Liputan6.com, Surabaya - Ketua DPC PDIP Surabaya Adi Sutarwijono mengaku pihaknya siap menerima putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan pilkada Surabaya yang akan dibacakan pada Selasa (16/2/2021).
"Kami siap mendengarkan dan menerima keputusan majelis hakim MK. Paslon Eri Cahyadi-Armuji juga akan menyimak melalui saluran virtual pembacaan keputusan dismissal itu," kata Adi Sutarwijono di Surabaya, seperti dilansir dari Antara, Senin (15/2/2021).
Menurut dia, pihaknya yakin gugatan yang dilayangkan paslon Machfud Arifin-Mujiaman akan ditolak MK karena tidak memiliki legal standing. Seperti diketahui selisih suara paslon Eri Cahyadi-Armuji menang 145.000 suara, atau unggul 13,8 persen dari Machfud-Mujiaman yang diusung delapan partai politik.
Advertisement
Adi mengatakan selisih suara yang jauh, berlipat-lipat di atas syarat ambang batas selisih suara, yang diatur peraturan perundang-undangan untuk diadili di MK. Sedangkan ambang batas selisih suara untuk populasi sebesar Surabaya, sesuai ketentuan pasal 158 UU 10/2016, yang diperbolehkan maksimal 0,5 persen.
"Sejauh ini putusan-putusan MK terkait sengketa Pilkada selalu konsisten mengenai ambang batas selisih suara, seperti yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan," kata Adi yang juga Ketua DPRD Surabaya ini.
PDIPmeyakini keputusan MK merupakan keputusan terbaik yang berseiring dengan kehendak mayoritas rakyat Surabaya yang telah memberikan suara dalam Pilkda 9 Desember 2020 yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip langsun, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
"Kalau keputusan MK menolak gugatan Machfud Arifin-Mujiaman, saya yakin mayoritas rakyat Surabaya akan mensyukuri. Eri Cahyadi-Armuji dapat segera dilantik Wali Kota Surabaya dan Wakil Wali Kota," katanya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tanggapan Tim Maju
Tim Kuasa Hukum Machfud-Mujiaman (Maju) Veri Djunaidi sebelumnya mengatakan, pihaknya menyadari MK semakin berjalan menuju peradilan yang maju dan semakin menjunjung keadilan substansial dalam setiap perkara yang diperiksa dan diputus. Tidak terkecuali dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
"MK enggan menyandera kakinya menjadi hanya sekedar Mahkamah Kalkulator dalam setiap perkara pemilihan. Karena banyak kasus dan pengalaman empirik menunjukkan adanya pelanggaran massif dalam pemilihan kepala daerah tidak dapat diproses akibat syarat formil ambang batas," ujarnya.
Advertisement