Liputan6.com, Surabaya - Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair), Iman Prihandono menilai, klaim Laut Natuna yang dilakukan oleh China tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Iman menuturkan, United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah mengatur metode untuk menentukan zonasi atau wilayah perairan. Batas maritim (delimitasi) suatu negara pantai, baik itu Laut Teritorial maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), ditentukan melalui penarikan Garis Pangkal (Baseline).
Iman juga mengatakan, UNCLOS 1982 hanya mengatur tiga cara penarikan baseline untuk mengukur wilayah perairan suatu negara sehingga, klaim wilayah perairan oleh China yang di dasarkan pada garis imaginer Nine Dash Line sebagai acuan dalam penentuan batas maritimnya menurut Iman tidaklah berdasar.
Advertisement
"UNCLOS 1982 hanya mengenal tiga baseline untuk mengukur wilayah perairan yakni normal baseline, straight baseline, dan archipelagic baseline. Sedangkan Nine Dash Line itu tidak ada di UNCLOS. Jadi apa yang dilakukan oleh China tidak memiliki dasar hukum,” ungkap Iman, Rabu (15/1/2020).
Baca Juga
Penyelesaian sengketa kasus ini, menurut Iman, akan sulit jika hanya melibatkan dua negara Indonesia dengan China saja. Indonesia seharusnya mengangkat kasus ini sebagai isu di kawasan dan bukan semata-mata dalam konteks bilateral dua negara.
“Akan jauh lebih baik jika Indonesia mengajak negara kawasan yang juga terdampak dari klaim Nine Dash Line ini seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam, untuk menyelesaikannya bersama-sama,” terang Iman.
Iman menambahkan, bila Indonesia mengangkat masalah ini secara bilateral dengan China, besar kemungkinan Indonesia akan berada dalam posisi menegosiasikan klaim traditional fishing ground dan Nine Dash Line. Ini sama saja dengan mengurangi hak berdaulat Indonesia di ZEE Natuna sebagaimana ditentukan oleh UNCLOS 1982.
“Cara terbaik adalah dengan mengajak negara kawasan yang memiliki kepentingan bersama untuk mendorong China agar bertindak sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UNCLOS 1982,” pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Nelayan: China Ingin Rebut Kekayaan Laut Natuna
Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menganggap, masuknya nelayan China yang dikawal kapal Coast Guard menjadi tanda bahwa Tiongkok ingin merebut perairan Natuna dari wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia.
Ketua Harian KNTI Dani Setiawan menyerukan pemerintah agar memiliki sikap tegas bahwa masuknya kapal China bukan semata-mata karena adanya klaim hak tradisional terhadap Natuna sebagai wilayah milik negara tersebut.
"Ada aspek ekonomi lebih luas. China ingin merebut penguasaan jalur yang sangat strategis. Tak hanya sumber daya laut, di sana juga ada migas dan lain-lain," tegas dia saat sesi bincang-bincang di Kantor KNTI, Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020.
Dengan adanya legitimasi atas penguasaan wilayah di Natuna, maka China menurutnya akan memperluas pengaruh politik dan ekonomi, khususnya di negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
"Dan itu akan lebih besar pengaruhnya ke negara Asia Tenggara dan Indonesia kalau kita biarkan masalah ini berlarut larut. Kalau hanya dilakukan pendekatan yang parsial, ini akan terus terulang kembali," serunya.
Advertisement
Tolak Negosiasi China
Dani pun mengimbau pemerintah untuk menolak berbagai ajakan negosiasi oleh pihak China. Sebab, itu akan semakin melemahkan posisi Indonesia untuk mempertahankan haknya di perairan Natuna.
"Landasan apapun perbincangan dengan pemerintah Tiongkok, saya rasa indonedia tidak boleh bernegosiasi. Jadi tidak boleh ada materi tambahan lain. Misalnya ditambahkan dengan Nine-Dash Line sebagai suatu upaya yang perlu didiskusikan," ungkapnya.
"Ada sedikit saja materi negosiasi bergeser, saya kira kecil sekali peluang kita untuk keluar dari ancaman China di laut teritori kita," dia menandaskan.