Liputan6.com, Surabaya - Kepala Dinas Pendidikan Jatim, Wahid Wahyudi sudah menyuarakan pelaksanaan uji coba Sekolah tatap muka tingkat SMA/SMK pada semua kabupaten kota se Jatim. Demikian pula Mendikbud Nadiem Makarim menyuarakan pentingnya sekolah tatap muka, tatkala mall dan sinema sudah dibuka di berbagai daerah. Hal itu sejalan juga dengan komitmen Gubernur Khofifah.
Praktisi pendidikan Jatim Lia Istifhama mengungkapkan dukungannya pada kepedulian Mendikbud terhadap sekolah tatap muka. Menurutnya, sekolah tatap muka bisa berjalan dengan protokol kesehatan yang ketat dengan komitmen bersama yang kuat.
Baca Juga
“Karena konteksnya sebagai pondasi generasi bangsa. Jangan sampai pendidikan dikorbankan dengan alasan apapun. Kalau anak-anak sekarang jauh dari literasi, lemah secara kognitif, moral, dan kontekstual learning, bagaimana bangsa ini memiliki SDM cerdas kelak," ujar aktivis perempuan yang akrab disapa Ning Lia itu, Kamis (3/6/2021).
Advertisement
Putri tokoh senior Ansor KH. Masykur Hasyim itu menambahkan, pembelajaran tatap muka adalah jaminan pengaplikasian pembelajaran kontekstual.
Menurutnya, bicara dunia pendidikan internasional, maka harus mengetahui bahwa contextual learning menjadi perhatian. Apalagi di negara-negara maju. Sekolah menjadi wadah pelaksanaan tersebut. Dalam hal ini, bagaimana seorang guru bisa mengajak diskusi anak, menstimulus nalar logika berpikir, dan empati sosialnya terhadap segala fakta yang diketahui atau dihadapi mereka.
"Nah, kalau sekolah tetap saja secara online atau daring, apa mungkin ketelatenan mengajar seperti itu secara sempurna bisa dilakukan," katanya.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bebani Guru dan Orangtua
Doktor Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan, bahwa pembelajaran online cenderung membebankan guru dan orang tua siswa. Menurutnya, diakui apa tidak, beban guru bertambah dengan sistem daring. Mereka juga pasti memiliki beban moral dan rindu mengajar, rindu menyebarkan ilmu secara langsung.
Di lain sisi, sekolah online berbasis gadget juga membebankan orang tua. Sebab, tidak semua warga negara hidup dengan waktu yang cukup untuk mengajar anaknya di rumah, ataupun memiliki fasilitas gadget yang memadai hanya untuk mengerjakan tugas anaknya.
“Dulu tahun 2017, Akademi Pediatri Amerika telah merekomendasikan waktu penggunaan gadget bagi anak hanya 1 jam sehari, itupun dalam pantauan orang tua. Sekarang, hal tersebut rasanya naif dilakukan. Digitalisasi memang harus diikuti, tapi pendidikan jangan sampai dikorbankan," pungkasnya.
Advertisement