Sukses

Fakta-Fakta Menarik Bung Tomo, Pengobar Semangat Pertempuran 10 November 1945

Lewat orasi-orasi membara yang ia sampaikan lewat siaran radio, Bung Tomo mampu mengobarkan semangat juang arek-arek Suroboyo untuk terus berjuang.

Liputan6.com, Jakarta - Pertempuran 10 November di Surabaya adalah peperangan terbesar bangsa Indonesia melawan tentara asing pascakemerdekaan. Pejuang revoiusi yang menjadi korban pun terbilang banyak.

Peristiwa penting itu dikenang dengan Hari Pahlawan 10 November. Untuk mengenang keberanian para pejuang mengusir tentara sekutu yang tak henti menginginkan republik ini.

Ada sosok yang selalu terngiang saat peringatan Hari Pahlawan, namanya identik dengan semangat berapi-api lewat pidato penuh gelora untuk terus berjuang pantang menyerah. Ia adalah Sutomo, pria kelahiran Surabaya 3 Oktober 1920.

Sutomo, dikenal akrab dengan sebutan Bung Tomo. Ia adalah pejuang revolusi yang seakan membuat citra Surabaya sebagai kota yang penuh dengan nuansa perjuangan.

Lewat orasi-orasi membara yang ia sampaikan lewat siaran radio, Bung Tomo mampu mengobarkan semangat juang arek-arek Suroboyo untuk terus melawan, walau dengan persenjataan yang terbatas.

Dikisahkan bahwa saat pertempuran berlangsung, para milisi di Surabaya hanya bermodal senjata dari hasil rampasan tentara Jepang. Jumlahnya tentu tak seberapa dibanding kekuatan sekutu yang kala itu sudah punya pasukan udara.

Namun, berkat semangat yang terus dikobarkan Bung Tomo, arek-arek Suroboyo berhasil mendapat kemenangan. Mengutip dari berbagai sumber, Liputan6 akan mengulas fakta-fakta menarik Bung Tomo.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 3 halaman

1. Menikah di Saat Perang

Usia Bung Tomo kala itu 27 tahun, waktu yang pas untuk melangsungkan pernikahan. Nah, calon pun sudah ada, namun, menikah di saat negara sedang bergejolak bukan lah hal mudah.

Terlebih, dirinya adalah bagian penting dalam perjuangan di Surabaya. Dirinya tergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), organisasi yang ia dirikan sendiri.

Saat hendak menikah dengan calon pasangannya, Sulistina, ia pun meminta izin untuk menikah kepada kelompok milisi ini. Permintaan izin itu didasari rasa bersalah karena menikah di saat suasan sedang genting.

Pernikahan yang berlangsung pada 19 Juni 1947 itu pun berlangsung tanpa tanpa pesta, karena itu merupakan syarat yang harus dipenuhi dari hasil kesepakatan dengan rekan-reakannya di barisan BPRI.

Selanjutnya, pasangan Bung Tomo dan Sulistina diharuskan untuk terus memperkuat semangat perjuangan untuk rakyat dan revolusi. Maklum saja, selain Bung Tomo, Sulistina juga merupakan aktivis perjuangan kala itu.

2. Sebelum Perang, Sowan ke KH Hasyim Asy’ari

Bung Tomo dikenal sebagai seorang orator pembakar semangat arek-arek Suroboyo saat menghadapi sekutu. Ternyata, pidato-pidato tersebut merupakan manifestasi dari Resolusi Jihad yang didengungkan oleh para Ulama NU.

Sebelum membacakan pidato legendaris tentang semangat perjuangan itu, Bung Tomo terlebih dahulu meminta izin kepada Rais Akbar Nahdlatul Ulama, atau pimpinan tertinggi NU kala itu, beliau adalah KH Hasyim Asy’ari.

Setelah meminta restu dari Hadratusyekh Hasyim Asya’ari, dirinya pun membacakan pidato tersebut lewat radio yang dengannya semangat arek-arek Suroboyo makin membara.

 

3 dari 3 halaman

3. Pemulangan Jenazah dari Arab Saudi

Menjelang ulang tahun ke-61, Bung Tomo menyempatkan diri berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji bersama anak dan istrinya. Namun, perjalanan suci itu menjadi yang terakhir baginya.

Dirinya wafat pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, setelah kondisi kesehatannya memburuk.

Saat itu, jenazah Bung Tomo masih di Arab Saudi, dan berencana dikebumikan di sana. Namun, berkat dorongan dari sejumlah pihak, dan menimbang bahwa kelak akan sulit menziarahi makam sang pahlawan, maka muncul inisiatif untuk memulangkan jenazah Bung Tomo ke Tanah Air.

Dua minggu setelah itu, pihak keluarga dipanggil Kedutaan Arab Saudi dan mengabarkan bahwa Raja Fahd, Raja Saudi saat itu menyetujui pemulangan almarhum setelah berunding dengan lima menterinya.

Pemerintah Indonesia pun turut andil dalam pemulangan jenazah Bung Tomo, sejumalh dokter pun ditugaskan untuk menjemput jenazah almarhum setelah empat bulan kematian Bung Tomo.

Pada 3 Feburari 1982, jenazah Bung Tomo dibawa ke Surabaya untuk kemudian dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum, Ngagel Rejo dan dimakamkan dengan upcara militer.

4. Gelar Pahlawan Baru Didapat Setelah 27 Tahun

Meski jasa dan perjuangan Bung Tomo amat besar terhadap negeri ini, namun namanya tidak masuk ke dalam deratan pahlawan nasional seperti para pejuang lainnya.

Baru setelah 27 tahun dirinya meninggal dunia, gelar pahlawan itu disematkan untuk Bung Tomo. Tepatnya pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2008.

Penghargaan itu menjadi tanda berakhirnya polemik yang berkepanjangan tentang gelar pahlawan bagi Bung Tomo.