Liputan6.com, Jakarta - Surabaya menjadi salah satu kota metropolitan kedua di Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari aktivitas perekonomian yang tumbuh dan berkembang di kota ini.
Selain dikenal dengan kota pahlawan, Surabaya juga dikenal sebagai Kota Perdagangan. Disebut Kota Dagang karena aktivitas perdagangan yang ada di Surabaya bergerak dan mengikuti zaman. Hasil bumi yang kaya dan melimpah juga menjadikannya sebagai sentra perdagangan di Indonesia.
Perdagangan di Surabaya sudah aktif sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan, saat ini terus berkembang dengan lebih modern.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip dari ciptakarya.pu.go.id, pada 1870, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan tentang gula dan agraria yang memberikan kemudahan pihak swasta untuk dapat menyewa tanah bagi keperluan pengembangan usaha.
Kemudian lahir kantor-kantor dagang dan bank-bank yang secara formal mendukung pengembangan kegiatan usaha di Surabaya. Kantor dan bank tersebut antara lain Handels Masts (1824), De Javasche Bank (1828), Firma Fraser Eeaton & Co (1835), Ned.Insche Escompto Mij (1857), Lindeteves Stokvis.
Kantor-kantor dan bank-bank tersebut umumnya berlokasi di kawasan permukiman orang Eropa, yaitu di sekitar Jembatan Merah dan meluas ke arah selatan sampai ke arah Alon-alon Contong (1905).
Sejarawan Universitas Airlangga Surabaya, Purnawan Basundoro mengatakan, perdagangan di Surabaya sudah mulai menggeliat sejak tanam paksa. Pada abad ke 19, terdapat kebijakan tentang industrilisasi yang membuat Surabaya tumbuh dan berkembang.
Menurut Purnawan, saat itu Surabaya menjadi pelabuhan utama dari sentra perkebunan dan liberasi ekonomi meningkat.
"Sejak saat itu, Surabaya menjadi simpul perdagangan ke Indonesia," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (7/1/2020).
Kemudian pembangunan fasilitas perdagangan ritel (pertokoan) dan pasar secara formal ditingkatkan pada saat pemerintahan Gemeente Soerabaia berjalan hingga 1940, Surabaya mulai diperluas ke arah selatan.
Beberapa fasilitas yang terbangun di antaranya adalah Tunjungan, Pasar Pabean, Pasar Pegirian, Pasar Genteng, Pasar Tunjungan, dan Pasar Blauran.
Purnawan juga menyebutkan pada masa kolonial Belanda, pusat distribusi dagang yang ada di Surabaya adalah Jembatan Merah, Kembang Jepun, dan Tunjungan.
Kembang Jepun dahulunya adalah kawasan yang disebut dengan Pecinan. Kawasan Pecinan adalah tempat yang dihuni oleh orang-orang keturunan Tionghoa. Mereka melakukan aktivitas dagang juga di kawasan tersebut. Kemudian, kawasan tersebut pun berganti nama dengan Kembang Jepun, dan sekarang sedang mengalami revitalisasi.
Selain kawasan Pecinan yang diisi oleh orang-orang keturunan Tionghoa, Purnawan juga mengatakan, terdapat kawasan di belakang Ampel yang menjadi pusat dagang orang-orang Arab.
Purnawan menambahkan, kawasan industri dahulu terletak di daerah Ngagel, Surabaya. Dalam hal ini, pelaku dagang industrinya adalah orang-orang Eropa. Sedangkan pasar-pasar diisi oleh pribumi. Yang biasa didistribusikan adalah alat-alat berat dan alat-alat kebutuhan rumah tangga.
"Pada abad ke 20, Belanda punya kantor dagang di Surabaya dan sangat metropolis,” kata Purnawan.
Memasuki 2000, pemerintah mulai merancang dan menetapkan Central Business District (CBD). Purnawan menuturkan, saat ini, pusat distribusi dagang Surabaya terletak di beberapa daerah, antara lain Sidoarjo, Gresik, Pasuruan, dan Rungkut sebagai kawasan industri utamamya.
"Sampai saat ini, tidak pernah hilang sebutan Surabaya sebagai Kota Perdagangan karena aktivitas dagang di Surabaya tetap besar," ujar Purnawan.
(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)