Liputan6.com, Surabaya - Terik matahari siang itu tidak mengurangi denyut perekonomian di kawasan Kalimas utara, Surabaya. Para pekerja sibuk bongkar muat barang di pergudangan. Deretan kendaraan dipakir di sepanjang jalan di tepi Sungai Kalimas.
Di antara berbagai kesibukan itu, Ahmad duduk di dalam warungnya sembari melayani pembeli. Tempat usahanya tepat berada di depan sebuah bangunan setinggi 10 meter yang menghadap ke arah Sungai Kalimas.
Advertisement
Baca Juga
“Dulu bangunan ini pernah jadi gudang bahan pokok, saya sempat bekerja di situ. Sekarang jadi tempat hunian pemiliknya saja” kata Ahmad.
Di tembok bangunan lawas itu terpasang plat kecil bertuliskan penetapan bangunan cagar budaya pada 2015. Isinya menjelaskan keberadaannya sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada 1900an.
Berfungsi sebagai Menara Pandang, tempat Syahbandar atau kepala pelabuhan mengawasi aktivitas bongkar muat kapal di dermaga Kalimas lama. Sekaligus tempat pelayanan segala urusan pelayaran dan kepabeanan untuk kepentingan eskpor maupun impor masa kolonial.
Semasa kecil, Ahmad sering mendengar cerita almarhum kakeknya tentang betapa sibuknya Sungai Kalimas. Sampan dan perahu bermuatan penuh barang sampai ikan hilir mudik dari Jembatan Merah hingga Kayoon di tengah kota. Dokar dan pedati menyusuri jalan.
“Saya tidak pernah melihat langsung, hanya bisa membayangkan betapa ramai suasana saat itu,” ucap pria berusia 36 tahun itu.
Sekarang sudah tak ada lagi perahu penuh muatan menyusuri Kalimas hingga ke selatan Surabaya. Tapi kesibukan masih terlihat di Pelabuhan Kalimas untuk pelayaran rakyat. Kapal kayu bersandar dan bongkar muat karena tak mungkin bisa masuk ke Pelabuhan Tanjung Perak.
Pelabuhan Kalimas di ujung utara Surabaya itu jadi penghubung transportasi antarpulau di Indonesia. Pelabuhan ini juga warisan sejarah maritim. Salah satu bagian penting bagi jalur perdagangan rempah nusantara pada masa lampau.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Jalur Maritim Klasik
Sungai Kalimas di Surabaya yang bermuara ke Selat Madura, berperan penting sejak abad ke-11. Menghubungkan kerajaan besar di pedalaman Jawa Timur dengan pelabuhan di pesisir utara. Penghubung nusantara dengan pasar internasional lewat perdagangan cengkih dan pala.
Jalur bahari sejak masa Raja Airlangga hingga Kerajaan Majapahit. Prasasti Kamaglayan (1037 Masehi) dan Prasasti Canggu (1358 Masehi) menyebut keberadaan pelabuhan sungai penting bernama Hujung Galuh. Lokasinya diperkirakan tak jauh dari Mojokerto.
Bambang Budi Utomo dalam Majapahit Dalam Lintas Pelayaran dan Perdagangan Nusantara di Berkala Arkeologi Tahun XXIX Edisi no.2/November 2009 menuliskan, posisi Jawa Timur sangat strategis lantaran ada di tengah jalur pelayaran antara Sumatera dan Maluku yang ramai perdagangan rempah.
Di Jawa Timur pada waktu merupakan daerah inti kerajaan dan sudah terdapat kota pelabuhan seperti Tuban, Pajarakan, Gresik, Surabaya, dan Canggu. Bahkan di masa pemerintahan Raja Airlangga telah dikenal pembagian fungsi pelabuhan sesuai asal kedatangan kapal.
“Pelabuhan Hujung Galuh diatur sebagai pelabuhan antarpulau. Sementara pelabuhan di pesisir utara diatur untuk pelabuhan antarkerajaan,” tulis Bambang Budi Utomo.
Arkeolog Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan, pada masa Majapahit, Tuban dan Gresik berkembang lebih pesat sebagai pelabuhan dagang internasional. Di dekat Pasuruan terdapat dermaga untuk armada militer.
“Sementara Surabaya belum sebuah kota besar. Tapi sudah ada permukiman sekaligus sentra perekonomian yang ramai di kawasan Ampel dekat Kalimas,” ucap Wicaksono.
Guru Besar Ilmu Sejarah Kota Universitas Airlangga, Purnawan Basundoro, mengatakan Sungai Kalimas menghubungkan pedalaman Jawa Timur dengan pelabuhan di pesisir utara melalui Kediri-Mojokerto-Surabaya. “Jadi sejak periode kuno itu sudah termasuk jalur penting,” katanya.
