Sukses

Antropolog Unair: Isolasi Mandiri hingga Pakai Masker Berperan Penting Kendalikan Flu Spanyol

Antropolog Universitas Airlangga Surabaya, Toetik Koesbiarti menuturkan, pola penyebaran dan penanganan COVID-19 mirip dengan Flu Spanyol.

Liputan6.com, Jakarta - Antropolog Universitas Airlangga Surabaya, Toetik Koesbiarti menuturkan, pola penularan Flu Spanyol hampir sama seperti COVID-19 sekarang.

Akan tetapi, hal membedakan adalah Flu Spanyol banyak menyebabkan anak muda meninggal dunia. Hal ini karena tentara saat itu adalah anak muda yang berkumpul.

"Saat ini korban paling banyak orang tua dengan komorbid," ujar dia, seperti dikutip dari Antara, ditulis Kamis, (13/8/2020).

Pola penanganan relatif sama seperti penanganan COVID-19. Masyarakat diimbau isolasi, menjaga kebersihan dan bermasker.

"Dahulu juga ada isolasi mandiri. Kemudian mereka menyebut menjaga kebersihan tubuh, saat ini cuci tangan dan bermasker. Kurang lebih masih sama," ujar dia.

Oleh karena itu, isolasi mandiri, menjaga kebersihan dan penggunaan masker turut berperan penting untuk mengendalikan Flu Spanyol yang mewabah di Jawa Timur pada masa Perang Dunia I.

"Ada tiga hal yang berperan penting mengendalikan Flu Spanyol waktu itu, yakni isolasi yang saat ini disebut isolasi mandiri, menjaga kebersihan atau saat ini cuci tangan dan penggunaan masker," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

2 dari 3 halaman

Flu Spanyol Mewabah pada Perang Dunia I

Toetik menuturkan, Flu Spanyol adalah virus yang mewabah di dunia pada masa Perang Dunia I dan mewabah di Indonesia atau di Jawa Timur pada rentang 1918-1920.

Flu Spanyol bukanlah berasal dari Spanyol. Namun disebut Flu Spanyol karena ada tentara yang kebetulan terkirim ke Eropa dan saat itu ditemukan wabah flu di Spanyol.

Flu Spanyol merebak di Indonesia, seperti di Palembang dan paling banyak Jawa karena banyak tentara yang singgah di pelabuhan Jawa. Selain itu dikarenakan Batavia menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda saat itu.

"Orang yang terinfeksi Flu Spanyol akan mengalami demam. Tapi masyarakat saat itu tidak tahu dan menanggap jika mengalami demam berarti sedang terkena kolera atau disentri yang terlebih dahulu merebak," ucap lulusan Universitas Hamburg, Jerman tersebut.

Banyaknya orang yang terinfeksi, lanjut Toetik, membuat pemerintah kolonial mencari tahu penyebabnya. Kesimpulan sementara saat itu, wabah penyakit dibawa oleh angin.

Selanjutnya oleh dokter Belanda disimpulkan bahwa demam tersebut disebabkan oleh nyamuk. Kesimpulan tersebut membuat rancu karena masyarakat sebelumnya

Belakangan diketahui dokter Belanda demam tersebut disebabkan oleh nyamuk. Kesimpulan itu membuat rancu, karena adanya demam yang disebabkan oleh nyamuk dan penyakit malaria.

3 dari 3 halaman

Pemerintah Hindia Belanda Buat Surat Izin Masuk

Pada 1920 korban Flu Spanyol paling banyak berasal dari Jatim. Wabah Flu Spanyol mengakibatkan meninggalnya hampir tiga persen dari populasi di Indonesia. Indonesia menjadi negara ketiga korban paling banyak setelah Amerika Serikat dan China.

"Setelah diselidiki, ada kesimpulan bahwa virus tersebut berasal dari luar yang dibawa melalui kerumunan orang yang saat itu dibawa dari kapal," ujar dia.

Pemerintah Hindia Belanda pun membuat Undang-Undang semacam surat izin masuk dengan pernyataan dewan kesehatan. Sama seperti sekarang. 

"Untuk mengatasi wabah tersebut juga diberikan obat herbal atau ramuan tradisional. Dari aspek obat medis juga ada namun belum vaksin paten. Yang jadi persoalan adalah diagnosis yang tidak tepat. Seperti orang terpapar Flu Spanyol didiagnosis malaria sehingga diberikan obat bernama kina untuk membunuh demam. Juga diberikan obat candu untuk menurunkan rasa sakit," tuturnya.

Sementara untuk penggunaan masker, Toetik belum menemukannya secara khusus. Akan tetapi, berdasar analisisinya, karena Indonesia saat itu di bawah pemerintah Kolonial Hindia Belanda, penggunaan masker pasti ada merujuk penggunaan masker di tempat asal wabah itu di Spanyol, wilayah Eropa dan Amerika Serikat.

"Saya tidak menemukan tulisan secara spesifik penggunaan masker. Tapi menurut analisa saya ada indikasi penggunaan masker karena pengaruh dari Pemerintah Hindia Belanda saat itu," ujarnya.Â