Sukses

Sejarah Berdirinya Istana Macan Putih dan Prabu Tawang Alun di Banyuwangi

Prabu Tawang Alun memerintah kerajaan Blambangan yang kala itu pusat kerajaan berpindah ke Kedawung-Rogojampi.

Liputan6.com, Banyuwangi - Prabu Tawang Alun memimpin Kerajaan Blambangan yang kala itu pusat pemerintahan kerajaan berpindah ke Kedawung-Rogojampi. Pada tahun 1685-1686, politik adu domba Belanda mengakibatkan Mas Wila, adik dari Prabu Tawang Alun berambisi menduduki tahta kerajaan.

“Untuk menghindari pecah perang saudara, maka pada 1686, Prabu Tawang Alun yang bijaksana dan berbudi luhur memilih mengalah dan menyingkir ke daerah Rowo Bayu Songgon. Prabu Tawang Alun menyerahkan kekuasaan kepada Mas Wila sebagai raja di Istana Kedawung dengan gelar pangeran Prabu Mas Wilabrata,” ujar Yeti Chotimah pemerhati sejarah Banyuwangi, kepada Liputan6, di Banyuwangi, Sabtu (11/6/2022).

Sementara itu, di bawa kepemimpinan Pangeran Prabu Mas Wilabrata, rakyat Kedawung hidup dalam kecemasan, karena Mas Wila sering berlaku tidak adil kepada rakyat. Banyak pendukung di Kedawung pindah ke Desa Bayu karena dirasa lebih damai dan tentram.

“Terdorong oleh watak keras Mas Wila yang kurang bijaksana, beliau amat murka pada waktu itu mendengar banyak penduduk yang berpindah ke Bayu. Dengan peristiwa itu Mas Wila langsung mengerahkan prajuritnya untuk mengempur Desa Bayu,” tambah Yeti

Perang saudara tidak dapat terhindari. Pertempuran pun terjadi dengan sengit. Pada 1687 Prabu Mas Wila, Mas Ayu Tunjung Sekar, serta Mas Wilataruna gugur dalam pertempuran sengit itu. Tahta Singgasana Kedawung kemudian oleh Prabu Tawang Alun diserahkan kepada Mas Ayu Meloka. Sedangkan Mas Ayu Gringsing Retno diangkat sebagai Patih.

“Prabu Tawang Alun merasa menyesal atas terbuhunya mas Wilabrata, Mas Ayu Tunjung Sekar dan Wilateruna. Prabu Tawang Alun melakukan tapabrata di hutan Sudamara  di kawasan lereng Gunung Raung. Pada saat bertapa Prabu Tawang Alun dibangunkan oleh suara gaib yang mengisyaratkan beliaunya harus berjalan ke arah utara,” kata Yeti.

Macan Putih dan Prabu Tawang Alun berhenti di Banger Laban Asem. Kemudian Prabu Tawang Alun dan pengikutnya mendirikan kembali sebuah istana yang dinamakan istana Macan Putih. Kerajaan Blambangan lalu berpusat di Istana Macan Putih yang dibangun dengan batu bata merah.

“Ukuran persatuan panjangnya batu bata merah itu 1 meter, lebar 0,5 meter tinggi 20 meter dengan pagar berkeliling lengkap dengan  parit sepanjang 4,5 km dan diselesaikan dengan kurun waktu 4 tahun 10 bulan, dengan dibantu penasehatnya yaitu Mas Bagus Wongsokaryo. Pada saat itu masa kepemimpinan Tawang Alun  Kerajaan Blambangan  memasuki jaman keemasan,” ujur Yekti.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. 

2 dari 4 halaman

Mendirikan Istana Macan Putih

Akhirnya pada tahun 1691, Kanjeng Sinuwon Prabu Tawang Alun meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh putranya yaitu Sosronegoro sampai dengan tahun 1698.

Sepeninggal Prabu Tawang Alun dan masa kepemimpinan Sosronegoro Kerajaan Blambangan di Istana Macan Putih bergejolak. 

Dengan memanfaatkan jiwa Sosronegoro yang masih labil, kakaknya yang bernama Mas Macan Apura dengan dibantu penasehatnya yaitu Endog Sawiji pada 1697 meminta Sosronegoro  untuk menyerahkan kepemimpinanya. Maka terjadilah perang saudara kembali.

