Sukses

Mengenang Perjuangan Kemerdekaan di Monumen Pers Perjuangan Surabaya

Sebelum bangunan itu menjadi Monumen Pers Perjuangan Surabaya, gedungnya mengalami beberapa kali pergantian fungsi.

Liputan6.com, Jakarta - Setiap 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Surabaya, Jawa Timur pun punya monumen untuk mengingat peran penting pers saat masa perjuangan kemerdekan Indonesia.

Monumen tersebut terletak di Jalan Tunjungan Nomor 100, Genteng, Surabaya, Jawa Timur. Monumen itu dikenal dengan Monumen Pers Perjuangan Surabaya.

Sebelum bangunan itu menjadi Monumen Pers Perjuangan Surabaya, gedungnya mengalami beberapa kali pergantian fungsi. Pada 1886, bangunan itu merupakan rumah biasa yang diganti menjadi toko serba ada (toserba).

Mengutip berbagai sumber, pada 1904, toserba itu direnovasi. Pada 1925, gedung yang dahulunya adalah toserba diperbaharui menjadi toko mobil. Selanjutnya pada 1928, toko mobil itu digunakan untuk toko lainnya yaitu Toko Nam.

Kemudian Toko Nam dipindahkan ke seberangnya, yakni di Jalan Embong Malang, Surabaya dan kemudian toko dibongkar dan ditempati Toko Kwang. Bangunan tersebut sampai sekarang digunakan sebagai Monumen Pers Perjuangan Surabaya.

Mengutip dari buku Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu: karya Ady Setyawan dan Marjolein van Pagee disebutkan kalau sejak kedatangan tentara Jepang di Surabaya, semua kegiatan pers dihentikan.  Hanya kegiatan pers resmi saja yang diperbolehkan berkegiatan dan menerbitkan atau menyiarkan pemberitaannya.

Semua pemberitaan itu harus melalui sensor cukup ketat dari Sendenbu (Barisan atau Badan Propaganda Jepang) dengan badan penerbitnya bernama Jawa Shinbun Kai. Di Surabaya, Jawa Shinbun Kai menerbitkan harian Soeara Asia yang ternyata memiliki oplaag yang sangat besar, bahkan melebihi Jakarta.

Selain koran harian, di Surabaya juga terbit mingguan untuk tiap-tiap wilayah karesidenan, seperti Warta Surabaya Syu, Warta Madura Syu dan sebagainya. Di bidang penyiaran radio, ketika itu di Surabaya hanya ada satu pemancar resmi milik pemerintah pendudukan Jepang, yaitu Surabaya Hosho Kyoku.

Baik radio dan surat kabar merupakan corong utama dari agitasi dan propaganda yang dilakukan Jepang. Seluruh penduduk yang memiliki radio akan didata dan gelombangnya disegel.

Radio bekupon yang dibangun dan menyebar di perkampungan di Surabaya juga dibangun oleh pemerintah Jepang. Meski disegel, tetap saja para pejuang ini berhasil secara diam-diam menangkap siaran radio Tokyo yang menyiarkan keadaan perang yang sebenarnya dan menyampaikan setiap informasi itu kepada kelompok pejuang.

Jepang kalah dan tunduk pada Sekutu, Toko Kwang mulai dikosongkan. Pada 1 September 1945, para jurnalis yang dulunya bekerja untuk Jepang di Kantor Berita Domei, mereka berjuang untuk mendirikan Kantor Berita Indonesia sendiri yang bertempat di gedung ini (Toko Kwang).

Kemudian, jerih payah para jurnalis berbuah manis, sehingga pada Oktober 1945, berdirilah Kantor Berita Indonesia di Surabaya yang merupakan cabang dari Kantor Berita Antara. Dengan adanya kantor berita tersebut, proses penyebaran berita tentang kemerdekaan RI bisa diketahui sampai ke negara-negara lain.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 2 halaman

Terdapat Prasasti

Oleh karena itu, Monumen Pers Perjuangan dikukuhkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya. Di bagian dalam monumen tersebut, terdapat sebuah prasasti.

Adapun prasastinya berbunyi: ”Di Gedung Ini Tunjungan 100 pada tanggal 1 September 1945 didirikan Kantor Berita Indonesia/Antara yang mengabdikan perjuangan untuk kemerdekaan Republik Indonesia”.

"Setelah Kantor Berita Domei milik Jepang ditutup, para wartawan Indonesia mendirikan kantor berita Indonesia bertempat pada gedung ini pada Agustus 1945. Setelah diintegrasikan dengan Kantor Berita Nasional Antara, namanya menjadi Kantor Berita Indonesia Antara".

Dari dua prasasti di monumen ini, dapat dilihat perbedaan waktu tentang pendirian kantor berita ini. Selain itu, hal menariknya yaitu ketika kedatangan pasukan Inggris dihadapi oleh barisan wartawan yang bermarkas di gedung ini. Saat itu terjebak dalam situasi menegangkan, terancam tembakan dari kanon-kanon kapal sekutu. Hal ini terjadi karena ketiadaan perwira-perwira atau pemimpin BKR laut di menara perhubungan.

Namun demikian, meski serba kepayahan, mereka turut pula hadapi tekanan dari mulut radio kapal sekutu yang memaksa melakukan pendaratan.

 (Wiwien S-Mahasiswi Universitas Tarumanegara)