Sukses

Gunung Semeru Erupsi, Relokasi Warga Jadi Mitigasi Paling Maksimal

Ahli kebencanaan menyebut relokasi permukiman di dekat sungai yang berpotensi dilalui lahar saat Gunung Semeru erupsi jadi mitigasi paling maksimal

Liputan6.com, Malang - Gunung Semeru erupsi pada Sabtu akhir pekan lalu. Peningkatan aktivitas vulkanik di gunung tertinggi di pulau Jawa itu adalah kesekian kalinya. Bahaya selalu mengancam warga yang bermukim di lereng gunung, terutama di dekat aliran sungai.

Guru besar Geologi dan Kebencanaan Universitas Brawijaya Malang, Adi Susilo mengatakan, relokasi jadi mitigasi paling maksimal menghindari korban jiwa akibat Gunung Semeru meletus. Khususnya untuk permukiman di wilayah dekat sungai yang dilalui aliran lahar.

“Relokasi itu mitigasi paling maksimal. Tentu itu bisa dilakukan kalau ada kemauan dari masyarakat dan pemerintah menyediakan anggarannya,” kata Adi di Malang, Senin, 6 Desember 2021.

Ia mengatakan, sering kali masyarakat tidak mau dipindah dari tempat tinggalnya karena itu satu-satunya tanah mereka. Penduduk kebingungan bila diminta pindah tapi tak disediakan tempat pengganti. Meski mereka tahu bahaya bila sewaktu-waktu Semeru erupsi.

“Itu jadi pertimbangan utama masyarakat, kalau memungkinkan dipindah sebaiknya dipindah,” ucap Adi yang juga Ketua Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan UB Malang ini.

Hampir semua aliran sungai di lereng Semeru berpotensi menjadi aliran lahar besar dari peningkatan aktivitas vulkanik Semeru. Ada banyak aliran sungai sepanjang satu kilometer dari atas Semeru yang juga berpotensi dilalui guguran material vulkanik.

“Jadi bukan sungai aliran lahar panas dampak erupsi pada Sabtu kemarin, tapi semua di daerah aliran sungai di dekat Semeru itu berbahaya,” ujar Adi.

Karena itu relokasi permukiman di sepanjang aliran sungai menjadi mitigasi terbaik. Sebab sungai itu bisa kembali dilalui material vulkanik bila Gunung Semeru erupsi kembali. Data sejarah panjang letusan gunung tertinggi di pulau Jawa itu bisa dipelajari.

“Sebaiknya permukiman itu memang dipindah, tetapi tentu pemerintah perlu anggaran yang sangat besar sekali bila memindah. Atau penduduk mau pindah dengan sendirinya,” ujar Ketua Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan Universitas Brawijaya Malang ini.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Langkah Tanggap Darurat

Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian PUPR, Nazib Faisal, mengatakan seluruh unit pelaksana teknis di bawah Kementerian PUPR telah digerakkan guna penanganan tanggap darurat.

Penanganan itu mulai dari pengerahan alat berat untuk membuka jalur yang tertutup material. Serta membuka aliran Sungai Bondeli sebab khawatir ada susulan banjir lahar yang bisa meluap ke permukiman warga.

“Termasuk verifikasi data dan pelaksanaan langkah-langkah penanganan jangka pendek maupun jangka panjang,” kata Nazib dalam konferensi pers secara virtual Senin malam.

Peristiwa atau kejadian bencana alam yang berulang itu menuntut Kementerian PUPR membuat langkah dalam jangka panjang. Misalnya juga membuat sabuk dam baru atau relokasi rumah warga yang terletak zona bahaya.

“Karena setiap saat bisa terjadi lagi. Karena itu ada koordinasi dengan Pemprov Jawa Timur maupun Pemkab Lumajang untuk verifikasi data,” ujar Nazib.

Berdasarkan data BNPB, peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Semeru pada Sabtu (4/12) kemarin menyebabkan 22 orang meninggal dunia dan 27 orang masih dinyatakan hilang. Lalu tercatat 2.004 jiwa mengungsi di 19 titik.

Di sektor infrastruktur, erupsi Semeru ini membuat 2.970 unit rumah warga rusak. Sebanyak 38 unit fasilitas pendidikan rusak. Jembatan Gladak Perak yang merupakan jembatan penghubung Lumajang – Malang putus.