Liputan6.com, Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah yang terletak di ujung Timur Pulau Jawa. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan hutan di sebalah barat, sebelah timur laut, dan sebelah utara di kelilingi hutan Taman Nasional Baluran dan sebelah Selatan hutan lindung Taman Nasional Alas Purwo.
Banyuwangi dipisahkan oleh Selat Bali, dengan luas wilayah 5.782,4 km2, menjadikan kabupaten ini yang terluas di Pulau Jawa.
Menjadi kabupaten terluas, Banyuwangi, menyimpan sejarah dan legenda yang terkenal., Diantaranya sejarah kerjaan Blambangan yang dipimpin Prabu Tawang Alun, atau legenda pangeran Sidopokso dan Putri Sritanjung yang menjadi cikal, bakal munculnya Banyuwangi pada abad ke 16.
Advertisement
Pemerhati Sejarah Banyuwangi Yeti Chotimah menyebut, Asal kota Banyuwangi, memang tidak bisa dilepaskan dari kerajaan Blambangan, bahkan kata dia, sejarah mencatat nama Banyuwangi ini merupakan nama salah satu daerah pada jaman kerajaan Blambangan yaitu Tirtoarum atau juga Banyuwangi.
“Pada 24 Oktober 1773 VOC memutuskan pusat adminsitratif pemerintahan di Wana Tirtaganda atau Tirtoarum atau yang juga disebut Banyuwangi,”ujar, Yeti Chotimah Sabtu (11/6/2022).
Sementara itu, kata Yeti, awal berdirinya kerajaan Blambangan sendiri terjadi pada 1293. Pada saat itu Raden Wijaya (Prabu Kertarejasa Jayawardana) yang saat itu menjadi raja di kerajaan Singosari, meminta salah satu abdi dalem kerajaan yaitu Arya Wiraraja untuk membantu menguasai Kerajaan Kediri. Maka diberikanlah separuh wilayah kekuasaan Singosari oleh Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja.
“Wilayah kerajaan yang diberikan oleh Raden Wijaya berada di daerah Kedaton Wetan, tepatnya mulai dari Malang sampai dengan Banyuwangi. Pada 1294, disebutlah kedaton wetan dengan nama Kerjaan Blambangan,”tambah Yeti.
Pusat Kerajaan Blambangan pertama kali berada di Lumajang. Majapahit dan Blambangan merupakan kerajaan yang saling mengharagi keduanya merupakan sama- sama kerajaan merdeka dan mempunyai ikatan kerjasama.
Sebagai ungkapan terimakasih dan pengabdian Arya Wiraraja yang mempunyai seorang putra bernama Aria Nambi, diminta untuk mengabdi kepada Kerajaan Majapahit sampai dengan pada masa Prabu Kartarejasa Jayawardani wafat pada 1308.
“Sepeninggal Raden Wijaya, pada saat itu, puncuk pimpinan kerajaan digantikan oleh Raden Kalagemet yang bergelar Prabu Joyonegoro. Tapi pada saat itu Prabu Joyonegoro memimpin pemerintahanya kurang bijaksana, sehingga banyak sekali terjadi pemberontakan dari beberapa patihnya. Seperti Ronggolawe, Aria Sora, Juru Demung, Gajah Biru, Aria Semi dan Ra Kuti,” kata wanita penulis buku Sejarah, Seni dan Budaya Banyuwangi ini.
Awal Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Pemberontakan yang terus menerus terjadi, menjadi awal mula runtuhnya kerajaan Majapahit yang pertama. Joyonegoro terpaksa menyingkir di desa Bedander dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dipimpin oleh Gajah Mada. Joyonegoro yang berambisi ingin memulihkan kerajaan Majapahit, membuat Aria Nambi tidak betah tinggal di Kerajaan Majapahit.
“Arya Nambi dengan berat hati mengundurkan diri dengan alasan ayahnya yakni Arya Wiraraja sedang sakit. Lalu kepulangan Nambi itu membuat Joyonegoro marah dan menganggap Blambangan ingin mengadakan perlawanan. Dari sinilah awal pertikaian antara kerajaan Majapahit dan Blambangan,”cetus Yeti.
Pada 1311 Arya Wiraraja meninggal dunia dan kedudukanya digantikan oleh Aria Nambi, kedekatan Blambangan dengan kerajaan di Bali semakin erat dan menjalin kerjasama dalam bidang pertahanan.
Pada tahun 1328 Prabu Joyonegoro tewas oleh Ra Tanca yang merupakan tabib Istana di Kerajaan Majapahit. Ra Tanca akhirnya dihukum mati oleh Patih Gajah Mada. Dan kedudukan Majapahit digantikan oleh Ratu Gayatri.
Karena usia Ratu Gayatri sudah lanjut, maka diserahkanlah kerajaan Majapahit kepada Dyah Ayu Sri Gitareja yang bergelar Ratu Ayu Tribuana Tunggadewi.
“Ratu Dyah Ayu Sri Gitareja memimpin sejak tahun 1328-1350 dengan patihnya Gajah Mada. Pada waktu itu kedudukan Gajah Mada sebagai menteri pengganti Aria Tadah,”ujur Yekti
Advertisement
Sumpah Amukti Palapa
Pada saat dilantik menjadi menteri Pertahanan terucaplah sumpah Amukti Palapa yang berbunyi “Aku tidak akan berpesta pora dan tidak akan makan buah Palapa sebelum Nusantara bersatu di bawah panji-panji Majapahit”
Dan sekitar tahun 1332 Prabu Aria Nambi meninggal dunia, sehingga terjadi kekosongan di puncuk pimpinan Kerajaan Blambangan. Sedangkan di Majapahit sendiri pada sekitar tahun 1350 Sri Ratu Tribuana Tunggadewi meninggal dunia dan digantikan putranya yaitu Hayam Wuruk.
“Sehingga pada waktu Kerajaan Majapahit kembali berjaya dengan patihnya Gajah Mada. Bahkan kala itu Majapahit mengalami masa keemasan kedua,”tambah Yeti
Setelah mengalami kekosongan pimpinan di kerajaan Blambangan atas restu Hayam Wuruk maka diangkatlah Bhree Wirabumi memimpin di kerajaan Blambangan. Bhree Wirabumi menikah dengan Dyah Negarawardani yang merupakan adik dari Wikramawardana.
“Sehingga pusat Kerajaan Blambangan kala itu bergeser ke Banger Probolinggo. Namun berdasarkan pertimbangan ekonomi dan pertahanan, pusat kerajaan Blambangan dipindah lagi ke Ulu Pangpang Muncar. Jadi dalam sejarah tercatat kerajaan Blambangan itu berpindah 8 kali, termasuk di Muncar dua kali,”kata Yeti.