Sukses

Soal Sekolah Tatap Muka, Pakar Nilai Perlu Kajian Sangat Cermat hingga Pengawasan

Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas COVID-19 Jawa Timur, dr Joni Wahyuhadi menuturkan, sekolah tatap muka sebaiknya dilakukan saat daerah tersebut zona hijau COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan sekolah tatap muka akan diterapkan di daerah zona kuning atau berisiko rendah COVID-19. Akan tetapi, kegiatan pembelajaran tatap muka tersebut dinilai harus menerapkan pengawasan protokol kesehatan sangat ketat dan dilakukan simulasi terlebih dahulu.

Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas COVID-19 Jawa Timur, dr Joni Wahyuhadi menuturkan, sekolah tatap muka sebaiknya dilakukan saat daerah tersebut zona hijau COVID-19. Jika memang melakukan sekolah tatap muka diberlakukan dahulu simulasi dan pengawasan harus diterapkan.

"Hati-hati buka, akan aman kalau sudah hijau, di simulasi dulu, dan surveillance harus dilakukan," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Selasa (11/8/2020).

Hal senada dikatakan Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Dr Windhu Purnomo. Windhu menilai, ketika daerah sudah zona hijau baru bisa menerapkan sekolah tatap muka.

Selain itu, Windhu menuturkan, selama pandemi COVID-19 terjadi, risiko terpapar COVID-19 itu masih ada. Apalagi ia menuturkan, anak di bawah usia 10 tahun terpapar COVID-19 capai sekitar tiga persen.

Windhu mengatakan, zona kuning juga masih berisiko terpapar COVID-19. Adapun zonasi dibuat oleh Satgas COVID-19 pusat dengan 15 kriteria dan Kementerian Kesehatan ada 24 kriteria.

"Zonasi itu sangat dinamis, perlu kestabilan. Zona kuning itu berisiko rendah, orange itu berisiko sedang. Virus itu masih beredar di masyarakat. Kalau zona kuning masih berisiko untuk anak-anak sekolah, akan tetapi sudah terlanjur dibuat surat keputusan, jadi bolanya di pemerintah daerah, harus melakukan kajian secara cermat," ujar Windhu saat dihubungi Liputan6.com.

Windhu melihat, penanganan COVID-19 bukan hanya dari angka kesembuhan saja yang meningkat. Akan tetapi juga perlu melihat kasus penambahan COVID-19 di suatu wilayah, jumlah testing dan tingkat penularan COVID-19.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Simulasi Perlu Dilakukan

Windhu menegaskan, kalau sekolah dibuka harus melibatkan ahli mulai dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, ahli kesehatan masyarakat dan orangtua. Hal ini untuk mengetahui protokol kesehatan diterapkan saat sekolah dibuka.

“Jangan ada pemaksaan kepada orangtua. Kalau orangtua menolak, fasilitasi dengan pembelajaran jarak jauh,” ujar dia.

Windhu menuturkan pemerintah juga melihat negara lain yang sudah membuka pembelajaran tatap muka seperti di Amerika Serikat dan Prancis. “Kasus di Amerika Serikat dan Prancis harusnya jadi pelajaran,” ujar dia.

Meski demikian, Windhu mengapresiasi langkah pemerintah dengan menerapkan simulasi protokol kesehatan untuk mempersiapkan sewaktu-waktu kalau belajar tatap muka dilakukan. Simulasi di sekolah memang harus dilakukan agar mengetahui kesiapan sekolah dan infrastruktur yang disiapkan.

"Infrastruktur mulai dari tempat cuci tangan di mana-mana, ventilasi ruangan yang sebelumnya tertutup dan AC, sebaiknya dibuatkan ventilasi dan jendela dibuka, siswa melakukan jarak 1,5 meter, dan diimbau untuk membawa bekal, serta durasi maksimal di sekolat 3-4 jam,” kata dia.

Windhu menegaskan, sekolah juga perlu menerapkan aturan internal untuk protokol kesehatan.  Selain itu, pemerintah daerah juga perlu mengawasi sekolah.

Jika melanggar protokol kesehatan, pemerintah daerah menerapkan sanksi. "Jadi jika ada guru dan murid tidak pakai masker itu mendapatkan sanksi," kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Butuh Kurikulum Darurat

Sebelumnya, Pengamat Pendidikan, Isa Anshori menuturkan, pemerintah juga harus bijak menyikapi terkait pendidikan. Seperti pemulihan ekonomi dan kesehatan diharapkan beriringan berjalan ia menilai, pendidikan juga harus berubah.

Ia menuturkan, pendidikan juga hak setiap siswa sehingga sekolah buka memenuhi hak tersebut. Akan tetapi, di tengah pandemi, sekolah buka harus terapkan protokol kesehatan yang ketat dan dijalankan baik. 

“Pendidikan itu hak, kesehatan juga hak, itu harus dipenuhi. Pendidikan dibuka (sekolah-red) dengan protokol kesehatan sangat ketat,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 7 Agustus 2020.

Ia mengatakan, pemerintah memang harus memikirkan bagaimana pendidikan tetap jalan di tengah pandemi COVID-19. Hal ini agar tidak membebani negara ke depan.

"Ada pandemi diperkirakan terjadi lost generation karena pendidikan tutup. Jangan sampai bonus demografi jadi beban. Harus ada jalan tengah sehingga tidak terbebani dua kali,” ujar dia.

Ia menuturkan, saat sekolah dibuka ada perubahan dalam belajar. Isa mencontohkan, jumlah siswa yang hadir hanya 50-60 persen dari aktivitas belajar biasanya. Selain itu, jam pelajaran dikurangi. “Jika biasanya enam jam menjadi 2-3 jam, demikian juga mata pelakaran,” kata dia.

Isa mengatakan, memang pilihan sulit dan hadapi dilema dalam pembelajaran di tengah pandemi COVID-19. Isa menuturkan, pembelajaran daring atau online juga sulit bagi orangtua untuk mendampingi anaknya.

"Potensi penularan COVID-19 juga bisa di rumah. Ketika orangtua tidak mendampingi anak-anak, kemudian anak-anak jalan-jalan, potensi penularan ada,” ujar dia.

Oleh karena itu, menurut Isa, dengan sekolah dibuka diharapkan ada pengawasan juga kepada pelajar dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Dengan dibuka sekolah, Isa menilai, diharapkan dampak sosial karena pendidikan tutup juga dapat ditekan. Selain itu juga pembukaan sekolah dilakukan secara bertahap tergantung dari pemerintah daerah.

"Dampak sosial lebih besar (sekolah tutup-red). Kekuatiran dari dampak sosial itu harus ditekan," kata dia.

Isa juga menambahkan, saat ini memang butuh kurikulum darurat di tengah pandemi COVID-19. Hal ini agar pendidikan tetap berjalan baik.

"Kurikulum memang harus diubah. Kurikulum kita tidak dipersiapkan untuk masa darurat saat pandemi. Harus ada kurikulum saat bencana alam dan non alam, agar pemenuhan hak mendapatkan pendidikan tetap berlangsung,” tutur dia.