Sukses

Pahala Salat Tarawih Hari ke-9, Seperti Ibadahnya Para Nabi

Salat Tarawih dapat dilakukan sendiri atau berjamaah meski tidak di masjid. Hal itu karena sesungguhnya tidak ada aturan yang mewajibkan mengerjakan salat Tarawih berjamaah.

Liputan6.com, Jakarta - Salat Tarawih merupakan salah satu ibadah sunah yang ada di bulan suci Ramadan. Umat Islam selalu menunggu momen bulan penuh berkah ini untuk memperbanyak ibadah sunah.

Salat Tarawih biasanya dikerjakan secara berjamaah di masjid atau musola, dengan catatan kondisi sedang aman dan baik-baik saja. Tidak ada bencana atau halangan untuk berkumpul di tempat ramai.

Namun demikian, mengerjakan ibadah sunah ini dapat dilakukan sendiri atau berjamaah meski tidak di masjid. Hal itu karena sesungguhnya tidak ada aturan yang mewajibkan mengerjakan salat Tarawih berjamaah.

Dengan diterapkannya protokol kesehatan di tengah wabah virus corona COVID-19 ini, mengerjakan salat Tarawih secara berjamaah di masjid dapat menimbulkan bahaya, yaitu penularan. Diketahui penularan virus corona begitu cepat dan tak pandang bulu.

Meski protokol kesehatan telah ditetapkan, umat Islam masih tetap bisa mengerjakan salat Tarawih dengan penuh hikmat di rumah masing-masing mengingat banyak keutamaan dan faidah di dalamnya.

Pada hari hari ke-9 bulan Ramadan ini, keutamaan salat tarawih adalah seperti ibadahnya para Nabi. Keterangan itu terdapat pada kitab Durratun Nasihin karya Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi.

"Pada malam yang ke sembilan seolah-olah orang yang Tarawih beribadah pada Allah sebagaimana ibadahnya Para Nabi Alaihis Shalatu Was Salam," tulis Syekh Utsman dalam kitabnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Mengenal Kitab Durratun Nasihin

Kitab Durratun Nasihin merupakan salahs atu kitab penting dalam dunia pesantren di Indonesia. Kajian tentangnya terus dilakukan demi mengais hikmah dan kebijaksanaan dalam menjalani ibadah.

Durratun Nasihin dalam Bahasa Arab berarti mutiara para penasihat. Sesuai judulnya, kitab ini menghimpun sejumlah nasihat, peringatan, hikmah serta kisah-kisah menarik terkait kehidupan dunia dan akhirat.

Dalam pembukaan kitab ini, pengarangnya mengatakan bahwa dirinya merupakan salah satu ulama yang tinggal di Konstantinopel. Tak ada keterangan mengenai tanggal kelahiran sang pengarang, namun diketahui bahwa ia meninggal pada 1824 M.

Syekh Utsman menyatakan lebih lanjut, bahwa dirinya melatari penulisan kitab ini lantaran masyarakat di tempat tinggalnya gemar dengan nasihat-nasihat. Timbullah keingan untuk menulis sebuah kitab yang berisi nasihat dan kisah-kisah.

Selain itu, dirinya juga ingin meluruskan cara orang-orang sekitar yang salah dalam menyampaikan nasihat. Maka, kitab ini juga bisa disebut sebagai sarana untuk membenarkan cara penyampaian nasihat yang keliru.