Liputan6.com, Jakarta - Berawal dari keinginan untuk mengatasi diskriminasi kepada penyandang disabilitas, Tutus Setiawan (39), penyandang tuna netra bersama rekannya membangun Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) di Surabaya.
Tutus menceritakan, penyandang disabilitas banyak mengalami diskriminasi. Hal itu mulai dari tidak dapat masuk sekolah regular, melamar pekerjaan yang sering ditolak hingga pembukaan rekening bank. Oleh karena itu, pria kelahiran Surabaya, 6 September 1980 terus memikirkan ide sehingga penyandang disabilitas juga memiliki kemampuan dan dianggap oleh lingkungannya.
Selain itu, Tutus menuturkan, awalnya membentuk LPT ini juga melihat dari gerakan penyandang disabilitas di kota lain yang sudah baik antara lain di Jakarta dan Bandung. Ia pun bersama teman kuliahnya berinisiatif membuat gerakan untuk penyandang disabilitas di Surabaya, Jawa Timur.
Advertisement
Baca Juga
Tutus bersama sekitar 10 orang temannya patungan untuk mendirikan LPT tersebut. Kini pengurus LPT tersebut Tutus dan tiga rekannya.
"Dirikan LPT sekitar 2000-2003, ketika masih kuliah. Mendirikan ini (LPT-red) karena disabilitas masih banyak alami diskriminasi. Kemudian perlu ide untuk akomodasi penyandang disabilitas terutama di Surabaya," ujar Tutus saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Kamis (5/12/2019).
Ia menuturkan, LPT ini sebuah wadah LSM untuk membantu disabilitas sehingga memiliki kemampuan, mandiri dan berkarya di tengah masyarakat. Dengan LPT memberikan pendidikan, pelatihan kepada disabilitas, orangtua dan masyarakat. "Sudah 500 disabilitas tuna netra, keluarga dan masyarakat (diberi pendampingan oleh LPT-red)," tutur dia.
Pria lulusan S2 dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini mengatakan, LPT memiliki tiga pos untuk menjalankan program antara lain pendidikan dan pelatihan, advokasi dan riset. Pertama, Pendidikan dan pelatihan diberikan terutama kepada penyandang tuna netra untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan. Tutus menuturkan, pendidikan dan pelatihan diberikan mulai dari workshop, pelatihan komputer, dan lainnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Selanjutnya
Kedua,advokasi. Tutus menambahkan, advokasi diberikan kepada penyandang disabilitas yang alami diskriminasi misalkan kesulitan untuk membuka rekening di bank dan mendapatkan pekerjaan. Tutus menuturkan, hingga kini belum ada titik temu dengan perusahaan yang ingin memberikan pekerjaan kepada penyandang disabilitas. "Dulu ada perusahaan yang mau menerima penyandang disabilitas tetapi akses ke perusahaan itu sulit sehingga tidak jadi," kata dia.
Ketiga, riset. Tutus menuturkan, LPT juga meneliti terutama fasilitas dan akses kepada penyandang disabilitas. Pada 2019, pihaknya menyusun sebuah draft berdasarkan survei yang dilakukan sejak 2015-2018. Dari hasil survei, Tutus mengatakan, fasilitas untuk penyandang disabilitas di Surabaya masih banyak kekurangan. Ahli dari ITS dan Universitas Petra menilai, fasilitas yang dibangun juga tak sesuai dengan peraturan Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 14 Tahun 2017 tentang persyaratan kemudahan bangunan gedung.
"Tidak ada standar yang dibangun. Jalur pedestrian juga tidak ditertibkan," kata dia.
Selain itu, Tutus juga menyoroti Surabaya sebagai kota inklusi termasuk pendidikannya. Akan tetapi, saat ini belum ada payung hukum untuk menerapkan hal tersebut terutama sekolah inklusi. Jadi bila ada perubahan kepemimpinan di Pemerintah Kota Surabaya, kebijakan tersebut juga dapat berubah.
"Kebijakan sudah bagus tetapi tidak ada payung hukum jadi tidak tahu keberlangsungan kebijakan hingga kapan," ujar dia.
Oleh karena itu, draft yang sudah disusun diharapkan dapat diterima pemerintah kota Surabaya. Tutus ingin draft tersebut sebagai masukan kepada pemerintah kota Surabaya untuk memberikan fasilitas publik kepada penyandang disabilitas yang sesuai ketentuan.
Â
Advertisement