuturkan, bertambahnya tiga guru besar yang kebetulan berada di satu fakultas yang sama ini akan dapat mempercepat capaian Unesa di masa mendatang.

Ketiga guru besar yang dikukuhkan kemudian menyampaikan pidato ilmiahnya di hadapan tamu undangan. Erman dalam pidato ilmiahnya yang berjudul "Pembelajaran Berbasis Isu-Isu Makroskopik untuk Mencegah Salah Paham dan Promosi Literasi Sains" menyampaikan jika di era 4.0 ini sangat penting membekali siswa dalam mengolah informasi-informasi dari beragam sumber yang beredar di media sosial. 

Hal itu berkaitan dengan maraknya informasi sains yang sulit dipahami oleh masyarakat atau pemakai atau memang sengaja dibuat tanpa dasar (hoaks), sehingga perlu dilakukan pembelajaran yang berbasis makroskopik guna meningkatkan literasi sains siswa, khususnya pada aspek kemampuan menjelaskan isu-isu sains yang tersebar di lingkungan sekitar.

"Saya membedakan pembelajaran sains menjadi dua bagian, yaitu pembelajaran berbasis teks (textual) dan pembelajaran berbasis konteks (kontekstual). Pembelajaran berbasis tekstual hanya membantu siswa memahami sains sesuai dengan apa yang dimaksud oleh buku acuan atau penjelasan guru, sementara pembelajaran kontekstual berperan penting dalam melatih siswa mengatasi masalah-masalah otentik dalam batas-batas kapasitas berpikirnya," tutur dia. 

Sementara itu, dalam pidato ilmiahnya yang berjudul "Berpikir Kreatif dan Pengajuan Masalah Matematika", Tatag berbicara terkait bagaimana matematika bisa dijadikan sebagai ilmu yang mendorong kreativitas siswa. 

Diketahui jika melimpahnya jumlah penduduk produktif di Indonesia pada abad ini mengharuskan adanya pembekalan kemampuan berpikir kreatif, kemampuan berpikir kreatif merupakan tingkat tertinggi pada hirarki berpikir logis. 

Berpikir kreatif juga merupakan tema besar pendidikan abad ke-21 yang mana peserta didik nantinya akan merumuskan suatu masalah, kemudian mendiskusikannya. Selanjutnya guru akan membantu merefleksikan aktivitas yang sudah terjadi. 

Pada tahap inilah peran guru tidak bisa dihilangkan, sehingga guru perlu diberikan bekal pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik melalui pengembangan profesionalisme guru.

"Tugas mengembangkan kemampuan berpikir kreatif peserta didik tidak akan pernah selesai. Selama bumi masih dihuni manusia, dan manusia berusaha bertahan hidup dalam ekosistemnya, maka kemampuan berpikir kreatif masih tetap diperlukan," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Berbeda dengan kedua profesor sebelumnya, Guru Besar Bidang Evaluasi Pendidikan IPA-Fisika Wasis dalam pidato ilmiahnya yang berjudul "Meaning Assesment dalam Pembelajaran IPA-Fisika" berupaya mengeksplorasi respons terhadap pertanyaan-pertanyaan terkait penilaian, khususnya pada pembelajaran IPA-Fisika. 

Dia menuturkan, penilaian dalam pembelajaran IPA-Fisika mestinya tidak hanya terfokus pada mengukur penguasaan konsep-konsep atau rumus-rumus Fisika saja, melainkan bagaimana menggunakan pengetahuan dan keterampilan bidang Fisika untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata. 

Level pemahaman secara empiris terbukti “sehat” dan mampu bersaing secara internasional, tetapi penalaran dan penyelesaian masalah non rutin terdiagnosis ber”penyakit” dan obatnya adalah peningkatan kualitas pembelajaran di kelas disertai model penilaian yang bermakna.

"Perlu komitmen kita semua untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan penilaian IPA-Fisika. Menurut kepemimpinan sejati, beda pemimpin dan pemimpi hanya satu huruf, yaitu huruf “n”, dan huruf “n” tersebut ada dalam komitmen. Sebagus apa pun ide dan rencana, jika tanpa komitmen selamanya hanya akan menghasilkan pemimpin," ucapnya.