Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Belanda menerapkan karantina wilayah secara cerdas atau disebut “intelligent lockdown”. Langkah tersebut dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona baru (Sars-CoV-2) yang menyebabkan COVID-19.
Belanda mulai menerapkan intelligent lockdown sejak 24 Maret 2020. Langkah-langkah yang diberlakukan Belanda mulai dari menjaga jarak minimal 1,5 meter, masyarakat didorong untuk tinggal di rumah, bekerja dari rumah, sekolah, pusat pengasuhan anak, restoran dan klub olahraga tutup.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengumumkan baru-baru ini kalau pihaknya akan mempertahankan langkah-langkah yang sudah diberlakukan untuk memutus rantai penyebaran Corona COVID-19.
Advertisement
"Kami berada dalam periode di mana langkah-langkah harus dikerjakan. Di seluruh negeri, hampir semua orang mematuhi aturan, semua orang menjaga jarak,” ujar Rutte, seperti dikutip dari China.org.cn.
Ia juga kembali berpesan kepada warga untuk bertahan di rumah selama akhir pekan Paskah ini dan tinggal di rumah lebih baik. Hal ini agar tidak membuat kesalahan dan memperbesar risiko.
Baca Juga
"Risikonya adalah orang berpikir mereka bisa berbuat lebih banyak sekarang. Kita tidak bisa membuat kesalahan yang lebih besar. Kita akan mencapai puncak baru dengan cepat,” tutur dia.
Dosen Sejarah dari FIB Universitas Airlangga (Unair), Adrian Perkasa pun membagikan pengalamannya ketika menjalani karantina wilayah di Leiden, Belanda. Pria yang sedang bekerja dan melanjutkan kuliah S3 di Universitas Leiden ini menuturkan, saat Belanda menerapkan karantina wilayah atau lockdown memang sempat terjadi panic buying. Meski demikian, kebutuhan pokok masih aman.
"Namun hanya beberapa hari saja karena lalu lintas komoditas tetap berjalan,” ujar Adrian saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, Sabtu, (11/4/2020).
Aktivitas seperti belanja pun masih diperbolehkan. Setiap warga harus menerapkan physical distancing atau jaga jarak. Adrian menuturkan, warga Belanda pun disiplin untuk menerapkan physical distancing meski sekarang lebih rileks karena memasuki musim semi. Saat belanja pun dibatasi untuk pembelian hand sanitizer dan tisu.
"Kalau belanja harus satu per satu, jadi tidak bisa bersama dengan keluarga,” tutur dia
Ia menuturkan, meski diterapkan lockdown, masih juga ditemui mahasiswa yang masih santai menghadapi situasi tersebut hingga membuat pesta, dan akhirnya kena razia polisi.
Pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan dari rumah pun masih diperbolehkan oleh pemerintah Belanda. Kemudian angkutan umum seperti bus juga dibatasi terutama kontak dengan sopir.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Bekerja dari Rumah
Ia juga sempat menemui kesulitan untuk bekerja dari rumah. Apalagi kampus Adrian juga tutup hingga 16 April. Hal ini mengingat kesulitan mengakses perpustakaan, kantor arsip dan laboratorium.
"Tapi akhirnya sudah mulai adaptasi, kelas juga pindah online. Layanan perpustakaan tetap berjalan meski akses terbatas,” kata dia yang sudah merasakan karantina wilayah selama lima minggu.
Adrian pun berbagi mengenai cara Pemerintah Belanda untuk mengatasi penyebaran Corona COVID-19. Hal itu antara lain transparansi, data pasien real time yang bisa diakses. “Pemerintah pusat dan daerah koordinasinya baik,” ia menambahkan.
Selain itu, menurut Adrian pemerintah Belanda juga sangat mengutamakan para ahli untuk mengambil kebijakan mulai dari kesehatan hingga sosial ekonomi.
Adrian menilai, Belanda juga memiliki ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai. “Asuransi kesehatan semacam BPJS juga cover COVID-19,” kata dia.
Pemerintah Belanda pun memperpanjang karantina wilayah hingga 16 April 2020. Kemudian kegiatan yang mengumpulkan orang hingga di atas 100 pun dilarang hingga 1 Juni.
Advertisement