Liputan6.com, Jakarta - Pada Bulan Ramadan, republik ini bermula. Tanggal 9 Ramadan dini hari waktu itu, saat sekelompok orang muda dan aktivis kemerdekaan, baru selesai menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
“Tujuh belas angka suci. Kita di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran,” kata Bung Karno dalam otobiografinya, Penyambung Lidah Rakyat.
Sejak itu, lazim kiranya bagi orang Indonesia, menempatkan Bulan Ramadan sebagai bulan suci bagi umat Islam, sekaligus bulan penting bagi sejarah Indonesia. 17 Agustus tahun 1945, bertepatan dengan hari ke-9 puasa Ramadan.
Advertisement
Saat para pemuda dan aktivis yang bergairah dalam persiapan kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya di rumah Laksamana Maeda, tak ada madu-vitamin-atau penambah stamina lainnya. Menu sahur mereka hanya berupa nasi goreng dan roti telur. Namun rapat semalam suntuk ditutup dengan adrenalin memuncak.
Baca Juga
Setiap detik yang berlalu, sejak imsak hingga Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Sang Saka Merah Putih dikibarkan, Bulan Ramadhan menjadi saksi: betapa momen ibadah puasa kala itu sungguh istimewa. Dan tak mungkin terulang.
Tak ada acara makan-makan dalam momen teramat penting dan bersejarah itu. Ibadah Ramadhan adalah alasan utamanya, selain kesepakatan untuk tak berkoar-koar dulu, mengingat musuh masih berkeliaran.
Para pejuang yang hadir di Pegangsaan Timur saat itu, adalah incaran musuh. Pun Bung Karno dan Bung Hatta, dua tokoh pemimpin negara baru yang lahir beberapa menit lalu, nasibnya pun belum menentu.
Setiap orang yang hadir dan terlibat dalam Proklamasi Kemerdekaan itu, dilamun perasaan lega sekaligus gamang. Lega karena Republik Indonesia telah lahir. Gamang, karena tahu bahwa perjuangan masih panjang.
Kegamangan pada peristiwa 9 Ramadhan 1364 H itu, ternyata dirasakan juga pada 9 Ramadhan 1441 H hari ini, meski dengan alasan berbeda. Sama-sama perang, tapi dengan musuh yang sama sekali berbeda.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Berjuang Melawan Corona
Musuh pada Ramadhan 1364 H, adalah penjajah. Rakyat tidak berani keluar rumah, lantaran sisa tentara Jepang, milisi nasional, dan tentara Belanda yang datang dengan membonceng Inggris, baku kepruk di banyak penjuru. Peluru dan mortir tak punya mata, dan tak memilih korbannya.
Pun kita pada Ramadhan 1441 H atau tahun 2020 ini, harus menghadapi musuh yang tak terlihat: Covid-19. Musuh yang belum kita kenal sepenuhnya. Kita pun terpaksa tak berani keluar rumah, agar virus tak menyebat. Agar tak baku tular.
Kita naif jika di hadapan virus Covid-19, yang berhasil memaksa kita untuk saling berjarak. Namun semangat Ramadhan, membuat kita tak pernah lupa untuk bergotong royong, saling berbagi. Mungkinkah sejarah memang sebuah repetisi?
Jika di sudut-sudut perumahan di kota maupun di perkampungan, terlihat kita saling berbagi bansos-sembako-maupun sekedar takjil, pemandangan itu persis seperti dapur umum semasa perang mempertahankan kemerdekaan. Dapur umum yang dibuat emak-emak dulu, tak lain karena kesadaran: bahwa hidup adalah perjuangan dan saling membantu.
Keluh kita kini atas penghasilan yang berkurang, atau bahkan terhenti dan nihil, tak sebanding dengan kondisi Ramadhan 1364 H dulu. Tak ada rakyat yang punya penghasilan saat itu, kecuali para priyayi maupun ambtenaar Belanda. Bahkan esok masih punya nyawa atau tidak, rakyat pun tak pernah tahu.
Tetap ada perbedaan, antara Ramadhan 74,5 tahun lalu, dengan Ramadhan kini. Dulu, jangankan berharap bantuan dari pemerintah, karena pemerintahnya pun masih harus pindah-pindah. Kini, rakyat yang harus berpindah-pindah, karena sesuap nasi pun sudah sangat sulit dicari.
Tapi mari kita fokus pada kesamaannya saja. Bila penjajah dan Covid-19 punya kemiripan, keduanya merupakan musuh kita, dan harus kita lawan. Seperti kata Ali bin Abu Thalib, menantu dan sahabat Rasulullah Muhammad SAW, “Manusia adalah musuh bagi apa yang tidak dia ketahui.”
Percayalah, dalam perang, tak ada tempat bagi putus asa dan egoisme. Cahaya Ramadhan kiranya selalu menerangu Bangsa Indonesia, sebagai bangsa petarung, tak kenal menyerah, dan selalu siap membantu sesamanya.
Advertisement