Liputan6.com, Jakarta - Produksi garam rakyat yang dikelola petani dari seluruh lahan tambah Jawa Timur diprediksi sekitar 900 ribu ton pada 2020. Sedangkan produksi garam rakyat nasional sekitar 2,1 juta ton.
“Kendalanya memang cuaca yang masih sering turun hujan,” tutur Ketua Umum Himpunan Masyarakat Petani Garam Indonesia (HMPGI), Mohammad Hasan, seperti dikutip dari Antara, ditulis Kamis, (17/9/2020).
Sementara itu, Matrai, petani garam di tambak kawasan Benowo Surabaya, Jawa Timur mengungkapkan sejak mengawali kerja pada Juli 2020 seringkali diselimuti mendung, selain juga hujan yang sampai sekarang masih saja turun.
Advertisement
Baca Juga
"Hasil panen tahun ini belum diketahui karena masih sedang berlangsung. Tapi, kalau cuacanya seperti ini pastinya hasil panen tidak sebagus tahun lalu," tutur dia saat dikonfirmasi di Surabaya, Rabu.
Matrai menggarap lahan tambak garam seluas sekitar 1 hektare di kawasan Benowo Surabaya, Jawa Timur dibantu istri, anak dan sejumlah cucunya yang beranjak remaja.
Ia mendengar kabar, meski hasil panen tahun ini dipastikan menurun, tetapi tengkulak bersedia membeli dengan harga yang lebih mahal dari tahun lalu. "Harga beli tengkulak informasinya naik, tapi saya belum tahu berapa. Kalau tahun lalu dibeli Rp250 ribu per ton," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Minta Pemerintah Tentukan Harga Pokok Penjualan
Hasan membandingkan hasil panen garam dari para petani di Jawa Timur pada 2019 mencapai 1,1 juta ton. Sedangkan produksi nasional 2,9 juta ton.
"Jawa Timur masih penghasil garam rakyat terbesar se-Indonesia. Lumbung nasionalnya ada di Pulau Madura. Totalnya lahan tambak garam di Jawa Timur saat ini seluas 11.150 hektare yang tersebar di 12 kabupaten/kota," tutur dia.
Namun, produksi garam rakyat tersebut hanya terserap pasar sekitar 80 persen, yaitu untuk konsumsi masyarakat. Hasan mengatakan, untuk kebutuhan industri, perusahaan dan pabrik di Indonesia lebih memilih garam impor dari Australia dan India.
"Kami mendorong agar pabrik dan perusahaan menyubstitusi garam impor untuk kebutuhan industri dengan garam berstandar nasional Indonesia (SNI) yang dihasilkan oleh petani lokal. Dengan cara itulah produksi garam rakyat bisa terserap 100 persen di pasaran," kata dia.
Selain itu, Hasan menuturkan hal yang menjadi persoalan mendasar saat ini adalah harga garam yang dipanen petani ditentukan oleh mekanisme pasar. Ia mencontohkan hasil panen garam pada 2019, tengkulak membelinya seharga Rp250 perkilogram dan biasanya menjual kembali ke pasaran seharga Rp550 perkilogram.
Pada 2020, meski hasil panen dipastikan menurun, tengkulak menaikkan harga beli garam senilai Rp350 perkilogram. Harga yang ditentukan tengkulak tersebut dirasa merugikan petani.
"Untuk itulah sampai sekarang kami terus memperjuangkan agar pemerintah menentukan harga pokok penjualan atau HPP garam. Pada tahun 2017 lalu kami mengusulkan HPP garam sebesar Rp1.500 perkilogram agar petani bisa sejahtera," ujar dia.
Advertisement