Sukses

Cerita Sejarah Masuknya Masyarakat Tionghoa di Surabaya

Awal mula masyarakat Tionghoa masuk ke Surabaya hingga perayaan Imlek di Surabaya.

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Imlek pada 25 Januari 2020, sejumlah masyarakat pun sudah bersiap untuk menyambut perayaan tersebut. Persiapan tersebut mulai dari melakukan ritual bersih-bersih patung di kelenteng, ritual Pao Oen sebagai bentuk permohonan ampun kesalahan dan pertobatan serta lainnya.

Demikian juga persiapan yang dilakukan masyarakat Tionghoa di Surabaya, Jawa Timur. Mengutip Antara, warga sudah ada membuat lampion berbentuk tikus di Kampung Pecinan Tambak Bayan, Surabaya, Jawa Timur. Pembuatan lampion untuk menyambut tahun baru Imlek 2571.

Untuk merasakan suasana Imlek, Surabaya, termasuk salah satu kota yang dapat jadi pilihan.  Di Kota Pahlawan ini terdapat sejumlah kelenteng yang tua dan bersejarah. Ini menunjukkan beragamnya masyarakat di Surabaya yang terdiri dari berbagai etnis, suku dan agama.

Adapun salah satu kelenteng tua dan bersejarah itu  Kelenteng Hok An Kion. Kelenteng ini didirikan sekitar 1830-an. Sebelumnya kelenteng ini disebut kelenteng coklat karena berada di Jalan Coklat, Pabean, Surabaya. Kelenteng ini tepatnya berada di Jalan Coklat Nomor 2. 

Kelenteng berdiri sudah ratusan tahun tersebut menunjukkan masuknya masyarakat Tionghoa sudah lama. Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Adrian Perkasa menuturkan, jika menilik catatan sejarah, awal mula masyarakat Tionghoa datang ke Surabaya seiring datangnya ekspedisi tentara Mongolia di Jawa pada abad ke-13. Kehadiran masyarakat Tionghoa ke Surabaya juga disusul ketika Kerajaan Majapahit mengalami kejayaan.

"Terus berdatangan (masyarakat Tionghoa) sampai masa kolonial di mana Belanda memegang kekuasaan atas Surabaya pada pertengahan abad ke-18," kata Adrian saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (22/1/2020).

Pegiat Sejarah Ady Setiawan menuturkan, masyarakat Tionghoa imigrasi ke Indonesia sebagai pedagang. Ini juga sama dengan masyarakat Arab dan India.

Adrian menuturkan, pada masa kolonial Belanda terdapat kebijakan Wijkenstelsel di Surabaya. Kebijakan Wijkenstelsel adalah kebijakan yang dibuat untuk membagi permukiman penduduk berdasarkan etnisnya. "Maka terdapat Chinezen Kamp, Arabische Kamp, Europesche Wijk dan kampung Pribumi," ujar dia.

Mengutip dari buku "Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan" yang ditulis oleh Purnawan Basundoro, permukiman orang-orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya terletak di sebelah timur kawasan Jembatan Merah (seberang sungai Kalimas).

Orang-orang Tionghoa menghuni kawasan Kembang Jepun, Kapasan, Pasar Atom (Chinese Kamp). Orang-orang Arab tinggal di kawasan permukiman sekitar Masjid Ampel (Arabische Kamp). Di kawasan sebelah timur Jembatan Merah juga tinggal orang-orang Melayu (Malaise Kamp). Ketika itu, masyarakat Eropa, masyarakat Tionghoa, dan sebagian masyarakat Timur Asing juga penghuni Surabaya dengan status sosial dan ekonomi yang cukup tinggi.

Rumah masyarakat Eropa didominasi rumah yang terbuat dari batu bata dan merupakan rumah permanen. Rumah orang-orang Tionghoa pun tidak berbeda jauh dengan permukiman Eropa yang sebagian besar terbuat dari batu bata.

 

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Perayaan Imlek di Surabaya Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial

Bicara soal perayaan Imlek, ternyata perayaan tahun baru China ini sudah dilakukan sejak zaman kolonial.  Adrian bercerita pada masa kolonial, orang-orang Tionghoa sudah diperbolehkan untuk merayakan Imlek di Surabaya.

Beberapa kawasan di Surabaya yang menjadi tujuan utama saat perayaan Imlek dilakukan menurut Adrian adalah di kawasan Pecinan, mulai dari Kembang Jepun, Kapasan, Karet, Coklat, Jagalan, dan Tambak Bayan.

Ia menyebutkan, beberapa kebudayaan masyarakat Tionghoa yang ada dan berkembang di Surabaya di antaranya adalah Barongsai dan Wayang Potehi. Namun, budaya tersebut mempunyai perbedaan pada zaman kolonial dan sekarang.

"Ya seperti halnya Reog Ponorogo, Barongsai kalau kita lihat beberapa kostum yang masih utuh dan foto-foto lawas terlihat lebih sederhana dibanding yang hari ini dan dulu hanya dimainkan di lingkungan kelenteng atau ditanggap di beberapa rumah orang-orang Tionghoa terkemuka. Kini barongsai pun dimainkan di mana- mana, misal di mal dan pusat keramaian lainnya,” kata Kandidat Phd di Universitas Leiden Belanda ini.

Menurut Adrian, dari kepercayaan Tionghoa khususnya dalam fengshui, Barongsai dikenal memiliki makna yang baik bagi suatu tempat karena dianggap bisa mengusir energi negatif, mengusir roh-roh jahat, dan membawa keberuntungan atau hoki.

Selain Barongsai, ada juga kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa, yaitu Wayang Potehi. Wayang Potehi dianggap unik karena memadukan antara budaya Tionghoa dan budaya lokal khususnya Jawa.

Adiran menuturkan, Wayang Potehi adalah wayang yang berbentuk kantong dari kain ini mengambil cerita dari lakon-lakon Tionghoa seperti Sampek Eng Tay, Perjalanan Ke Barat atau Kera Sakti, Kisah Tiga Kerajaan dan lainnya. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukkan Wayang Potehi ini adalah bahasa lokal, jika di Surabaya sering dimasukkan bahasa Jawa dialek Suroboyoan.

"Bahkan tak jarang dalang Wayang Potehi adalah orang-orang Jawa yang tidak memiliki keturunan Tionghoa sama sekali,” tambah Adrian.

Wayang Potehi di Surabaya masih dipertunjukkan setiap hari di Kelenteng Jalan Dukuh, ketika mendekati Perayaan Imlek seperti sekarang akan lebih ramai. Namun, Adrian mengatakan Wayang Potehi semakin kurang diminati masyarakat, terutama untuk peran sebagai dalangnya.

Adrian menuturkan, pada saat Imlek sampai Tjap Go Meh di awal abad ke-20 di Surabaya tercatat tidak hanya diramaikan oleh kehadiran barongsai, kembang api, dan budaya-budaya khas Tionghoa lainnya melainkan juga wayang, dalang keliling, topeng, dan lain-lain.

"Harapan saya perayaan Imlek hari ini pun bisa seperti itu agar terlihat bagaimana berbagai budaya juga ikut meramaikannya,” kata dia.