“Akibat perang yang berkecamuk pada waktu itu, istana Macan Putih rusak berat. Namun dalam sumber lain menyebutkan rusaknya istana Macan Putih dikarenakan meletusnya Gunung Raung pada 1701. Sehingga pusat kerajaan Blambangan dipindahkan ke daerah Wijenan Kecamatan Singonjuruh,” ujar Yeti.

3 dari 4 halaman

Datangnya Perompak

Di lain pihak, para perompak dari Bugis yang jumlahnya mencapai 800 orang telah tiba di bumi Blambangan.  mereka bersaing dengan Cina dan VOC. Para perompak Bugis telah nmembangun kubu-kubu di Pantai Pakem sedangkan Ingris membangun kantor perdagangan yang digunakan untuk transit didepan Loji yang sekarang dikenal dengan ingrisan.

“Danuningrat merasa kedudukanya terancam pada waktu itu sebagai pengusa kerjaaan Blambangan, sehingga meminta bantuan  Wong Agung Wilis untuk membasmi pasukan Bugis. Tapi pada kala itu Wong Agung Wilis tidak bersedia. Namun akhirnya Wong Agung Wilias akhirnya mau membantu  menumpas pasukan Bugis. dan penumpasan pasukan Bugis itu dilakukan hanya dalam waktu semalam saja,” tegas Yekti.

Berhasil menumpas Bugis lantas tidak serta merta kerajaan Blambangan menjadi aman, VOC mulai membangun kekuatanya  melalui perdagangan. Bahkan dengan kebijakan VOC yang sewenang- wenang di wilayah Blambangan pada waktu itu telah meciptakan jurang pemisah antara rakyat dengan pimpinan.

“Kebijakan VOC memanjakan penguasa lokal untuk meluncurkan politik  devide et empera. Sehingga menciptakan jurang pemisah antara rakayat  dan pemimpinya,” tambah Yekti.

Dengan kesewenang- wenangan VOC akhirnya mendapatkan perlawanan rakyat Balmbangan pada tahun 1771. Bahkan kekhasan  perang Puputan Bayu, Belanda mengakui perang paling dahsyat se tanah Jawa. Padahal tidak sebanding dengan hasil  yang akan didapatkan  di tanah Blambangan.

“Pada Catatan  perang oleh Adison 1848 halaman 75-76, Daerah Blambangan  adalah  daerah di pulau Jawa yang sangat padat penduduknya. Sehingga VOC mengalami kesulitan  untuk  membinasakan rakyat Blambangan,’ kata Yekti.

4 dari 4 halaman

Mas Alit Bupati Blambangan

Setalah perang Puputan Bayu selesai pada tahun 1773, untuk meredam kemarahan  rakyat Blambangan  maka VOC menjemput Mas Alit dan Mas Thalib yang selama ini diasuh oleh panembahan  Rasamala Bangkalan Madura. Mas Alit diangkat oleh VOC sebagai Bupati Blambangan.

“Mas Alit dinobatkan  sebagai bupati di Istana Blambangan  yang berada di Ulu Pangpang Muncar,” ujur Yekti.

Perlawanan rakyat Blambangan  meski tersisa  5000 orang di bawah pimpinan Sayu Wiwit masih gencar dilakukan.  Bahkan VOC memberi julukan  kepada Sayu Wiwit sebagai Prince of Empire dan srikandi Blambangan.

“Akan tetapi Sayu Wiwit akhrinya  tertangkap di Kaki Gunung  Raung. Tapi dalam babad yang lain  disebutkan  Sayu Wiwit meninggal dan dimakamkan di kaki Gunung Raung,” ujur Yekti.

Akhirnya pada  tanggal 24 Oktober 1773 VOC  memutuskan  pusat administrasi dipindah di Wana Tirtoganda atau Tirtoaruam atau juga disebut Banyuwangi.

“Karena waktu itu Mas Alit  kurang bisa dikendalikan dengan akal licik VOC  Mas Alit dibunuh di Gersik dan dimakamkan di Sedayu. dan Akhirnya kekuasaan Blambangan atau Banyuwangi digantikan berturut-turut kedudukanya oleg generasi Tawang Alun,” Pungkas Yekti Chotimah.