Sukses

Sepeda Terapi Karya ITS Bantu Pasien Jalani Perawatan Pascastroke

Kepala Lab P3 Teknik Mesin ITS Prof I Made Londen Batan menuturkan, terapi pascastroke merupakan bagian dari rangkaian perawatan penyakit stroke.

Liputan6.com, Surabaya - Perkembangan teknologi medis di Indonesia yang makin meningkat, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pun telah berupaya sejak lama mengawinkan riset teknologi dengan dunia medis. 

Kini giliran Laboratorium Perancangan dan Pengembangan Produk (P3) Teknik Mesin ITS memperkenalkan inovasinya berupa Sepeda Roda Tiga ITS (SeraITS) sebagai alat bantu terapi pasien pascastroke. 

Kepala Lab P3 Teknik Mesin ITS Prof I Made Londen Batan menuturkan, terapi pascastroke merupakan bagian dari rangkaian perawatan penyakit stroke. Menurut dia, alat bantu terapi fisik yang umum digunakan hingga saat ini bersifat statis seperti contohnya alat terapi treadmill, sepeda statis dan sepeda statis platinum. 

"Riset SeraITS hadir untuk memberikan alternative, di mana alat fisioterapi dapat berfungsi sekaligus sebagai alat mobilitas.Tentu dapat memberikan banyak manfaat yang tidak bisa dihasilkan alat bantu terapi statis," tuturnya usai FGD SeraITS di Auditorium lantai 6 Departemen Teknik Industri ITS, Kamis, 28 November 2019.

Sepeda yang telah diinisiasi sejak 2007 silam ini telah mengalami banyak perubahan. Londen, sapaan akrabnya, menerangkan desain pertama SeraITS yang dapat berjalan memiliki dua roda di bagian depan sepeda dan satu roda di bagian belakang. Setelah berbagai pengujian, desain SeraITS yang terakhir dengan dua roda di belakang dan satu roda di bagian depan menjadi desain yang paling optimal.

Menurut Londen, SeraITS sendiri sudah menjalani beberapa kali pengujian. Yang terbaru, pengujian dilakukan di Rumah Sakit Umum (RSU) Haji Surabaya pada tahun 2018 lalu. Adalah Rosadila Febritasari ST, mahasiswa Teknik Mesin ITS yang telah melakukan pengujian tersebut. Ia melakukan pengujian SeraITS yang kala itu menjadi penelitian untuk tugas akhirnya.

Perempuan yang akrab disapa Rosa ini menerangkan, butuh waktu sekitar sebulan baginya untuk menyelesaikan proses pembuatan sepeda. Sedangkan untuk pengujiannya, ia mencoba pada lima pasien stroke setengah (sebagian tubuh) yang sedang mengalami fase perawatan pascastroke di RSU Haji selama sebulan, setelah sebelumnya melakukan serangkaian prosedur persiapan. Ia mengujikan sebanyak tiga kali dalam satu minggu pada pasien. 

Hasilnya dari pengujian yang dilakukan, Rosa mendapati kemajuan dari pasiennya. Meski belum sembuh seratus persen, tapi ia mengatakan banyak kemajuan yang terjadi dari pasiennya. Bahkan ia mengatakan ada pasien yang sudah bisa berjalan setelah menjalani terapi yang diujikannya. 

Perempuan yang sekarang menempuh pendidikan S2 Teknik Mesin ITS ini juga mengatakan, versi SeraITS yang ia terapkan pada pasien memiliki beberapa peningkatan dari versi sebelumnya. 

Versi yang digunakan sekarang ini, menurutnya, lebih ergonomis dari versi sebelumnya. “Contohnya dari sisi pedal dan stang sepeda, kami buat agar pengguna lebih nyaman saat menggunakan," ungkapnya. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Media Rehabilitasi

Turut hadir dalam FGD tersebut, dokter spesialis saraf, dr Made Ayu Hariningsih S SpS MBiomed, yang mengatakan, sepeda ini berfungsi sebagai media rehabilitasi penyakit stroke. Ia menuturkan, dalam ilmu saraf, kerusakan saraf dalam otak sangat sulit diregenerasi. 

Namun, proses penyembuhan stroke dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kerja saraf yang normal. “Caranya adalah dengan melakukan latihan gerakan yang repetitif, seperti mengayuh sepeda,” paparnya.

Terkait pengujian pada pasien RSU Haji Surabaya, dr Rahayu Setianingsih SpKFR mengungkapkan bahwa sebenarnya RSU Haji memiliki alat serupa buatan Jerman. Yang menjadi perbedaan adalah alat tersebut bersifat statis, tidak seperti SeraITS yang dinamis. Ia juga mengaku, keberadaan pengujian SeraITS ini cukup membantu proses terapi pasien. 

Meski demikian, dua dokter tersebut memberikan beberapa masukan terkait pengembangan SeraITS ke depannya. Mengingat kebutuhan pasien pascastroke yang berbeda-beda, dr Made Ayu Hariningsih mengatakan, pengembangan sisi ergonomis perlu ditingkatkan lebih lanjut. Sedangkan dr Rahayu Setianingsih mengemukakan bahwa perlu ada penerapan teknologi lebih canggih dalam SeraITS, sehingga terapi dapat berjalan lebih menyenangkan.

Menanggapi hal tersebut, Londen mengatakan hal tersebut adalah tantangan baginya, terutama bagi mahasiswa yang mengembangkan. Terkait produksi masal, ia mengatakan berencana memproduksi masal SeraITS tahun depan. 

“Kami telah melengkapi prosedur kesehatan yang ada. Penggunaan SeraITS tetap memerlukan pendampingan tim medis,” tuturnya.