Sukses

Mempertahankan Eksistensi Jamu di Era Disrupsi (III)

Bisnis jamu dinilai sesuatu yang menantang dan menarik. Apalagi jamu merupakan salah satu produk budaya Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - PT Jamu Iboe Jaya meski sudah berusia satu abad tetapi tidak pernah diam untuk terus mengikuti perubahan zaman, dan tanpa harus meninggalkan produk lamanya. Perusahaan jamu asal Surabaya ini tetap mampu eksis di industrinya.

Perusahaan ini bahkan sudah dijalankan oleh generasi keempat. Perusahaan jamu berdiri sejak 1910 ini menjadi salah satu perusahaan tertua di Indonesia yang dibangun oleh ibu Tan Swan Nio dan salah satu putrinya Siem Tjiong Nio.

Ibu dan putrinya ini memakai resep keluarga ketika memulai usaha jamunya. Perusahaan ini bermula dari toko kecil di Jalan Ngaglik Nomor 3-5 Surabaya.  Kini perusahaan Jamu Iboe dipimpin oleh owner dan Direktur Utama, Stephen Walla, yang juga generasi empat.

"Tahun ini memasuki usia 110 tahun. Jamu Iboe kini dijalankan oleh generasi keempat. Perusahaan ini didirikan oleh ibu dan anak di Surabaya,” ujar Product Group Manager PT Jamu Iboe Jaya, Perry Angglishartono, saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Senin (9/3/2020).

Perusahaan yang sudah berusia 100 tahun lebih ini juga terus berinovasi mengembangkan, memasarkan dan dalam membuat produknya. Meski demikian, Perry menuturkan, bisnis jamu sesuatu yang menantang dan menarik. Apalagi jamu merupakan salah satu produk budaya Indonesia. Di sisi lain, menurut Perry, bisnis jamu ini belum banyak yang garap.

Perry menuturkan, salah satu tantangan yang dihadapi perusahaan saat ini mengenalkan jamu kepada generasi muda. Hal ini mengingat persepsi masyarakat terhadap produk sesuatu yang pahit, produk orangtua, dan istilahnya belum keren.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Persepsi dan Regenerasi

Perry mengatakan, pihaknya pun berupaya mengubah hal tersebut agar jamu yang menjadi produk budaya Indonesia ini juga dapat menjadi bagian gaya hidup masyarakat Indonesia. Apalagi minuman jamu untuk membantu kesehatan seseorang dan bersifat mencegah sehingga tidak mudah sakit.

Menurut Perry, ini menjadi tantangan di industri jamu yang disebutnya bagian dari persepsi . Pihaknya ingin mengubah persepsi jamu kepada generasi muda menjadi hal positif.

"Persepsi brand jamu terhadap anak-anak milenial itu sesuatu yang pahit, produk orangtua, enggak keren. Ini dipersepsikan negatif. Kami mau mengubah menjadi hal positif. Kami berusaha membuat produk tetap relevan dengan zaman supaya tidak kena disruption,” ujar Perry.

Selain persepsi, tantangan industri jamu yang dihadapi adalah regenerasi. Regenerasi ini bukan hanya dari produsen saja tetapi juga konsumen. Perry menuturkan, regenerasi dari sisi produsen membutuhkan seseorang yang punya passion di industri jamu sehingga bisnisnya tetap jalan.

"Kalau owner-nya ogah-ogahan, dan tidak mau berubah, maka bisa hilang. Supaya mau berubah harus punya passion dari owner. dan pelaku bisnis. Harus mau berubah bukan berarti meninggalkan yang lama,” kata dia.

Perry menambahkan, untuk mempertahankan passion tersebut mengingatkan kalau bisnis jamu menolong orang lain. Jamu merupakan produk budaya Indonesia yang seharusnya tetap dijaga untuk terus bertahan.

3 dari 3 halaman

Sosialisasi dan Regulasi

Tantangan lainnya yaitu sosialisasi dan regulasi. Perry menuturkan, seperti halnya batik sempat tidak populer kemudian rutin disosialisasikan dan dibantu pemerintah hingga akhirnya bisnis batik kembali bangkit di Indonesia. Masyarakat pun kini memakai batik sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Perry pun mengapresiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut mempromosikan minuman tradisional Indonesia untuk menjaga daya tahan tubuh. Salah satunya dengan minuman temulawak, jahe dan kunyit. Oleh karena itu, ia juga mengharapkan sosialisasi terhadap produk jamu juga gencar dan masif dilakukan. Misalkan setiap hotel wajibkan untuk minum jamu sebagai welcoming drink dan disajikan di acara kenegaraan.

Selain itu, siswa sejak SD hingga SMU  dikenalkan produk jamu dan mengenalkan tanaman obat-obatan keluarga atau TOGA sehingga membantu untuk mengenalkan produk jamu kepada generasi muda. Sosialisasi jamu menurut Perry dibutuhkan dari pemerintah untuk mengangkat produk jamu.

"Analogi jamu seperti kopi. Kalau 30 tahun lalu kopi minuman yang pahit, biasanya orangtua. Kini bisnis bisa membesar, dan hampir semua ngopi. Ingin juga ngejamu, apalagi jamu brand asli Indonesia,” tutur dia.

Selanjutnya tantangan yang dihadapi industri jamu yaitu regulasi. Perry menuturkan, regulasi bagus untuk mengangkat industri jamu sehingga dapat setara dengan farmasi. Selain itu, ia juga mengapresiasi BPOM turut mengawasi obat herbal sehingga turut membantu kualitas dan produk.

"Ada sekitar 900 industri jamu. Itu mulai dari kecil, rumahan, menengah dan besar. Kalau yang besar bisa ikuti regulasi. Kalau yang kecil tidak bisa ikut. Produk budaya harus dibedakan dengan farmasi,” ujar dia. (Selesai)