Liputan6.com, Surabaya - Sejumlah perajin tempe di Jember memilih untuk memperkecil ukuran agar terhindar dari rugi akibat harga bahan baku kedelai yang meningkat tajam.
"Kami kesulitan untuk memproduksi tempe karena harga kedelai melonjak tajam, di sisi lain kami harus tetap memproduksi karena banyak pedagang yang memesan tempe untuk dijual kembali," kata Zaenal Arifin, perajin tempe di Kelurahan Tegalbesar, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember, Senin (28/1/2022).
Baca Juga
Dia menyatakan, para perajin memutuskan untuk tidak menaikkan harga, sebagai gantinya adalah memperkecil ukuran tempe.
Advertisement
Menurut ia, perajin terpaksa melakukan pengurangan ukuran tempe agar tidak merugi karena harga jual tempe juga tidak naik yakni Rp 3 ribu per satuannya, sehingga strategi tersebut dilakukan.
"Mengurangi ukuran tempe itu dianggap lebih baik karena biasanya pembeli akan mengeluh jika harga tempe dinaikkan, apalagi kondisi pandemi seperti ini," katanya.
Ia mengatakan bahan baku kedelai impor yang digunakan untuk membuat tempe tidak bisa digantikan dengan kedelai lokal karena kualitasnya tidak sama yang dapat berdampak pada hasil tempe.
"Kalau menggunakan kedelai impor maka tempe tersebut bisa tahan selama 3 hari, sedangkan kalau pakai kedelai lokal maka kadang-kadang sehari sudah tumbuh jamur dan tidak bisa untuk dimasak," ujarnya.
Harga Kedelai Melonjak
Perajin tempe lainnya Aminah yang mengeluhkan mahalnya harga bahan baku kedelai selama beberapa pekan terakhir, sehingga para pembuat tempe mengatur strategi agar tidak merugi.
"Harga kedelai impor Rp11.500 per kilogram, padahal sebelumnya harga di kisaran Rp6.200 per kilogram. Saya berharap pemerintah juga memberikan solusi atas kenaikan harga kedelai, agar kami bisa tetap memproduksi tempe," katanya.
Pantauan di sejumlah pasar tradisional, para pedagang tetap menjual tempe dan tahu kepada masyarakat karena produksi tempe dan tahu tetap berjalan, namun ukurannya lebih kecil dibandingkan sebelumnya.
Advertisement