Liputan6.com, Surabaya - Ketua Pakta Konsumen Andi Kartala menegaskan, pemerintah selama ini memposisikan tembakau sebagai komoditas yang bisa diperah untuk menambal anggaran belanja negara. Namun, dalam setiap perancangan regulasi hingga pengambilan kebijakan terkait pertembakauan, elemen-elemen di dalam ekosistem pertembakauan tidak pernah dilibatkan, termasuk konsumen.
"Kenyataannya, produk tembakau seolah produk yang ilegal dan haram, padahal Pemerintah tiap tahunnya menerima lebih dari Rp 190 triliun dari cukai hasil tembakau yang merupakan kontribusi konsumen," ujarnya pada Focus Group Discussion Konsumen dan Dampak Efek Domino Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di Surabaya, Selasa (23/8/2022).
Baca Juga
Andi mengungkapkan, konsumen sebagai end-user seringkali tidak dianggap, atau dipandang sebelah mata. Pelibatan konsumen dalam perumusan kebijakan sebagai pembayar pajak cukai, minim bahkan hampir tidak ada.
Advertisement
"Termasuk tidak adanya hak partisipatif konsumen dalam penghitungan besaran nilai cukai," ucapnya.
Andi menuturkan, banyak konsumen yang mispersepsi terhadap kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau. Tak sedikit konsumen yang salah paham, bahwa kenaikan cukai adalah upaya pabrikan.
"Untuk itulah Pakta Konsumen hadir sejak 2012 untuk mengadvokasi dan mengawal kekuatan kolektif 90 juta suara konsumen produk tembakau agar punya bargaining position dalam setiap pengambilan dan implementasi regulasi pertembakauan," ujarnya.
Ketua DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menuturkan, pemerintah sedari awal tidak memikirkan masa depan petani tembakau dan cengkeh yang akan terpukul berat dengan opsi kenaikan CHT 2023.
"Petani yang akan merasakan dampak langsung dari rencana kenaikan cukai tembakau. Untuk diketahui, pemerintah lah yang merasakan 70 persen dari manfaat kenaikan CHT," ucapnya.
"Pengembalian manfaat ke petani melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tidak sebanding dengan dampak dari kenaikan CHT itu sendiri," imbuh Soeseno.
Ditambah lagi, saat ini, di sentra-sentra tembakau, seperti kawasan Jawa Timur, panen banyak yang tidak maksimal. Utamanya karena perubahan kondisi cuaca, ditambah lagi subsidi pupuk ZA yang telah dicabut.
Belum lagi petani akan berhadapan dengan kuota serapan oleh gudang/pabrikan, pemerintah justru ingin membunuh petani dengan sinyal kenaikan cukai.
"Kondisi ini justru akan meningkatkan spekulasi ketidakpastian harga dan jumlah serapan tembakau petani. Pemerintah tidak hadir untuk melindungi petani," ujar Soeseno.
Spekulasi Pasar
Soeseno melanjutkan, ada 2,5 juta petani tembakau dan 1.5 juta petani cengkeh yang sedang berada dalam ketidakpastian akibat sinyalemen opsi kenaikan CHT 2023. Ironisnya, rencana pengumuman kenaikan CHT selalu berdekatan dengan momentum panen tembakau. Sehingga pada akhirnya akan membuat spekulasi harga di market tembakau.
"Target kenaikan CHT 2023 jelas akan memukul industri. Pada akhirnya, petani akan terkena efek domino. Opsi kenaikan cukai ini tidak adil. Saat petani bersiap menjual tembakaunya, spekulan akan memainkan harga begitu ada rencana kenaikan cukai. Sehingga petani dipaksa untuk menjual tembakau dengan harga murah," ucapnya.
Sebagai komitmen mengawal Jatim yang merupakan penyumbang 60 persen produksi tembakau nasional, anggota Komisi B DPRD Provinsi Jatim, Agus Dono Wibawanto memandang penting bahwa sudah saatnya konsumen melegalisasi gerakan kolektif yang telah berjalan selama ini.
Dari sisi legislatif, anggota fraksi Partai Demokrat ini menegaskan siap memperjuangkan hak partisipatif dan suara elemen ekosistem pertembakauan. "Tembakau itu bukan sekedar komoditas atau produk. Tembakau itu adalah histori, warisan sejarah, dan budaya yang telah mendarah daging," ujarnya.
Advertisement