Daerah di pantai utara seperti Tuban dan Gresik, pintu gerbang perdagangan internasional telah banyak bermukim pedagang asing dari Arab, Persia, Gujarat sampai Tiongkok. Mereka datang untuk berniaga rempah serta menjalin hubungan baik dengan penguasa lokal.
Tome Pires, penjelajah asal Portugis dalam The Suma Oriental menyebut pelabuhan di Tuban dan Gresik termasuk yang besar dan terbaik di sepanjang pesisir Jawa. Meski begitu, masih lekat hubungannya dengan pedalaman.
“Kota pelabuhan itu tetap terhubung dengan kerajaan di pedalaman Jawa Timur,” ucap Purnawan Basundoro mengutip kroniek Tome Pires.
Para saudagar asing dari pesisir utara lalu masuk menyusuri aliran Sungai Brantas untuk berdagang rempah, hasil bumi dan barang berharga lainnya. Terbentuk hubungan dagang melalui jaringan maritim dari pedalaman Jawa Timur menuju dunia internasional.
Lewat interaksi ekonomi, terjadi asimilasi budaya antara pedagang asing dengan penduduk lokal. Perlahan, Majapahit yang lama memonopoli perdagangan rempah di timur nusantara kehilangan pengaruhnya. Lalu runtuh berganti kerajaan Islam yang mulai kuat di pesisir utara.
Advertisement
Titik Mula Perkembangan Kota
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda sendiri mulai mencengkeram Surabaya sebagai wilayah kekuasannya pada 1743. Setelah diserahkan oleh Mataram, bagian dari perjanjian terhadap kompeni yang membantu penaklukkan Surabaya.
Kongsi Dagang Hindia Timur lalu mendirikan benteng di tepi Sungai Kalimas. Selain untuk memperkuat pertahanan, juga berfungsi gudang penyimpanan. Lokasi di tepi sungai menjamin ketersediaan air minum sekaligus penghubung dengan daerah pedalaman.
“Karena VOC punya kepentingan berdagang, otomatis mereka butuh sarana untuk mengangkut barang dagangannya ke luar negeri,” ujar Purnawan Basundoro.
Setelah posisinya semakin kuat, kompeni baru bergerak keluar menata kota. Di sisi selatan Roode Brug atau Jembatan Merah, terdapat sebuah dermaga kecil bernama Willemskade. Jadi tempat kapal dan perahu kecil hilir mudik penuh muatan dagangan merapat.
Kapal – kapal dagang berukuran besar harus berlabuh dan bongkar muat di Selat Madura. Lalu berganti menggunakan tongkang dan kapal kecil masuk menuju tengah kota. Tetapi sebelumnya harus melewati Jembatan Petekan yang dibangun Belanda pada 1900.
Sebuah jembatan yang tergolong modern karena dirancang bisa buka tutup bila ada kapal berukuran besar hendak lewat. Dari jembatan ini, terus masuk menyusuri Sungai Kalimas dan barulah tiba di Pelabuhan Willemskade di dekat Jembatan Merah.
“Perahu – perahu lalu bertambat di situ sampai kawasan Pecinan. Jadi di situ dulu pelabuhan sungai kecil tapai ramai,” ucap Purnawan Basundoro.
Setelah itu perahu bisa meneruskan perjalanan hingga ke Mojokerto di pedalaman Jawa Timur menggunakan transportasi air. Menunjukkan Kalimas jadi penghubung antara perairan lepas dengan wilayah pedalaman.
Seiring perkembangan, di sekitar Jembatan Merah banyak dibangun gedung-gedung perusahaan swasta, perbankan sampai gudang. Termasuk di dekatnya berkembang jadi sentra perdagangan yang didominasi oleh pedagang Tionghoa.
“Di kiri dan kanan Kalimas banyak dibangun gedung berfungsi sebagai gudang menghadap arah sungai,” ujar Purnawan.
Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BPCB Jawa Timur mengatakan, kompeni membangun Pelabuhan Kalimas sebagai tempat pertemuan berbagai komoditas diperdagangkan. Di sisi utara sampai ke timur Kalimas dibangun loji-loji yang berfungsi sebagai gudang.
Sejak itu, Surabaya diputuskan sebagai pelabuhan utama dari rangkaian kegiatan pengumpulan hasil produksi pertanian dan perkebunan di pedalaman Jawa Timur. Surabaya menggeser peran Gresik dan Tuban yang sebelumnya merupakan kota pelabuhan penting.
“Kompeni membangun Kalimas sekaligus menutup pelabuhan – pelabuhan lama, termasuk pelabuhan sungai di pedalaman,” ucap Wicaksono.
Kompeni lalu membagi peruntukan wilayah. Sisi barat Kalimas jadi perkantoran perusahaan swasta sampai pemerintahan. Sementara sisi timur mulai kawasan Pecinan sampai Ampel jadi sentra perdagangan dengan pembatas Jembatan Merah.
