Liputan6.com, Jakarta - Jumlah kasus Corona COVID-19 di Indonesia masih menunjukkan peningkatan. Data Rabu, 15 April 2020, kasus terkonfirmasi positif Corona COVID-19 bertambah 297 kasus menjadi 5.136.
Jumlah pasien dirawat 4.211 orang. Kemudian pasien sembuh sebanyak 446 orang dan meninggal mencapai 469 orang. Oleh karena itu, Pemerintah terus mengimbau masyarakat salah satunya untuk menerapkan physical distancing atau jaga jarak fisik. Ini sebagai upaya mencegah penyebaran virus corona baru (Sars-CoV-2) yang sebabkan COVID-19.
Penerapan physical distancing itu dengan menjaga jarak antar orang minimal 1-2 meter, menghindari perkumpulan dan pertemuan dengan jumlah orang banyak. Penerapan physical distancing ini sangat penting untuk menekan penyebaran Corona COVID-19.
Advertisement
Baca Juga
Ketua Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Universitas Airlangga (Unair), Hario Megatsari menuturkan, WHO merekomendasikan physical distancing atau jaga jarak ini sebagai salah satu cara efektif untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Hal ini mengingat virus corona baru (Sars-CoV-2) yang sebabkan COVID-19 cepat menular.
"Penularan (COVID-19-red) melalui droplet dan kontak fisik misalkan salaman, bersentuhan. Penularan ini untuk memutuskannya yang sangat efektif dengan physical distancing atau jaga jarak. Misalkan dengan tidak bersalaman dulu,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (16/4/2020).
Meski demikian, imbauan untuk menjaga jarak atau physical distancing ini sering tidak diterapkan. Bahkan masih ada ditemui di tempat-tempat umum, seperti kerumunan warga, nongkrong di kafe, warung kopi dan lainnya.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Tiga Hal
Hario melihat, ada tiga hal yang membuat penerapan jaga jarak ini kurang dilakukan disiplin oleh masyarakat. Pertama, ketidaktahuan masyarakat. Ia menuturkan, kemungkinan kurangnya pengetahuan terhadap situasi pandemi COVID-19 jadi melihatnya hal yang biasa. "Jadi tidak ada tindakan khusus (oleh seseorang-red) untuk menerapkan,” ia menambahkan.
Kedua, keterpaksaan. Hario mengatakan, ada sejumlah pihak memang harus ke luar rumah karena tuntutan pekerjaan dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, orang tersebut keluar rumah. Ketiga, masyarakat suka beinteraksi sosial seperti berlawanan ketika menerapkan jaga jarak dan social distancing.
"Orang Indonesia suka berinteraksi dan sosial jadi ketika diminta physical distancing dirasa susah. Karena nilai kita suka bersosial dan guyub,” kata dia.
Melihat kondisi tersebut, Hario menilai memang perlu ada intervensi dari pemerintah agar penerapan physical distancing dapat dilakukan dengan kedisiplinan tinggi. Intervensi itu bisa dengan meningkatkan edukasi lewat media sosial dan konvensional secara terus menerus. Hal ini agar membuat kesadaran masyarakat pentingnya menjaga jarak untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Ia juga mengingatkan intervensi yang dilakukan sebaiknya dengan cara persuasif sehingga tidak membuat stres bagi masyarakat.
"Edukasi ini bisa dengan menggandeng komunitas, misalkan dalam hal ini anak muda yang masih nongkrong. Ini karena komunitas itu juga dibangun anak muda,” ia menambahkan.
Selain itu, menurut Hario, pemerintah juga mesti memberikan bantuan tepat sasaran. Hal ini mengingat juga ada pelaku usaha yang memiliki warung. “Misalkan ada jaminan bagi pemilik warung kalau ditutup, dia masih bisa makan dan ada jaminan bantuan,” tutur dia.
Ia menegaskan, penerapan physicial distancing atau jaga jarak ini merupakan tanggung jawab bersama baik pemerintah dan masyarakat. Selain itu, meski ada pembatasan jaga jarak fisik, interaksi sosial masih bisa dilakukan dengan bantuan teknologi seperti smartphone dan gadget lainnya.
Advertisement