Sukses

Alat Pengolah Limbah Batik Bikin Pepaya di Surabaya Tak Pahit Lagi

Para pengrajin batik masih menggunakan pewarna tekstil sintetis dalam proses produksi. Akibatnya, saat pembilasan akan meninggalkan zat sisa dari lilin maupun pewarnaan

Liputan6.com, Surabaya Mahasiswa Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menciptakan alat pengolah limbah batik untuk membantu pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Protipe alat ini sudah diluncurkan sebulan lalu dan diberikan kepada UMKM San Ros Batik.

Keberadaan alat ini tidak lepas dari 27 mahasiswa yang mengikuti kuliah lapangan berbasis pengabdian masyarakat di bawah bimbingan dose Eng Widiyastuti dan Suci Madhania.

Bukan tanpa alasan mereka melahirkan penemuan ini. Keprihatinan terhadap cara mengolah limbah batik menjadi penyebabnya.

Ketua kelompok, Aditya Mardiansyah menjelaskan, para pengrajin batik masih menggunakan pewarna tekstil sintetis dalam proses produksi. Akibatnya, saat pembilasan akan meninggalkan zat sisa dari lilin maupun pewarnaan.

Zat sisa itu akan menghasilkan limbah residu kaya pewarna reaktif dan bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan.

“Ada suatu kasus, pohon pepaya yang secara tidak sengaja tersirami air limbah batik menjadi pahit rasa buahnya, padahal sebelumnya rasa buahnya tidak demikian,” ujar Ardi, sapaan akrabnya, Jumat (3/1/2020).

Oleh karena itu, perlu pengolahan limbah sebelum zat dibuang ke lingkungan sekitar.

Pengolah limbah batik ini menggunakan metode elektrodegradasi, yaitu perlakuan terhadap polutan yang dapat memecah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana.

Alat ini bisa memecah senyawa kompleks dalam limbah menjadi senyawa sederhana yaitu H2O (air) dan CO2 (karbondioksida) yang sudah aman jika dibuang langsung ke lingkungan.

“Kami menggunakan prinsip elektrolisis, yang memerlukan elektrolit, elektroda dan sumber listrik,” ucap Ardi.

 

 

2 dari 2 halaman

Cara Penggunaan

Menurut Ardi, cara menggunakan alat ini juga mudah. Pengguna hanya perlu menyambungkan alat dengan listrik. Kemudian, limbah langsung dituang ke dalam tabung akrilik.

Setelah itu, elektroda dalam alat akan bekerja mendegradasi limbah. Elektroda yang digunakan adalah elektroda karbon karena memiliki kemampuan menghantarkan listrik dan dapat mempertahankan tingkat panas yang sangat tinggi.

Lama waktu pengolahan bervariasi, tergantung banyaknya limbah yang dituang. Paling cepat dua sampai tiga jam, namun jika jumlahnya banyak bisa semalaman.

“Limbah yang telah selesai diolah menunjukkan perubahan warna dan menghasilkan endapan,” tutur Ardi.

Limbah yang sebelumnya berwarna hijau dengan lapisan lilin di dalamnya berubah warna menjadi keruh. Hal ini menandakan bahwa limbah sudah tidak lagi berbahaya bagi lingkungan.

Mahasiswa Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menciptakan alat pengolah limbah batik untuk membantu pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).  (Liputan6.com/ Dian Kurniawan)

Alat yang dirancang selama dua bulan ini memiliki banyak keuntungan dengan memakai teknologi elektrolisis. Metode ini dianggap cocok untuk lingkungan, hemat energi, aman,dan biaya terjangkau, sehingga pas digunakan pelaku UMKM.

Perawatan alat ini juga relatif mudah. Pengguna hanya perlu menguras tangki dan membersihkannya dengan peralatan yang mudah dijumpai. Daya listrik yang digunakan juga rendah, hanya 10 watt.

“Jadi bisa diibaratkan pengrajin batik seperti memasang satu lampu tambahan saja di rumahnya,” kata Ardi.

Ardi bersama dengan timnya juga berencana meningkatkan efisiensi alat dan menambahkan fitur otomatis, jika tangki sudah penuh, maka alat otomatis berjalan.

Salah satu pengrajin batik UMKM, Roestianingsih, mengaku senang dan terbantu dengan keberadaan alat ini.

“Dengan alat ini saya bisa membuang limbah tanpa takut mengganggu lingkungan sekitar,” ucap perempuan paruh baya yang memulai usahanya sejak 2012 ini.