Sisa – sisa gedung berarsitektur kolonial itu sekarang juga masih dapat dilihat di Jalan Rajawali dan sekitarnya. Termasuk di kawasan perdagangan sekarang yakni di Kembang Jepun, Jalan Panggung, Pabean Cantikan, Kapasan.
Kota Pelabuhan Modern
Intensitas perdagangan rempah di nusantara mulai berkurang seiring kebijakan cultuurstelsel atau tanam paksa pada 1830-1879. Namun pelabuhan sungai tetap strategis untuk mengangkut hasil perkebunan dari pedalaman Jawa.
“Pengangkutan rempah sudah tak lagi mendominasi di pelabuhan Kalimas,” ujar Purnawan Basundoro yang juga anggota Tim Cagar Budaya Surabaya.
Fungsi Kalimas sebagai sarana pendukung transportasi mulai mengalami penurunan seiring dibangunnya jaringan jalan kereta api pada pertengahan abad ke-19. Tapi jaringan kereta api kala itu masih mengikuti aliran Sungai Kalimas.
Menempatkan Pelabuhan Kalimas sebagai titik kumpul berbagai komoditas perkebunan yang dipanen dari pedalaman Jawa Timur. Melalui jalur itu pula membuat Surabaya masyhur sebagai kota pelabuhan dan perdagangan modern di Hindia Belanda masa itu.
G.H Von Faber dalam Oud Soerabaia (1931) menuliskan, melalui Pelabuhan Surabaya pada 1851 nilai ekspor mencapai 10,9 juta gulden sedangkan nilai impor sebesar 4,2 juta gulden. Pada 1856 nilai ekspor naik menjadi 20,9 juta gulden dan nilai impor sebesar 6,5 juta gulden
Howard Dick dalam Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000 menuliskan aktivitas perekonomian dan posisi Surabaya pada awal abad ke-20. Aktivitas perekonomian kota ini setara Singapura, Kalkuta di India, Sanghai di Tiongkok dan kota besar lainnya di Asia.
“Surabaya menjadi pelopor industrialisasi di Hindia Belanda saat kota besar lain seperti Batavia dan Semarang belum berkembang menjadi kota industri besar,” ujar Purnawan Basundoro.
Kegiatan perekonomian di Surabaya dan Jawa Timur umumnya berkembang semakin pesat. Pelabuhan Kalimas dinilai tak mampu lagi menampung aktivitas pelabuhan, terutama bila kapal besar hendak merapat.
Lalu dibangunlah Pelabuhan Tanjung Perak pada 1910 di sebelah barat. Selain mendukung perekonomian, pembangunan pelabuhan baru juga demi kepentingan pertahanan militer Belanda. Ini menandai meredupnya Pelabuhan Sungai Kalimas.
“Pelabuhan Sungai Kalimas sudah bukan lagi pelabuhan utama,” ucap Purnawan Basundoro.
Ditambah lagi pada masa tanam paksa mengubah arah industri Surabaya. Dari semula tumbuh berbasis industri rakyat berganti menjadi industri permesinan. Sebab banyak berdiri industri mesin guna mendukung kepentingan pabrik-pabrik gula yang berdiri di pedalaman Jawa Timur.
“Jalur transportasi darat lalu menggantikan transportasi air yang dulu jadi titik awal perkembangan kota,” ujar Purnawan.
Advertisement
Revitalisasi Sungai
Pesatnya industrialisasi turut mengubah cara pandang masyarakat Surabaya dan beberapa kota besar lainnya terhadap sungai dan laut. Sungai cenderung berfungsi sebagai halaman belakang layaknya tempat pembuangan sampah. Sungai tercemar limbah industri.
“Sungai bukan lagi menjadi orientasi utama, berbanding terbalik dengan orang – orang dulu,” ujar Purnawan.
Daerah – daerah di Jawa Timur yang dibelah oleh aliran Sungai Brantas seharusnya menempatkan sungai sebagai titik utama. Termasuk Kalimas selaku titik mula pengembangan Surabaya, seharunya lebih diprioritaskan dalam setiap orientasi perilaku pembangunan dan masyarakatnya.
Menurut Purnawan, Surabaya adalah kota sungai karena itu pula seharusnya sungai menjadi dasar utama dalam setiap desain pembangunan. Mendapat perhatian lebih dalam aspek tata ruang kota, sehingga bukan hanya memperhatikan di jalur darat semata.
“Sungai harus jadi orientasi utama sebab dapat meningkatkan aktivitas kehidupan dan perekonomian masyarakatnya,” ucap Purnawan.
Menurutnya, sebelum jalur transportasi darat berkembang pesat, daratan hanya menyuplai berbagai komoditas. Tapi nusantara dipertautkan melalui jalur maritim melalui perniagaan rempah. Jalur yang terangkai panjang dari titik-titik pelabuhan di pesisir hingga pedalaman.
“Bila ingin membangkitkan kejayaan jalur maritim, maka seharusnya sungai dan laut harus dimaknai sebagai prioritas penting,” kata Purnawan.