Liputan6.com, Surabaya - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat realisasi biaya manfaat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tertinggi dipegang oleh Surabaya. Realisasi biaya manfaat program JKN di Surabaya mencapai Rp 3,1 triliun.
Selanjutnya realisasi biaya manfaat di Malang mencapai Rp 2,3 triliun, Kediri Rp 1 triliun. Sedangkan yang terendah di Pamekasan mencapai Rp 553 miliar, Tulungagung Rp 499 miliar dan Bojonegoro sebesar Rp 483 miliar.
Deputi Direksi Wilayah BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah Jawa Timur, Handaryo menyampaikan, realisasi biaya manfaat Jatim untuk program JKN sebesar Rp 14,1 triliun hingga November 2019.
Advertisement
"Nilai ini naik dari tahun lalu, tahun lalu Rp 13,2 triliun," tutur dia di Surabaya, Kamis, 26 Desember 2019.
Baca Juga
Selain realisasi biaya manfaat, Handaryo juga menyampaikan utang BPJS Kesehatan Jatim selama 2019 adalah Rp 2,2 triliun. "Hutang ini kemungkinan akan terbayar di tahun 2020," tutur dia.
Sedangkan untuk biaya denda akibat keterlambatan pembayaran selama 2019 adalah Rp 100 miliar. "Denda ini kemungkinan besar juga akan dibayarkan pada tahun depan," ujarnya.Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Penguatan Puskemas, Cara Cegah Defisit BPJS Kesehatan
Sebelumnya, penguatan pelayanan kesehatan primer bisa menjadi strategi dalam mengatasi defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Hal ini karena puskesmas dan klinik kesehatan, merupakan garda terdepan yang selama ini bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Ketua Dewan Pembina dan Pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih mengatakan, selama ini, banyaknya pasien yang memilih langsung berobat ke rumah sakit menjadi salah satu penyebab defisitnya Jaminan Kesehatan Nasional.
"Idealnya adalah yang ke rumah sakit itu tidak lebih dari, kalau tidak salah, lima persen. Yang saat ini terjadi di Indonesia, yang ke rumah sakit itu 17 persen. Itulah yang menyebabkan kenapa defisit," kata Diah ditemui di Jakarta, ditulis Senin, 16 Desember 2019.
Diah mengungkapkan, adanya dana kapitasi sebesar tiga triliun yang baru-baru ini ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan mengendap di puskesmas, sesungguhnya bisa digunakan untuk memperkuat layanan kesehatan primer.
"Harusnya tiga triliun (rupiah) itu dipakai untuk menjaga kesehatan, untuk mengobati, dan untuk paliatif, untuk orang yang sudah akan meninggal," kata Diah.
Diah mengatakan bahwa apabila digunakan dengan optimal, dana kapitasi seharusnya bisa dipakai untuk promotif, preventif, pengadaan obat dan teknologi, peningkatan kualitas tenaga kesehatan, serta berbagai hal yang diperlukan agar puskesmas bisa memberikan layanan yang berkualitas.
Untuk perkuatan layanan primer sendiri, CISDI menyatakan ada enam blok yang dibutuhkan. Khususnya, dalam mencapai Universal Health Coverage.
Enam blok yaitu: kepemimpinan atau tata kelola, pembiayaan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, produk dan teknologi medis, informasi dan riset, serta pemberian layanan kesehatan.
"Kalau ada satu komponen yang tidak kelihatan atau hilang, itu berarti layanan kesehatan primernya tidak bertransformasi dan tidak bisa menjadi penggerak utama Universal Health Coverage," kata Diah.
"Jangan berpikir bahwa layanan kesehatan primer itu cukup pada promotif dan preventif, tapi harus tetap ada enam guiding blocks ini," kata Diah di Jakarta pada Jumat pekan lalu.
Â
Advertisement