Sukses

Polisi Sebut Tak Temukan Unsur Pidana dalam Kasus Fetish Mukena di Malang

Kepolisian melibatkan saksi ahli bahasa dan Kominfo dalam pemeriksaan kasus fetish mukena di Malang. Para saksi ahli menilai tak ada unsur pidana dalam perkara ini

Liputan6.com, Malang - Warganet sempat dihebohkan dengan kasus fetish mukena di Kota Malang pada Agustus lalu. Kepolisian setempat telah menyelidiki kasus ini berdasarkan pengaduan tiga model yang jadi korban.

Kasat Reskrim Polres Malang Kota, Komisaris Polisi Tinton Yudha Riambodo, mengatakan, sejauh ini belum ditemukan unsur pidana dalam kasus fetish mukena tersebut. Hal itu mengacu hasil pemeriksaan yang juga melibatkan keterangan sejumlah saksi ahli.

"Tidak ditemukan unsur asusila maupun pornografi. Tapi kami tetap mendalami kasus ini," ujar Tinton di Malang, Senin, September 2021.

Kepolisian telah memeriksa DA, pemilik akun media sosial yang mengunggah foto model itu. Serta keterangan korban yakni JH, AZK dan MA, tiga model yang mengadukan masalah itu. Termasuk melibatkan ahli bahasa, Kominfo Jawa Timur sampai psikolog.

Polisi mengumpulkan foto-foto yang diunggah akun Selfie Mukena milik teradu DA di media sosial twitter. Keterangan ahli dari Kominfo, dalam unggahan itu tak ditemukan unsur pornografi sehingga tak bisa dijerat pidana dengan UU ITE.

Pemilik akun tak menyertakan kalimat tak pantas dalam foto yang diunggahnya. Temuan kalimat mesum itu justru berasal dari orang lain yang ditulis dalam kolom jawaban. Sehingga dinilai tak memenuhi unsur pelanggaran asusila.

“Saksi ahli menilai tak ada distribusi pornografi dan asulisa. Jadi belum bisa dipidana,” ujar Tinton.

Meski begitu, kata Tinton, kepolisian tetap akan mendalami kasus fetish mukena tersebut. Bila dalam perkembangannya ada temuan maupun aduan baru dari korban, bisa jadi akan ada pemeriksaan baru. Misalnya penyalahgunaan foto sesuai kesepakatan kerjasama.

“Kalau ada temuan baru, bisa jadi subyek baru dalam pemeriksaan. Kalau sekarang ini kami tak menemukan unsur pidana,” ucap Tinton.

Terlapor kasus fetish mukena ini sendiri mengakui bila memiliki gangguan psikologis berupa fetish. Kepolisian menilai telapor memerlukan terapi dan penanganan khusus. Pendalaman perkara akan tetap dilanjutkan meski untuk sementara ini tak ditemukan unsur pidana.

“Terlapor butuh penyembuhan. Tapi kami tetap mendalami perkara ini secara profesional berdasarkan fakta dan keterangan yang ada. Bila tak ada unsur pidana ya dihentikan,” ujar Tinton.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Kronologi Kasus

Ahli psikolog klinis, Sayekti Pribadiningtyas mengatakan, hasil pemeriksaan psikologis menunjukkan pelaku mengidap gangguan orientasi seksual. Berupa tertarik dengan mukena berbahan satin untuk melampiaskan hasratnya.

“Saudara DA perlu terapi dan intervensi psikologis secara mendalam dengan jangka waktu yang cukup lama butuh waktu relative panjang untuk mengatasi gangguan itu,” ujar Sayekti.

Ia menambahkan, disebut gangguan itu bila berlangsung terus-menerus selama sekurangnya enam bulan. Sedangkan terlapor DA mengaku sudah mengalami gangguan fetisisme ini sejak kecil tanpa ada penanganan yang tepat.

Kasus fetish mukena ini bermula tiga model yakni JH, AZK dan AM pada pertengahan Agustus lalu. Awalnya, ketiganya dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai Riya, perempuan pemilik sebuah online shop khusus produk mukena.

Ketiganya ditawari jadi model untuk foto katalog dan endorse produk olshop itu. Saat sesi pengambilan foto, sosok R tak hadir. Justru DA yang datang dan mengaku sebagai adik dari perempuan tersebut.

Dalam perkembangannya, terbukti sosok Riya itu adalah terlapor DA itu sendiri. Foto – foto para model itu juga tak diunggah di akun olshop produk mukena itu. Justru disebar oleh akun Selfie Mukena di media sosial twitter milik pelaku. Korban menilai ada penyalahgunaan foto dan pelanggaran kerjasama akhirnya melapokan kasus ini ke polisi.