Sukses

Pemerintah Kurangi 50 Persen Pupuk Bersubsidi di Ngawi, Ada Apa?

Pengurangan pupuk bersubsidi di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur membuat masyarakat kebingungan. Apa alasan pemerintah mengurangi jumlah pupuk bersubsidi?

Liputan6.com, Jakarta - Jatah pupuk bersubsidi 2020 untuk petani di wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, berkurang drastis hingga 50 persen lebih jika dibanding 2019, sehingga membuat petani kebingungan.

Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Tanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Eka Sri Rahayu mengatakan, pengurangan jatah terjadi untuk semua jenis pupuk bersubsidi seperti Urea, ZA, SP-36, NPK, dan Organik.

"Untuk tahun 2020 ini memang pengurangan jatah pupuk bersubsidi sangat drastis dibanding tahun kemarin dan tahun-tahun sebelumnya," ujar Eka Sri Rahayu kepada wartawan di Ngawi, Kamis, 23 Januari 2020, dilansir dari Antara.

Menurut dia, sesuai data, untuk pupuk bersubsidi jenis Urea aloksi Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) petani tahun 2020 mencapai 50.130 ton, berkurang menjadi 22.727 ton. Pupuk SP-36, aloksi RDKK petani pada 2020 mencapai 24.424 ton, berkurang menjadi 4.436 ton.

Pupuk ZA, aloksi RDKK petani pada 2020 mencapai 30.538 ton, berkurang menjadi 11.662 ton. Pupuk NPK, aloksi RDKK petani tahun 2020 mencapai 61.299 ton, berkurang menjadi 30.400 ton. Serta pupuk organik aloksi RDKK petani mencapai 82.612 ton, berkurang menjadi 10.163 ton.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Kebijakan Pemerintah Pusat

Selanjutnya, Eka menjelaskan, saat ini upaya yang dilakukan Dispertan adalah berusaha meyakinkan petani bahwa pengurangan alokasi pupuk bersubsidi tersebut merupakan kebijakan dari pemerintah pusat.

Hal itu sesuai dengan keinginan pemerintah agar petani menggunakan sistem pemupukan yang berimbang dan secara perlahan mengurangi ketergantungan petani dari pupuk kimia.

Selain itu petani disarankan untuk meningkatkan kembali penggunaan pupuk organiknya.

Dengan kebijakan pengurangan tersebut, mau tidak mau petani menggunakan pupuk non-subsidi yang harganya dua kali lipat dari pupuk bersubdisi untuk memenuhi kebutuhannya.